Pagi-pagi buta, Mbok Ginem dengan semangat seperti burung merpati yang baru bangun tidur, meminta Ragil untuk mengantarkannya ke pasar.
Dengan sepeda tua yang sudah lebih berpengalaman daripada Ragil sendiri, mereka berdua meluncur seperti peluru, meskipun peluru itu agak berkarat.
Jalanan masih sepi, seolah-olah semua orang masih terjebak dalam mimpi indah, sementara mereka berdua berjuang melawan angin pagi yang berusaha menghalangi mereka.
Ragil, yang mengayuh sepedanya dengan semangat seperti atlet Olimpiade, membonceng ibunya sambil sesekali melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada tetangga yang melihatnya.
Mereka melewati deretan rumah penduduk yang seolah-olah sedang berkompetisi untuk menjadi rumah paling sunyi di dunia.
Dengan setiap kayuhan, Ragil berdoa agar sepeda tua itu tidak tiba-tiba minta pensiun, karena dia sudah cukup capek mengayuh dan tidak mau berurusan dengan tukang servis sepeda yang selalu bilang, "kamu perlu beli sepeda baru, Nak!"
Mbok Ginem, dengan penuh kasih sayang, melingkarkan lengannya di pinggang Ragil, seolah-olah dia sedang memeluk bantal yang empuk.
Hangatnya cinta mereka mengalir seperti air panas di dalam termos, siap menyiram kebahagiaan.
Namun, saat mereka mendekati pasar, suasana mulai berubah drastis. Suara kerumunan yang ramai seperti orkestra tanpa konduktor mulai mengisi telinga mereka, dan lapak-lapak dagangan terlihat seperti festival makanan yang siap menggoda selera.
Begitu mereka melangkah lebih dekat, Ragil merasa seperti pahlawan super yang baru saja memasuki medan perang belanja.
Suara tawar-menawar dan teriakan penjual seakan-akan menjadi lagu tema mereka.
Para pembeli berlarian seperti anak-anak yang baru saja melihat es krim, dan Mbok Ginem pun tak mau kalah, siap-siap mengeluarkan jurus tawar-menawar yang sudah terlatih.
Siapa sangka, pasar bisa jadi arena pertarungan yang seru, di mana cinta dan belanja bertemu dalam satu panggung!
Begitu tiba di pasar, Mbok Ginem dengan bangga menggendong tas anyaman bambu yang siap menampung segala macam barang belanjaan.
Dia melirik Ragil dan berkata, "Gil, simbok mau belanja sedikit, mungkin bakal lama, jadi kamu tunggu di kedai hijau yang itu ya.
" Dengan anggukan penuh pengertian, Ragil pun melangkah ke kedai yang dimaksud, Sementara itu, Mbok Ginem sudah menghilang, mungkin sedang bernegosiasi dengan penjual sayur tentang harga cabai yang terlalu mahal!
Di luar kedai, Ragil berdiri seperti patung yang baru saja diukir, matanya melotot ke arah orang-orang yang berlalu lalang, seolah-olah sedang mencari harta karun yang hilang.
Ia berharap menemukan teman lamanya, tapi setelah beberapa saat, ia merasa seperti detektif yang gagal menemukan jejak.
Akhirnya, dengan langkah yang penuh semangat, ia memutuskan untuk menjelajahi pasar, menikmati keramaian yang lebih berwarna daripada pelangi setelah hujan.
Ragil pun melangkah ke dalam kerumunan, seolah-olah ia adalah raja yang sedang menginspeksi kerajaannya.
Suara teriakan pedagang dan aroma makanan yang menggoda membuatnya merasa seperti berada di festival makanan.
Ia tertawa sendiri, membayangkan jika ia bisa mengundang semua wajah asing itu untuk berpesta, mungkin mereka bisa jadi teman baru—atau setidaknya, teman untuk berbagi makanan!
Dia melangkah dengan gaya santai, berharap sedang berjalan di atas karpet merah, menjelajahi setiap sudut dari satu toko ke toko lainnya.
Matanya yang tajam mengamati barang-barang yang dipajang di luar, seolah-olah dia adalah juri di ajang pencarian bakat barang dagangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Semata Wayang BL Series (21+)
RomanceWarning! Cerita BL (21+) Bersambung! Peringatan cerita ini mengandung unsur percintaan sesama jenis (Gay), mengandung plot drama 21++, dan seksualitas secara eksplisit, bagi yang tidak berkenan dari awal dan di bawah umur 18, JANGAN DIBUKA! Ragil p...