Bab 4 Keributan di Pasar

91 3 0
                                    

Pagi-pagi buta, Mbok Ginem meminta Ragil untuk mengantarkannya ke pasar. Dengan sepeda tua yang sudah lebih berpengalaman daripada Ragil sendiri, mereka berdua meluncur seperti peluru, meskipun peluru itu agak berkarat.

Jalanan masih sepi, seolah-olah semua orang masih terjebak dalam mimpi indah, sementara keduanya berusaha melawan hembusan angin pagi yang menusuk, berjuang untuk tidak terhalang oleh dinginnya udara.

Ragil mengayuh sepedanya dengan penuh kehati-hatian, membonceng ibunya yang duduk di belakang. Sesekali, ia melirik ke kanan dan kiri, memperhatikan deretan rumah penduduk yang tampak seolah sedang berlomba untuk menjadi yang paling sepi di dunia.

Dengan setiap kayuhan, Ragil berdoa agar sepeda tua itu tidak tiba-tiba minta pensiun, karena dia sudah cukup capek mengayuh dan tidak mau berurusan dengan tukang servis sepeda yang selalu bilang, "kamu perlu beli sepeda baru, Nak!"

Mbok Ginem, dengan penuh kasih sayang, melingkarkan lengannya di pinggang Ragil, seolah-olah dia sedang memeluk bantal yang empuk.

Saat mereka mendekati pasar, suasana mulai berubah drastis. Suara kerumunan yang ramai seperti orkestra tanpa konduktor mulai mengisi telinga mereka, dan lapak-lapak dagangan terlihat seperti festival makanan yang siap menggoda selera.

Begitu mereka melangkah lebih dekat, Ragil merasa seperti pahlawan super yang baru saja memasuki medan perang belanja. Suara tawar-menawar dan teriakan penjual seakan-akan menjadi lagu tema mereka.

Para pembeli berlarian seperti anak-anak yang baru saja melihat es krim, dan Mbok Ginem pun tak mau kalah, siap-siap mengeluarkan jurus tawar-menawar yang sudah terlatih. Siapa sangka, pasar bisa jadi arena pertarungan yang seru, di mana cinta dan belanja bertemu dalam satu panggung!

Begitu tiba di pasar, Mbok Ginem dengan bangga menggendong tas anyaman bambu yang siap menampung segala macam barang belanjaan. Dia melirik Ragil dan berkata, "Gil, simbok mau belanja sedikit, mungkin bakal lama, jadi kamu tunggu di kedai hijau yang itu ya.

" Dengan anggukan penuh pengertian, Ragil pun melangkah ke kedai yang dimaksud, Sementara itu, Mbok Ginem sudah menghilang, mungkin sedang bernegosiasi dengan penjual sayur tentang harga cabai yang terlalu mahal!

Di luar kedai, Ragil berdiri seperti patung yang baru saja diukir, matanya melotot ke arah orang-orang yang berlalu lalang, seolah-olah sedang mencari harta karun yang hilang. Ia berharap bisa menemukan wajah-wajah yang mungkin ia kenal, tapi setelah beberapa saat, ia merasa seperti detektif yang gagal menemukan jejak.

Akhirnya, ia memutuskan untuk menjelajahi pasar, menikmati keramaian yang lebih berwarna daripada pelangi setelah hujan. Ragil pun melangkah ke dalam kerumunan, seolah-olah ia adalah raja yang sedang menginspeksi kerajaannya.

Suara teriakan pedagang dan aroma makanan yang menggoda membuatnya merasa seperti berada di festival makanan. Dia melangkah dengan gaya santai, berharap sedang berjalan di atas karpet merah, menjelajahi setiap sudut dari satu toko ke toko lainnya. Matanya yang tajam mengamati barang-barang yang dipajang di luar, seolah-olah dia adalah juri di ajang pencarian bakat barang dagangan.

Beberapa barang menarik perhatian, dan dia pun berhenti sejenak, menatap dengan rasa ingin tahu yang dalam, seperti detektif yang menemukan petunjuk baru. Ketika ada sesuatu yang benar-benar mencuri hatinya, dia akan bertanya kepada penjual tentang harga, dengan nada seperti sedang bernegosiasi untuk membeli pulau, bukan sekadar barang dagangan.

Dengan ekspresi yang penuh pertimbangan, ia akan mengerutkan dahi, berpura-pura merenungkan nilai barang tersebut, seakan-akan harga yang ditawarkan terlalu tinggi untuknya. Setelah mengeluarkan keluhan yang lembut seperti suara kucing yang minta makan, dia pun melangkah pergi dengan anggun, seolah-olah baru saja menolak tawaran untuk menjadi ratu di kerajaan yang penuh dengan diskon. Jejak rasa ingin tahunya tertinggal di antara toko-toko yang berjajar, seolah-olah dia baru saja meninggalkan jejak kaki di pasir pantai, padahal sebenarnya dia hanya tak punya uang untuk beli barang.

Anak Semata Wayang BL Series (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang