New York dan Central Park - 3

54 4 0
                                    

Julius berusaha membuka matanya di saat cahaya matahari sudah membangunkannya dari tidur nyenyak. Kepala Julius masih terasa sakit seperti dihantam puluhan palu. Apakah dia pingsan? Itu yang muncul di pikirannya.

Ingatan Julius berhenti saat dia masuk ke taksi. Saat itu kepalanya sudah terasa berat sehingga dia memilih untuk memejamkan mata. Begitu dia membuka mata, di sini lah ia, berbaring nyaman di kasur kamar apartemen.

Semoga tidak ada hal aneh yang ia lakukan malam tadi.

Julius memaksa tubuhnya untuk berdiri dan keluar dari kamar. Julius tidak melihat jam. Yang jelas Marshal pasti sudah bangun. Dia bisa mendengar suara berisik dari dapur.

Marshal tampak sibuk berkutat di depan kompor. Jujur saja. Selama dua tahun lebih Julius bekerja dengan Marshal, tidak pernah sekalipun lelaki itu melihat managernya memasak selain air dan mie instan. Jadi wajar jika Julius ragu dengan apapun atraksi yang dilakukan Marshal sekarang.

"Bang?" sapa Julius ragu-ragu.

Dan sesuai yang ia kira, Marshal terlonjak kaget dan berujung menjatuhkan piring di meja dapur. Untung piring itu terbuat dari bahan tidak mudah pecah.

Julius yang awalnya masih ingin mengistirahatkan kepala di meja makan mengurungkan niatnya dan beranjak membantu Marshal membereskan kekacauan.

Piring yang masih bersih. Kulit telur yang berceceran di meja. Dan... Telur mata sapi? Telur orak arik? Telur dadar? Julius mengernyit melihat penampakan sesuatu di wajan di atas kompor.

"Gue coba masak. Oke, ini kesalahan. Habis ini gue keluar beliin sarapan. Lo mandi dulu atau tidur lagi aja," ujar Marshal kelabakan karena perbuatannya menghancurkan dapur ketahuan.

Julius terkekeh. Saat Marshal menggiringnya kembali ke meja makan Julius menyadari bahwa laki-laki itu sudah mandi. Rambutnya yang belum benar-benar kering masih meneteskan air. Bau sabun menguar.

Ugh, Julius ingin menenggelamkan kepalanya yang masih berat di leher Marshal.

***

Marshal kembali setengah jam kemudian dengan dua gelas kopi dan sebungkus roti. Untungnya menyewa apartemen di kawasan padat pemukiman adalah mudahnya mencari makanan yang siap disantap.

Julius, yang sudah menikmati dua puluh menitnya di kamar mandi, merasa sakit kepalanya membaik. Dia menyeruput kopi yang belum sempat diletakkan di meja oleh Marshal dan meraih sepotong donat dari kantong kertas di pelukan Marshal.

"You good?" Marshal bertanya sambil mengunyah donatnya sendiri.

"Pusing," jawab Julius singkat. "Better. Tapi masih pusing."

Marshal beranjak dan mengambil sesuatu dari tasnya di kamar. Lalu kembali dan meletakkan barang itu di meja di depan Julius.

Disposable Camera.

"Let's hunt some photos." Marshal menyengir saat meletakkan benda yang dibelinya di bandara Dubai itu.

Mata Julius berbinar. Pusingnya terasa hilang.

Photography. Hal itu menjadi favoritnya sejak sangat lama, sejak dia masih kuliah. Terhenti karena tidak punya waktu setelah semakin fokus di karirnya. Dan terhenti sejak waktu luangnya dihabiskan bersama Mona di mana perempuan itu tidak suka saat Julius sibuk dengan kameranya.

"Gue siap-siap bentar. Gue habisin itu roll film," seru Julius bersemangat.

Marshal tertawa. Lalu saat Julius sudah menghilang ke kamarnya, Marshal terdiam dengan senyum masam.

A Story of Marshal & Julius - MarkMin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang