"Yakin nih mau road trip?" Untuk ke seratus dua puluh tujuh kalinya Marshal bertanya kepada Julius. Lelaki yang lebih tinggi beberapa senti itu tetap sibuk membereskan barang-barang ke dalam kopernya.
"Mobil udah ada?" Marshal mengangguk.
"Ini udah last stop meet and greet filmnya kan?" Marshal mengangguk lagi.
"Seminggu ke depan gue gak ada jadwal sesuai request kan?" Untuk kali ketiga Marshal mengangguk.
"Ya udah. Gak ada alasan buat batalin," kata Julius tak acuh. "Kecuali lo lebih milih buat langsung naik pesawat sama tim promo. Dan udah gue bilang seribu kali, gue bisa balik sendiri. Gak usah ikutan bareng gue. Gue cukup fit buat road trip sendiri."
Marshal mengeluarkan nafas frustasi. "Bukan gue gak mau nemenin lo ato lebih milih naik pesawat." Gila kali gue mau balik duluan dan ninggalin lo sendiri di jalan sepanjang Surabaya ke Jakarta. "Gue khawatir lo kecapekan, Ju. Yaudah. Pokoknya lo jangan nyetir biar gue aja. Si Jese katanya mau ngikut juga. Pusing skripsian. Bisa gantian nyetir sama gue nanti."
Jese adalah salah satu asisten Julius yang paling sering diajak ke berbagai event. Apalagi saat jadwal Julius sangat padat dan Marshal harus fokus mengatur berbagai pekerjaan Julius serta menghubungi orang-orang luar, Jese harus bersiap kalo Julius sedang butuh bantuan apapun. Saking seringnya ikut ke berbagai jadwal Julius, mahasiswa tingkat akhir itu sudah bekerja dan diperlakukan seperti full time assistant, bukan lagi freelance, padahal dari awal kontraknya hanya sebagai pekerja freelance karena katanya, "Mau cari kesibukan sambil ngerjain skripsi."
"Atur aja lah."
***
Marshal memutar kemudi membuat mobil yang mereka kendarai berbelok ke salah satu restoran fast food. Setelah memarkir mobilnya, Marshal, Julius, dan Jese keluar. Julius yang berusaha tidak terlalu menarik perhatian mengenakan hoodie di oversized sweater nya hingga menutupi sebagian mata.
"Iced Coffee extra shots kan, Ju? Makan Big Mac apa ayam?" tanya Marshal.
"Big Mac aja," jawab Julius singkat lalu menuju ke salah satu meja di pojok yang tidak terlalu dekat dengan pengunjung lain. Marshal segera menuju antrian pesan dengan Jese mengekor di belakangnya.
"Hafal banget pesenan Bang Julius, Bang. Ini kalo gue mau kerja tahan lama sama Bang Julius harus ngehafalin kesukaannya dia, ya?" Jese mengutarakan keterkejutannya setelah Marshal selesai memesan dan mereka membawa dua baki penuh berisi makanan dan minuman ke meja Julius.
"Ya gue kan udah kerja dua tahunan sama Julius. Hafal, lah." Bohong. Marshal hafal karena dia memberi perhatian ekstra ke lelaki yang lebih muda. Sebelum bekerja dengan Julius, Marshal menjadi asisten Joni, pemilik agensi tempat Julius bekerja, selama bertahun-tahun tapi tidak pernah ia hafal menu favorit bosnya itu.
"Apa jadinya Bang Julius kalo gak ada lo, Bang? Jadwal diaturin. Baju, kostum, makeup selalu recheck sebelum deal. Makan minum udah hafal. Bener-bener panutan."
"Julius will be fine. Dia udah gede. Sebelum sama gue juga dia bisa atur kerjaannya sendiri. Gara-gara gabung agensi aja jadi butuh orang buat manage. Selama ini lo bantu gue juga Julius gak pernah komplain kan? Soalnya kerja lo bagus. Makanya cepet kelarin tuh skripsi biar bisa full time."
"Lama banget. Muter ke pasar dulu?" Julius menunjukkan mukanya yg tertekuk karena lapar dan lama menunggu makanannya datang di saat Marshal dan Jese menikmati waktu membawa makanan dari meja kasir ke meja mereka.
"Nih, makanannya, Tuan Putri." Marshal meletakkan es kopi dan burger milik Julius di depan laki-laki itu lengkap dengan tisu di sebelahnya sebelum meletakkan makanannya sendiri.
Jese lagi-lagi terheran-heran Julius yang diam saja saat Marshal memanggilnya Tuan Putri. Tidak biasanya. Jese mungkin baru dua bulan bekerja dengan Julius, tapi sudah beberapa kali tim pemotretan atau tim produksi film memanggilnya "putri" karena fitur wajahnya yang bisa terlihat tampan dan cantik secara bersamaan dan mendapat respon kurang baik dari si artis. Dan sekarang, Julius terlihat menerima sebutan itu dari Marshal dengan baik.
***
"Bang, gawat!" Jese tiba-tiba berseru panik saat mereka baru masuk ke mobil dan akan melanjutkan perjalanan.
"Kenapa?" Marshal menoleh ke arah kursi penumpang.
"Tiba-tiba dospem gue buka bimbingan besok dan minta semua setor draft." Jese memandang Marshal dan Julius bergantian dengan muka memelas karena benar-benar bingung apa yang harus dia lakukan. Dia masih ada di Solo dan dari rencana mereka, dia tidak akan sampai di Jakarta dalam waktu beberapa jam.
"Lo cek tiket kereta sekarang, langsung gue anter ke stasiun. Biasanya ada kereta malem, sampe Jakarta besok pagi," ujar Marshal sambil memasang sabuk pengaman. "Semuanya pasang seatbelt. Gue langsung ngebut."
"Sorry ya, Bang. Gue yang mau ngikut malah ngrepotin."
"Ya mana ngira juga kan dospem lo tiba-tiba minta dadakan. Draft lo udah siap emang?" tanya Julius saat Marshal sudah mulai menjalankan mobil mereka.
"Udah, Bang. Kan gue bawa laptop ke Surabaya jadi udah ngerjain juga dari kemaren-kemaren. Besok pagi tinggal ke perpus sebentar buat cek beberapa referensi."
"Ya udah. Lo pesen tiket sekarang jadi sampe stasiun udah gak khawatir. Ato mau gue pesenin?" tawar Julius sambil mengambil ponselnya dan membuka aplikasi pemesanan tiket.
"Gak usah, Bang. I'll manage it. Makasih banyak ya, Abang-abang."
"Don't mention it, Jese. Just do it right and work for me later."
Jese tersenyum lebar mendengar kata-kata menenangkan Julius. Dia bersyukur bisa bekerja dengan artis sebaik itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Story of Marshal & Julius - MarkMin AU
FanfictionJulius is a rising actor-model. He works. He loves. Marshal does his best to support Julius. He is the manager. But he falls hard for him. A collection of short alternate universe stories of Jaemin as Julius and Mark as Marshal. Setiap chapter...