New Years Eve

104 10 6
                                    

Marshal melihat jam di meja kerjanya. Sudah hampir jam tujuh malam. Ia hanya perlu memeriksa dan menandatangani satu laporan ini sebelum pulang. Padahal ia kira awalnya ia bisa pulang tepat waktu di akhir tahun seperti ini.

Diliriknya ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ada beberapa notifikasi pengingat yang entah itu apa dan pesan dari Julius. Sebentar lagi. Marshal hanya perlu menyelesaikan satu dokumen ini lalu ia bisa memberikan perhatiannya untuk hal lain.

Marshal menutup dokumen terakhir yang perlu ia tanda tangani dan tepat saat itu seseorang masuk ke ruangannya tanpa permisi. Sang ayah — yang tidak biasanya ke kantor Marshal — melewati pintu itu.

"Ada apa, Pa?" tanya Marshal sambil membereskan meja kerjanya dengan maksud bersiap untuk pulang.

"Ikut Papa sekarang, ya. Ada dinner sama rekan bisnis," ujar Papanya tanpa basa basi.

"Pa, aku baru selesai ini. Tahun baru juga. Biar aku pulang aja lah. Aku mau istirahat," elak Marshal yang merasa energinya benar-benar sudah terkuras karena waktunya habis untuk pekerjaan akhir-akhir ini.

"Tinggal dinner aja. Cukup duduk manis di mobil Papa. Gak perlu nyupir juga karena Papa bawa supir. Gak lama kok. Paling gak sampe jam sepuluhan. Ayo lah udah ditungguin ini. Papa udah janji ajak kamu juga, Shal."

Marshal sudah akan mengeluarkan berbagai alasan lagi tapi papanya sudah beranjak mengambil tas dan ponselnya di atas meja. Marshal hanya sempat meraih jasnya di punggung kursi sebelum tangannya ditarik paksa.

***

"Pa, Papa bilang cuma dinner lho. Ini semua apa?" Marshal melemparkan pandangan tak percaya pada papanya saat mereka sudah selesai dengan acara makan malam itu dan sedang menunggu supir membawa mobil mereka ke depan lobi salah satu hotel tempat restoran di mana mereka makan malam.

"Ya kan dinner sekalian Papa mau ngenalin kamu sama anaknya David. Dia lelaki baik-baik lho. Aktif di yayasan keluarganya. Bagus buat kerja sama perusahaan kita dan perusahaan David," jawab sang ayah santai, tidak mengindahkan betapa tidak nyaman anaknya.

"Papa tahu kan aku udah punya pacar?! Gak bisa lah tiba-tiba main jodoh-jodohan gini!" Marshal tidak bisa menahan nada bicaranya yang sudah mulai meninggi. Untung saja tidak banyak orang di sana. Hanya ada karyawan di meja resepsionis dan di pintu masuk.

"Jaga nada bicara kamu. Ini tempat umum," ujar papa Marshal dengan nada rendah. Dipusatkannya perhatiannya ke anak bungsunya itu. "Kamu kira Papa gak tahu kamu main-main sama aktor abal-abal itu? Ngapain kamu berhubungan sama anak gak jelas kayak gitu? Papa nyuruh kamu kerja di agensinya Joni buat belajar managementnya, bisnisnya. Bukan buat main sama anak gak jelas latar belakangnya gitu, Marshal!" hardik papanya dengan nada rendah.

"Julius bukan orang kayak gitu ya, Pa. Dia lelaki baik-baik. Aku udah kenal lama sama dia."

"Tcih! Tau apa kamu. Mana kamu tahu kalau dia ada main di belakang kamu sama kru atau aktor lain. Bisa jamin? Bisa kamu bawa ke acara penting perusahaan? Bukan sekedar party remeh temeh yang kamu datengi di Bali. Bisa dia menyesuaikan dengan keluarga kita dan kegiatan-kegiatan yang harus dia ikuti sebagai pasangan kamu dan bagian dari keluarga kita? Kamu tahu lah dunia hiburan itu gelap, Shal. Gak usah berhubungan serius sama orang dari sana. Kamu lebih dari itu."

Belum sempat Marshal mendebat papanya, sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan mereka. Sang ayah pun berbalik dari Marshal tanpa bermaksud mendengar anaknya lebih jauh dan masuk ke kursi belakang mobil.

"Ingat! Papa gak akan ganggu hubungan kamu sama dia asal kamu janji hubungan kalian gak akan terendus media dan kamu terima perjodohan dengan anak David," titahnya sebelum menutup jendela mobil dan menyuruh supir melajukan kendaraan mereka, meninggalkan Marshal yang berdiri terdiam tak tahu harus berbuat apa.

Lima menit. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit.

Marshal hanya terdiam di depan hotel itu. Pikirannya terasa linglung. Fisik dan psikisnya benar-benar lelah karena pekerjaan. Dan sekarang ditambah kata-kata papanya yang menambah beban pikirannya.

Marshal pun memutuskan kembali masuk ke hotel. Alih-alih meminta satu kamar untuk beristirahat atau kembali ke restoran untuk menikmati segelas kopi dan makanan penutup, Marshal langsung memasuki lift untuk menuju lantai paling atas, tempat bar hotel itu berada.

Ditemani segelas minuman beralkohol yang berkali-kali ia minta untuk diisi kepada bartender di depannya. Jasnya sudah tergeletak bersama tasnya di kursi di samping Marshal. Ia sudah tidak berusaha membuka ponselnya karena sejak makan malam tadi ternyata ponselnya sudah mati karena kehabisan daya sebelum sempat ia membuka semua notifikasi di dalamnya.

Ditemani gelas kesekian saat orang-orang merayakan tahun baru dengan kembang api yang berpendar bersahut-sahutan di langit. Tapi Marshal sudah mulai kehilangan kesadarannya. Sebelum ia benar-benar terkapar, ia memilih untuk memanggil taksi dan pulang.

***

Pening.

Itulah yang pertama ada di pikiran Marshal saat membuka mata. Kejadian semalam tersirat sekilas. Marshal hanya ingat makan malam konyol yang direncanakan papanya, pertengkarannya dengan sang ayah di depan hotel, dan dirinya yang menghabiskan beberapa gelas minuman keras sebelum memutuskan untuk pulang. Ia pun tak ingat bagaimana ia masuk ke apartemennya dan berbaring di ranjang.

Marshal memaksa dirinya untuk duduk. Ia butuh minum. Ia harus memaksa dirinya untuk berdiri dan mengambil minum di dapur. Tapi perhatiannya terpecah saat melihat ponsel Julius di kasurnya.

Ponsel Julius kenapa ada di sini? Pikirnya.

Belum sempat Marshal berpikir lebih jauh, terdengar suara bel pintu apartemennya berbunyi. Marshal melihat jam di nakas. Hampir jam sepuluh. Ia tidak pernah tertidur hingga sesiang ini.

Tanpa memperhatikan penampilannya yang berantakan, Marshal meraih ponsel Julius dan bergegas ke pintu apartemennya untuk melihat siapa di sana. Mungkin Julius mengambil ponselnya yang tertinggal — yang Marshal pun tidak mengerti kenapa bisa tertinggal di sana.

Namun sayang, saat membuka pintu bukan Julius yang datang. Jese datang dengan raut muka bingung.

"Oh, Jese. Kenapa?" Marshal ingin memaki dirinya sendiri karena tidak menyempatkan diri untuk minum terlebih dahulu. Tenggorokannya terasa sakit dan suara yang keluar dari bibirnya sangat serak. Ia persilakan Jese masuk tanpa suara lalu ia langsung ke dapur untuk mengambil minum.

"Bang Marshal gak apa-apa? Bang Julius nyuruh gue ambil hp nya di sini. Katanya ketinggalan ya?" tanya Jese sambil melihat ke sekeliling apartemen Marshal. Ini bukan pertama kalinya Jese ke sana. Tapi ini pertama kalinya Jese melihat apartemen Marshal seberantakan itu. Bahkan masih ada makanan di atas meja makan yang masih utuh.

"Iya ini hpnya. Mau nunggu bentar gak? Atau lo tinggal aja nanti gue anterin," jawab Marshal sambil mengangkat ponsel di tangannya.

"Aduh. Tapi... Tadi pesen Bang Julius gue aja yang ambil. Lo nya jangan sampe nyamperin. Berantem, Bang?" tanya Jese perlahan, takut ia salah bertanya.

Di saat itu lah Marshal melihat makanan yang masih utuh di meja makan dan piring yang sudah tak berbentuk di lantai. Ingatannya sejak masuk ke apartemen semalam hingga Julius yang berlari keluar terlintas di benaknya. Bahkan pipinya pun masih terasa perih akibat tamparan Julius.

"Mati gue, Jes."

***

A Story of Marshal & Julius - MarkMin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang