Road Trip - 2

124 13 0
                                    

Bang Marshal
Sarapan?
Gue baru beli nasi bungkus di angkringan.
Sini

Julius membuka mata dan menemukan pesan tak terbaca dari Marshal. Ia membalas Oke singkat lalu meletakkan ponselnya lagi. Jam sepuluh lebih dua belas. Mereka baru masuk ke hotel lewat tengah malam setelah mengantar Jese ke stasiun dan melanjutkan perjalanan mereka. Kali ini mereka memilih tidak langsung melanjutkan perjalanan ke Jakarta melainkan berbelok ke Jogja. Menghabiskan satu dua hari di kota bakpia itu.

Julius meregangkan tangan dan kakinya di atas kasur hotel. Tidur malam yang cukup panjang setelah berbulan-bulan ia hanya tidur dua sampai tiga jam saja setiap harinya.

Julius hanya asal meraih kaos yang tersampir di gantungan baju untuk menutup bagian atas badannya setelah menggosok gigi dan mencuci muka asal di kamar mandi. Mau sedingin apapun suhu AC di kamar, Julius tidak terbiasa tidur dengan memakai baju. Setidaknya dia cukup sadar diri untuk selalu melindungi bagian bawah tubuhnya jika tidak sedang di rumahnya sendiri.

Julius mengambil ponsel dan access card kamarnya lalu segera menuju kamar Marshal. Perutnya keroncongan. Tentu saja, ini sudah tidak pagi lagi.

Kamar Marshal ada di seberang kamar Julius. Tidak butuh waktu lama untuk managernya itu membukakan pintu setelah Julius menekan bel. Indra penciuman Julius disambut oleh aroma kopi yang sepertinya baru diseduh.

"Kok udah ada kopi aja, Bang?" tanya Julius tanpa melepas pandangannya pada secangkir kopi di meja sebelah jendela besar yang mengarah ke pemandangan kota di luar.

"Mau? Gue bikinin dulu. Tapi adanya cuma kopi saset instan," tawar Marshal sambil memasukkan air ke pemanas.

"Gak usah deh, Bang. Nanti aja sekalian jalan. Jadi mau ke Malioboro, kan?"

Marshal meninggalkan pemanas air tanpa menyalakannya lalu membuka nasi bungkus untuk mereka berdua.

"Jadi lah. Bang Joni udah berisik minta oleh-oleh pas tau kita mampir Jogja," jawab Marshal sambil mendekatkan salah satu nasi ke arah Julius. Tanpa banyak bicara dilahapnya nasi di depannya tanpa sendok.

Marshal menyadari bahwa Julius baru saja bangun. Meski ada bekas air di ujung rambutnya, menunjukkan laki-laki itu sudah cuci muka, tapi mata Julius masih belum terbuka seratus persen. Marshal terkekeh sambil membersihkan nasi yang menempel di ujung bibir Julius, membuat yang lebih muda berhenti mengunyah dan mendongak memandangnya.

"Pelan-pelan makannya. Sampe ke mana-mana tuh nasi." Marshal mengacak rambut Julius dengan tangan kirinya yang masih bersih.

"Haher." Laper. Marshal menangkap jawaban Julius yang diucapkan di tengah penuhnya mulut dan menahan diri untuk tidak melempar tubuhnya ke laki-laki itu untuk memeluk saking gemasnya.

Dalam waktu sepuluh menit saja dua bungkus nasi sudah ludes.

Marshal menyisip kopinya. Pandangannya ke luar jendela ke arah jalanan di depan hotel mereka. Mobil dan motor mulai ramai berlalu lalang. Untung ini bukan musim liburan. Keramaian Jogja masih bisa mereka maklumi.

Marshal menoleh ke Julius di sampingnya dan tertegun saat laki-laki itu menyisip kopi dari cangkir Marshal, tepat di bekas Marshal meminum kopinya beberapa detik sebelumnnya. Indirect kiss. Marshal membuang muka dan berdiri sebelum Julius menyadari pipinya yang memerah.

"Setengah jam, ya. Siap-siap terus kita jalan."

"Sejam setengah bisa gak, Bang Bos?" tanya Julius sambil berdiri lalu menghampiri Marshal dari arah samping. Julius meletakkan kepalanya di bahu Marshal dan menyamankan dirinya, yang berarti semakin mendekat ke leher Marshal. "Masih ngantuk, Bang."

Marshal berdehem dan berharap Julius tidak mendengar jantungnya yang sudah dipaksa berolahraga sepagi ini. "Kabari aja kalo udah siap."

***

Jogja sangat panas. Sudah lama Julius tidak ke kota itu dan dia sedikit menyesal kenapa memilih mampir ke Jogja alih-alih ke Malang yang udaranya lebih bersahabat. Yak, tentu saja. Ini road trip perjalanan pulang ke Jakarta. Kalau dari Surabaya ke Malang dulu berarti ini road trip liburan, bukannya mendekati Jakarta malah makin jauh.

Beruntung kemeja katunnya lumayan memberi sirkulasi udara yang bagus ke tubuhnya. Julius tidak siap kalau harus membuka kemejanya demi mendapat hawa sejuk di tengah-tengah kegerahan itu karena hanya memakai kaus tanpa lengan dengan potongan rendah di dalamnya.

Es kopinya sudah lama habis, hanya tersisa beberapa butir es batu yang ia kunyah dengan brutal untuk setidaknya memberi kesegaran di mulutnya. Sementara Marshal yang berjalan di samping Julius masih menikmati es teh cekeknya, setelah sebelumnya sudah menghabiskan satu gelas cafe latte dingin. Julius sedikit menyesal tidak menerima tawaran Marshal untuk ikut membeli es teh di warung pinggir jalanan Malioboro itu.

Marshal dan Julius sudah mengelilingi kota untuk belanja oleh-oleh ke beberapa toko. Malioboro menjadi destinasi terakhir. Sekalian mereka penasaran ingin menonton pertunjukan di Raminten.

"Makan dulu aja, ya? Kita beli tiket OTS jadi gak dapet makanan," ujar Marshal.

"Pengen gudeg. Sekitar sini ada gak sih?" tanya Julius sambil membuka aplikasi penunjuk arah di ponselnya, berusaha mencari warung gudeg terdekat. "Bang, ada deket sini. Ke sana aja apa ya?"

"Boleh. Sini lihat?" Marshal berhenti berjalan dan menghampiri Julius untuk melihat tampilan ponselnya. Julius mendongak sekilas lalu kembali fokus ke ponselnya.

Jarak Julius dan Marshal sekarang sangat dekat. Dengan perhatian sama-sama ke satu layar ponsel, kepala mereka hampir menempel.

Badan Marshal wangi. Itu yang pertama kali terlintas di pikiran Julius. Padahal mereka sudah amat sangat sering beraktivitas bersama, tapi kenapa baru sekarang Julius menyadari itu.

"Parfum lo apa, Bang? Wangi bener padahal dari tadi panas-panasan?" Tentu saja otak impulsif Julius tidak bisa menahan pertanyaan itu meluncur dari bibirnya.

Marshal pun mengalihkan pandangannya dari ponsel ke arah Julius. Gerakan yang salah. Mereka terlalu dekat. Sekarang hidung mereka hampir menempel. Marshal bisa melihat titik-titik keringat di dahi Julius, bisa melihat matanya yang mulai sayu karena cuaca yang terik, dan rona merah di pipi Julius. Tentu saja Marshal tahu itu efek dari panasnya matahari. Namun, bolehkah dia berharap suatu saat dirinya lah yang berhasil membuat Julius merona seperti itu?

"Ehm, apaan ya? Gue lupa. Kado dari bokap, sih." Marshal menjawab asal dengan terbata. "Ini warungnya deket. Yok jalan." Tanpa melihat penunjuk arah lagi, Marshal langsung berjalan meninggalkan Julius dibelakangnya.

Julius pun terheran-heran. Kenapa tiba-tiba Marshal terlihat gugup?

***

A Story of Marshal & Julius - MarkMin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang