First Fight

107 10 16
                                    


Malam tahun baru ini Julius dan Marshal sudah berencana untuk menghabiskan waktu bersama di sela-sela kesibukan keduanya. Cukup satu malam tanpa gangguan pekerjaan. Julius akan memasak di apartemen Marshal lalu mereka akan menikmati makan malam berdua. Memang sederhana. Toh jadwal mereka berdua masing-masing sedang sangat padat sehingga sangat susah untuk saling bertemu. Jadi acara sekecil apapun asalkan dihabiskan bersama satu sama lain akan terasa lebih berarti.

Tahun baru masih beberapa hari lagi. Tapi Julius sudah membuat list masakan apa saja yang akan ia buat dan mengatur jadwalnya agar kosong di tanggal 31 Desember. Julius bukan koki atau ahli masak yang hebat. Tapi ia cukup bisa memasak berbagai macam masakan atau sekedar mengikuti resep yang ia temukan saat ia berseluncur di dunia maya karena sudah terbiasa hidup sendiri bertahun-tahun.

Saat Julius sedang sibuk dengan tablet di tangannya yang ia gunakan untuk mencari ide masakan, ponselnya berbunyi menunjukkan Jese meneleponnya.

"Iya, Jes?" sapanya saat panggilan sudah tersambung melalui pengeras suara.

"Bang, ada undangan party dari PH buat tahun baru. Gue cari info lumayan banyak sih yang dateng. Mau?" tanya Jese dari seberang telepon.

"Gue udah ada planning sama Bang Marshal nanti tahun baru, Jes. Kayaknya ini skip dulu, deh," jawab Julius, tidak mengalihkan pandangannya pada tampilan mesin pencari di tablet di tangannya.

"Oke, Bang. Udah bilang Mbak Tika juga kan kalo minta kosong?"

"Udah kok. Gue baru ada jadwal lagi habis tahun baru."

"Siap, Bang Jul. Kabari aja kalo perlu apa-apa, ya."

"Iya, Jese."

***

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Julius sudah menghabiskan dua gelas kopi dengan perut kosong. Makan malam yang ia siapkan di apartemen Marshal itu sudah dingin. Rambut coklat gelap Julius sudah berantakan karena ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk berganti-ganti posisi sembari melihat film di televisi Marshal. Lelaki itu memeriksa ponselnya berkali-kali dan masih saja tidak ada tanda-tanda kabar dari Marshal.

Marshal seharusnya sudah pulang dari kantor tepat pukul lima. Mungkin akan sampai di apartemennya pukul tujuh malam. Tapi sampai dua jam sebelum pergantian tahun, mantan manager Julius itu tidak bisa dihubungi. Tidak ada kabar. Pesan Julius hanya meninggalkan status tersampaikan tanpa terbaca, setidaknya sampai satu setengah jam yang lalu sebelum status pesan-pesan selanjutnya hanya terkirim. Semua panggilan Julius tidak terjawab. Dan kali ini Marshal benar-benar MIA.

Jese
Bang, dicariin orang-orang
Jadinya gue dateng sama Mbak Ariska

Julius hanya membuka pesan dari Jese melalui jendela notifikasi di ponselnya. Tidak berniat sedikit pun untuk membuka apalagi membalas pesan itu. Rasa kesal mulai merasuki Julius. Setidaknya jika Marshal bilang di awal kalau akan pulang selarut ini, ia bisa setor muka ke acara PH. Julius bukan aktor kawakan yang saat diam saja pun akan dikejar-kejar produser dan sutradara. Dia perlu menjemput bola.

Julius tak sadar matanya mulai menutup saat menonton film hingga ia dikejutkan suara pintu apartemen yang dibuka dengan lebih kasar dari biasanya. Julius yang belum seratus persen terbangun terhuyung saat berdiri dengan pikiran buruk masuk di otaknya. Kalau ada maling dia harus apa?

Baru saja Julius menemukan payung yang bisa ia gunakan sebagai senjata, Julius menyadari ternyata yang masuk ke dalam apartemen adalah si pemilik.

Marshal melepas sepatunya dengan kesulitan dan berantakan. Saat sepatu kanannya sudah berhasil dilepas, ia melemparnya ke sembarang arah. Dan saat ia berusaha melepas sepatu kirinya, Marshal terhuyung hingga jatuh. Julius berlari menghampiri kekasihnya itu dan membantunya duduk di lantai lalu melepas sepatu dan kaos kaki Marshal.

Julius bisa melihat semburat merah di wajah Marshal bersamaan dengan bau alkohol menguar dari baju dan nafasnya. Julius melirik jam di dinding. Ternyata hari sudah berganti, tahun sudah berganti.

"Kamu ke mana aja sih, Bang? Gak ngabarin tiba-tiba dateng mabuk," gerutunya sambil membantu Marshal ke kamarnya.

"Hemm.. Julius..." ujar Marshal lalu menghentikan langkahnya di dekat meja makan dan menahan Julius agar berdiri menghadap ke arahnya. "Kok kamu di sini sayang?"

"Bang, kita udah janjian mau dinner lho malam ini. Aku udah di sini dari sore. Udah nyiapin segala macem. Kamu malah ngilang sampe lewat tengah malam," kata Julius menahan emosinya. Ia tahu akan sulit berbicara dengan Marshal saat itu.

"Aku tadi ada dinner dadakan sama kenalan papa, sayang. Jangan ngambek dong," ujar Marshal dengan nada yang menunjukkan kesadarannya ada di ambang batas.

"Kan bisa kabari dulu. Tahu gitu aku bisa ke party nya PH," lanjut Julius yang kali ini tidak berhasil menyembunyikan kekesalannya.

"Apasih? Party gak penting kayak gitu kan gak usah dateng gak apa-apa." Entah kenapa nada bicara Marshal sudah mulai tidak bersahabat di telinga Julius.

"Kok gitu sih, Bang? Kamu tahu sendiri aku masih perlu cari banyak koneksi buat cari-cari project. Aku gak bisa lah ngandelin dari agensi aja apalagi project akting yang ditangani agensi Bang Joni belum banyak." Julius harusnya tahu kalau orang mabuk tidak akan rasional. Tapi rasa kecewanya yang sudah menunggu Marshal lama sudah menguasai pikirannya, mengalahkan logikanya.

"Oh? Cari koneksi? Bukan cari gandengan lagi? Pake baju-baju sexy lagi? Godain orang lagi? Apa ada kamu incer?" Nada Marshal tidak terdengar marah. Tapi mengejek. Dan Julius benar-benar muak.

Plakk!!!!

Tangan Julius reflek mendarat di pipi Marshal.

"Maksud lo apa sih? Lo pikir gue cowok apaan? Lo tahu sendiri gimana gue bangun karir gue dari dulu! Lo yang kenal gue dari awal gue masuk dunia modelling! Gue gak peduli kalo omongan sampah kayak gitu dari orang lain, tapi bukan lo, Marshal!"

"Apalagi coba yang lo cari? Udah enak pacaran sama gue masih mau jadi aktor yang jilat sana sini."

Plakk!!!

Tamparan kedua di pipi yang sama bersamaan dengan teriakan Julius, "Marshal Laksana!"

Tanpa banyak bicara Julius mengambil tasnya di atas meja makan, tak sengaja menyenggol gelas yang langsung jatuh dan pecah berkeping-keping di lantai. Tanpa menoleh Julius meninggalkan apartemen Marshal dengan air mata mengalir deras.

***

Author's note :
Jadi ini mau Marshal-Julius break up era gak?

A Story of Marshal & Julius - MarkMin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang