Mistletoe

136 11 0
                                    

"Julius."

Julius menoleh ke managernya. Mereka ada di ruang tunggu aktor untuk project filmnya. Aktor dan aktris lain yang sudah datang sedang di luar mengambil beberapa adegan, sedangkan lainnya belum datang. Julius sendiri di ruang tunggu setelah menyelesaikan riasannya.

Marshal mendekatinya dengan hati bergemuruh. Sejak pulang dari New York, apalagi setelah menginjak tanah Jakarta, hubungan mereka seakan tidak ada perubahan apa pun, tetap seperti Julius sang aktor-model dan Marshal si manager biasanya. Tapi memangnya, apa yang berubah?

Kali ini Marshal ingin membuat perubahan itu. Setidaknya satu langkah kecil sejak dia tahu Julius menyimpan ketertarikan kepadanya.

"Iya, Bang? Gue disuruh keluar sekarang? Bukannya masih nunggu Kak Ambar, ya?" tanya Julius tanpa menyadari raut wajah Marshal yang kaku.

"Nope. Bukan itu." Marhsal menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sabtu besok lo gak ada jadwal, kan?" tanya Marshal.

Julius melihatnya dengan tatapan aneh, seakan berkata, apaan sih? "Kan Bang Marshal yang pegang jadwalku. Biasanya aku juga yang tanya. Bang Marshal yang lebih tahu kapan aku kosong."

"Iya. Bener. Seratus," sahut Marshal salah tingkah. "Emm.."

"Apa sih, Bang? Yang jelas, deh. Tumben banget."

"Maudinnersamaguegak?" Marshal menyerukan pertanyaannya cepat karena gugup.

"Ha?"

"Maudinnersamaguegak?" ulang Marshal masih dengan nada cepat. Tapi kali ini Julius menangkapnya.

"Oh. Dinner?" Julius mendadak berdebar. Sejak ciuman mereka di New York, Julius menghindari pembahasan apapun yang berhubungan dengan hubungan mereka. Padahal dia sendiri yang meminta Marshal menunggunya, tapi ia sendiri juga yang bingung bagaimana memulainya selain berpura-pura tidak ada apa-apa.

"Iya. Gimana? Kalo gak mau gak ap-"

"Oke. Gue mau kok," sahut Julius cepat.

Lalu hening kembali menyelimuti keduanya, sama-sama tidak tahu harus berkata apa.

"Ehm. Oke. Gue jemput di apartemen lo jam tujuh, ya."

"Is it a da-"

"It's a date. Yes. Gue keluar dulu. Ehm, ketemu sutradara," ujar Marshal kikuk lalu kabur meninggalkan Julius yang masih terpaku di tempatnya.

Kan yang biasanya ngobrol sama sutradara gue, ya? batin Julius.

***

Hari Sabtu.

Sudah satu jam Julius mematut dirinya di depan cermin di kamar apartemennya. Berbagai baju, jaket, celana, sepatu berserakan di kasur dan lantai.

Ini bukan pertama kalinya Julius makan berdua dengan Marshal. Sejak Marshal fokus menjadi managernya, Marshal lah yang menemani Julius untuk makan di mana pun setelah jadwalnya selesai.

Tapi ini adalah kencan pertama mereka. Bukan sekedar makan malam antara dua rekan kerja. Akhirnya pilihan Julius jatuh pada loose jeans dengan jaket hitam di atas tank top putih slim fit nya. Itupun setelah ada bunya bel di apartemennya yang menunjukkan Marshal sudah di depan pintu.

"Masuk dulu, Bang. Tunggu bentar, ya," ujar Julius setelah membuka pintu.

Marshal berdehem lalu masuk dan duduk di sofa di depan tv.

Ini bukan pertama kalinya Marshal ke apartemen Julius. Bahkan dirinya beberapa kali menginap. Tapi tidak pernah segugup ini.

"Ayo. Gue udah siap," ujar Julius.

A Story of Marshal & Julius - MarkMin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang