Chapter 11: A

68 11 6
                                    

{𝗔 𝗡𝗶𝗴𝗵𝘁 𝗧𝗼 𝗥𝗲𝗺𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿}𝘏𝘢𝘱𝘱𝘺 𝘙𝘦𝘢𝘥𝘪𝘯𝘨 🌕

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

{𝗔 𝗡𝗶𝗴𝗵𝘁 𝗧𝗼 𝗥𝗲𝗺𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿}
𝘏𝘢𝘱𝘱𝘺 𝘙𝘦𝘢𝘥𝘪𝘯𝘨 🌕

Jake dan Anna melangkah memasuki area taman hiburan yang ramai. Malam itu, Jake mengenakan pakaian kasual yang lebih santai, tetapi tetap terlihat rapi dengan kemeja yang dipadu dengan celana hitam yang gelap. (Setelan serba hitam)

Kontras dengan gaya bos mafia itu, Anna terlihat ceria dalam balutan sweater hangat berwarna merah dan rok pendek selutut yang nyaman, rambutnya diikat kebelakang.

Suasana malam di tempat itu penuh warna dengan lampu yang berkelap-kelip, tawa anak-anak, dan aroma berbagai makanan yang menggoda selera.

Meskipun sudah agak larut, keramaian di taman itu tidak surut. Anna tak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat melihat berbagai penjual makanan yang menawarkan camilan manis, popcorn, dan makanan cepat saji.

Dia menggenggam tangannya dengan bersemangat, matanya berbinar-binar melihat wahana-wahana yang mengundang adrenalin. Namun, di sisi lain, Jake hanya menunjukkan ekspresi datar, tampak tidak terkesan dengan suasana di sekelilingnya, seolah-olah taman hiburan ini hanyalah tempat yang membosankan baginya.

Flashback:
"Bermain di sana? Kau pikir aku akan pergi ke tempat seperti itu?" Jake tertawa, posisi mereka masih sama, Anna masih ditahan di mejanya.

Anna mencibir, memperlihatkan wajah kecewa. "Mungkin... Ini mungkin, jika kau mau mengajakku keluar untuk malam ini saja, aku mungkin akan menyukaimu meski hanya sedikit." katanya dengan menunjukkan jari 🤏🏻.

Wajahnya semakin dekat. "Kau membujukku?"

Dia hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Apa kau berjanji tidak akan kabur?"

"Ya," jawabnya dengan penuh keyakinan.

"Tapi aku tidak ingin anak buahmu mengawasi kita. Aku hanya ingin... bermain, tidak macam-macam, aku janji." Anna mencoba untuk membujuknya, dia hanya menginginkan malam yang bebas dan menyenangkan.
Flashback off.

Anna melanjutkan langkahnya dengan ceria, senyumnya tidak pernah pudar dari wajahnya. Sesekali Jake menariknya mendekat agar dia tidak menabrak orang-orang yang berjalan cepat di sekitarnya.

Akhirnya, mereka sampai di depan sebuah bianglala yang besar. Lampu-lampu berwarna-warni berkilauan dan suara tawa riang terdengar jelas di sekelilingnya. Jake menatapnya dengan bingung, seolah mempertanyakan keputusan mereka. "Kau ingin naik?"

Dia menoleh dengan senyum lebar, matanya berbinar. "Bersamamu, ayo!"

___
Anna dengan semangat menarik tangannya, mengajaknya menaiki bianglala yang menjulang tinggi, Jake mengikuti langkahnya dengan tatapan datar, terlihat enggan namun tetap membiarkannya memimpin.

Saat mereka sudah duduk di dalam kabin, dia memilih untuk duduk berhadapan dengannya, senyum lebarnya tak kunjung hilang meski pria yang sedang bersamanya terlihat jauh dari suasana hati yang sama.

Bianglala perlahan bergerak naik, Anna tidak bisa menahan rasa takjubnya, namun ketika dia menatap Jake, ekspresinya tetap tidak berubah, dingin dan tampak tidak tertarik.

𝘈𝘱𝘢 𝘮𝘰𝘰𝘥𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘬?

Untuk mengurangi ketegangan yang mengambang di antara mereka, dia mencoba memulai percakapan, dia tidak ingin malam ini diisi dengan keheningan yang canggung.

"Apa kau pernah ke tempat seperti ini sebelumnya?" tanyanya penuh rasa ingin tahu.

"Tidak,"

"Sungguh? Kenapa?"

Jake tidak menjawab melainkan hanya menatap keluar jendela. Diamnya menyiratkan bahwa dia tidak tertarik untuk berbagi apa pun tentang masa lalunya.

Ada misteri yang selalu menyelimuti pria ini, dan setiap kali Anna mencoba mengungkapnya, Jake selalu menutup diri.

Anna menghela napas pelan dan bersandar di kursinya, memandangi pemandangan di luar yang kini semakin tinggi. "Dulu ayahku sering membawaku ke tempat seperti ini," ucapnya dengan nada penuh nostalgia, "Dia sangat baik."

Namun, sebelum Anna sempat melanjutkan, Jake dengan nada sinis memotongnya, "Untukmu."

Dia terkejut dengan komentar itu, dia menatapnya dengan heran, tidak mengerti mengapa pria ini selalu terdengar sarkastik setiap kali dia menyebutkan sesuatu tentang keluarganya.

𝘔𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯!

"Kau iri karena tidak punya ayah sebaik ayahku," ucap Anna dengan nada mengejek.

"Tidak semua ayah baik," ucapnya, matanya menatap tajam ke arahnya. "Kau hanya terlalu naif."

Kata-katanya menembus langsung ke hatinya, menyisakan perasaan tidak nyaman.

Dia merasakan amarahnya naik. Bagaimana Jake bisa bicara seperti itu? Dengan cepat, dia berdiri dari tempat duduknya, siap membantah melawan perkataannya.

Namun, sebelum dia sempat berkata apa-apa, bianglala tiba-tiba berhenti mendadak, Anna yang berdiri tanpa pegangan hampir kehilangan keseimbangannya dan terjatuh ke depan.

Untungnya Jake dengan cepat meraih pergelangan tangannya, menariknya dengan kuat sehingga tubuhnya terhempas ke pangkuannya.

"Hati-hati," bisiknya dengan suara rendah, hampir seperti peringatan yang lembut.

Dia buru-buru berdiri dan kembali ke tempat duduknya, tidak berani menatap Jake terlalu lama. "Maaf," ucapnya dengan suara pelan, sambil menghindari tatapannya.

___
Setelah mereka turun dari bianglala, Jake segera berkata dengan nada tegas, "Kita akan segera pulang."

Anna langsung memasang wajah cemberut. "Secepat ini? Tapi kita baru datang beberapa menit yang lalu."

"Aku tidak bilang kita akan lama,"

Dia menghela napas pelan sebelum berkata, "Aku ingin ke kamar mandi sebentar, kau pergi duluan saja ke mobil."

Tatapan Jake penuh kecurigaan. "Apa kau berniat untuk lari?"

"Tidak, hanya sebentar saja, aku tidak bohong,"

Pria itu menatapnya sesaat sebelum akhirnya berjalan menuju jalan keluar, tetapi langkahnya terhenti. Pandangannya tertuju pada seorang ayah yang menggenggam tangan putrinya dengan lembut. Wajah Jake tiba-tiba berubah saat memandangi mereka.

𝗕𝗲𝗯𝗲𝗿𝗮𝗽𝗮 𝘁𝗮𝗵𝘂𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗮𝗹𝘂:
Jake berdiri di kejauhan, mengawasi seorang pria dan putrinya yang berjalan beriringan di taman. Tatapan Jake dipenuhi dengan kebencian. Genggaman erat ayah dan anak itu tampak kontras dengan amarah yang membara dalam dirinya.

Kembali ke kenyataan, Jake menyipitkan mata dan merasakan kemarahan yang lama terpendam dalam dirinya.

Setelah menunggu cukup lama, tanpa melihat tanda-tanda kembalinya gadis kecil itu, Jake memutuskan untuk menyusul.

Namun, begitu sampai di tempat yang disebutkan Anna, darahnya langsung mendidih melihat gadisnya dikelilingi oleh beberapa pria. Wajah Anna tampak tidak nyaman, dan dia bisa melihat bagaimana mereka berusaha mengganggunya.

{𝗧𝗼 𝗕𝗲 𝗖𝗼𝗻𝘁𝗶𝗻𝘂𝗲𝗱}
𝗡𝗼𝘁𝗲: 𝗷𝗶𝗸𝗮𝗹𝗮𝘂 𝗿𝗲𝗮𝗱𝗲𝗿𝘀 𝗺𝗲𝗻𝘆𝘂𝗸𝗮𝗶 𝗰𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮 𝗶𝗻𝗶, 𝘁𝗼𝗹𝗼𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗿𝗶𝗸𝗮𝗻 𝘃𝗼𝘁𝗲 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗱𝘂𝗸𝘂𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗮𝘂𝘁𝗵𝗼𝗿🌜

A Dangerous AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang