10

3.2K 273 32
                                    

Karena pada dasarnya iri hati adalah akar dari semua kejahatan.
.
.
.
.
.
.
  
  ︵ Hi~
(''\(●-●)
\ /     0\ \
  (          )''
  \__T__/ ”

Bella tertidur dengan begitu nyenyak, setelah berbulan-bulan mengeluhkan kasur di panti asuhan yang terasa keras seperti papan. Pagi ini, tubuhnya terasa jauh lebih baik, tanpa rasa sakit yang biasa menyiksa.

"Nyaman sekali," gumamnya sambil meregangkan otot-otot yang sudah lama kaku. Ia melirik jam di meja samping tempat tidur. Jarum jam menunjukkan pukul 17:30. Sebentar lagi waktu makan malam, momen yang selalu ia tunggu-tunggu.

Namun, ekspresinya tiba-tiba berubah. Ada kebingungan di wajahnya. "Haruskah aku bersikap manis dan penurut?" pikirnya, menimbang-nimbang. "Atau... tetap menjadi diriku dengan bersikap tenang?"

Ia menghela napas, kemudian tertawa kecil. "Lagi pula, aku tidak mengenal mereka. Buat apa peduli?"

Sebuah senyum licik terpatri di wajahnya, seolah sudah merencanakan sesuatu. Setelah melirik sekilas ke arah jam yang terus berdetak, ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke pintu.

Bella membuka pintu kamarnya perlahan, kakinya melangkah pelan menuju lift. Tapi kemudian matanya tertuju pada tangga di sampingnya. "Mungkin lebih menarik kalau aku turun lewat sini," gumamnya, lalu memutuskan untuk menuruni anak tangga, satu per satu, sembari matanya menjelajahi tiap sudut lorong yang tampak asing namun menarik baginya.

Ketika Bella baru saja menginjak lantai dua, sebuah suara tiba-tiba memecah kesunyian.

"Kamu siapa?!"

Bella terkejut, menghentikan langkahnya. Matanya bertemu dengan seorang gadis yang berdiri di hadapannya. Gadis itu tampak sedikit lebih pendek darinya, namun dari sikap dan sorot matanya, jelas ia tidak senang melihat Bella. Alis Bella terangkat, sudut bibirnya terangkat sinis. Gadis ini… Eriel?

Eriel menatap Bella dari ujung kepala hingga ujung kaki, wajahnya menyiratkan ketidakpercayaan. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, suaranya mulai bergetar, menahan kemarahan.

"Kau... dari lantai tiga?" Mata Eriel melebar saat menyadari sesuatu. "Tunggu, lantai tiga?"

Mendadak wajahnya berubah merah padam. "Kau lancang sekali! Apa yang kau lakukan di sana?!" teriaknya, suaranya melengking hingga memantul di dinding koridor. Beberapa pelayan yang mendengar langsung datang tergesa-gesa, langkah kaki mereka terdengar di belakang Bella.

"Ada masalah apa di sini?" Seorang pria bertubuh kekar, mengenakan seragam hitam, berjalan cepat mendekat.

Eriel menunjuk Bella dengan jari yang gemetar. "Dia... dia penyusup!" teriaknya dengan penuh amarah.

Bella hanya tersenyum, menatap pria itu dengan tenang. Ada kilatan terkejut di mata pria tersebut ketika melihat Bella. "Penyusup, ya?" Bella terkekeh pelan, suaranya terdengar seperti tantangan.

Pria bertubuh kekar itu menatap Bella dengan penuh kewaspadaan, tapi ada sedikit keraguan di sorot matanya. "Penyusup, katamu?" tanyanya kepada Eriel, meski pandangannya tetap tertuju pada Bella. "Apa yang membuatmu yakin?"

Eriel, yang masih terbakar amarah, menyibak rambutnya dengan gerakan kasar. "Aku tahu setiap orang yang tinggal di sini, dan aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Dan dia turun dari lantai tiga, tempat yang seharusnya tidak boleh dimasuki sembarangan!" Suaranya bergetar, bukan hanya karena marah, tetapi juga ketakutan yang kini mulai tersirat di balik sorot matanya.

Bella menatap Eriel dengan tatapan menantang, lalu mengalihkan pandangannya kepada pria berotot itu. "Tampaknya aku membuat kegaduhan yang tidak perlu," katanya dengan nada tenang namun sarat dengan ketidakpedulian. "Aku bukan penyusup. Jika Anda ingin tahu siapa saya, Anda hanya perlu bertanya dengan cara yang lebih baik." Bella mendekatkan wajahnya sedikit, senyum tipis di bibirnya membuat pria itu terdiam sejenak.

A GENIUS & PSYCHOPATH GUARDIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang