Di suatu pagi yang cerah, aku berdiri di depan pintu rumahku, menatap jalanan yang tampak tenang. Langit biru membentang luas, dihiasi awan-awan putih yang perlahan bergerak, seolah enggan meninggalkan panorama indah itu. Hembusan angin membawa wangi tanah yang masih basah setelah hujan pagi tadi, menciptakan aroma segar yang mengingatkan pada petualangan kecil kami. Di kejauhan, tawa anak-anak yang bermain di taman terdengar ceria, tetapi pikiranku sudah terfokus pada rencana penting hari ini: menanam pohon maple bersama Elnathan.
"Ma! Aku pergi dulu ya!" teriakku, menarik sepatu sneakersku yang sedikit usang. Sepatu yang sudah menemaniku berpetualang di banyak tempat ini kini bersiap untuk melangkah menuju momen berharga.
Mama muncul dari dapur, tangannya masih memegang lap basah. Wajah lembutnya menyimpan kehangatan, dan senyumnya menebarkan kasih sayang ke arahku. "Hati-hati di jalan, Vero. Jangan pulang terlalu sore ya. Dan jangan lupa bawakan cerita menarik nanti malam!" ucapnya penuh perhatian.
Aku tersenyum sambil mengangguk. "Tenang saja, Ma. Aku dan El akan cepat pulang kok." Dengan semangat membara, aku membuka pintu dan melangkah keluar, merasakan angin sejuk menyapu wajahku. Di tangan kananku, aku menggenggam batang pohon maple muda, harapan yang akan kami tanam hari ini. Meski satu tangan sudah basah oleh keringat, hatiku berdebar penuh antusiasme.
Di rumah yang tidak jauh dari sana, Elnathan bersiap-siap untuk pergi. Rambutnya yang gelap terurai rapi, matanya berbinar penuh semangat menantikan petualangan yang akan datang. Saat ia melihatku mendekat, wajahnya bersinar, memancarkan semangat yang tak tertahankan.
Pagi itu, Elnathan dan aku berdiri di taman yang penuh dengan pepohonan. Hari ini, kami berencana menanam pohon maple kecil yang telah kami impikan sejak lama.
"Vero! Kamu cepat juga ya!" teriak Elnathan, melambaikan tangan dengan penuh keceriaan.
Aku tertawa saat mendekat. "Tentu saja! Aku nggak sabar menanam pohon kita." Mata kami bertemu sejenak, dan tanpa banyak bicara lagi, kami berjalan bersama menuju taman kota. Kami sudah sering ke sana, tetapi hari ini terasa istimewa, hari di mana jejak kenangan akan ditinggalkan untuk selamanya.
Jalanan menuju taman itu tenang, hanya dihiasi suara burung-burung yang berkicau di pepohonan sekitar. Kami berbagi cerita ringan yang hanya kami pahami. Elnathan bercerita tentang kesehariannya membantu Bibi Grace, sementara aku tertawa menceritakan kelucuan kucing tetangga yang selalu mengintip di jendela.
"Aku nggak sabar melihat pohon maple ini tumbuh besar," ujarku, tatapanku jauh ke depan, membayangkan pohon rimbun yang suatu hari nanti menaungi kami.
"Ya, dan kita bisa membuat rumah pohon di situ, seperti di film-film!" tambah Elnathan, matanya bersinar penuh harapan.
Setelah beberapa menit berjalan, kami akhirnya tiba di taman kota. Taman itu tidak terlalu besar, tetapi cukup luas untuk anak-anak bermain. Di salah satu sudut, terdapat area yang kami pilih untuk menanam pohon maple kami, tempat yang tenang dan sedikit tersembunyi, dikelilingi beberapa pohon lain yang sudah lebih dulu tumbuh besar.
"Vero, ayo cepat! Kita harus cepat menanamnya sebelum matahari terlalu panas!" Elnathan bersemangat, mengangkat sekop kecilnya.
"Iya, El! Aku sudah nggak sabar!" jawabku sambil melompat-lompat kegirangan. Kami berdua segera berlari ke tempat yang kami pilih untuk menanam pohon itu.
Setelah menemukan tempat yang pas, kami mulai menggali tanah. "Kau yakin ini cukup dalam?" tanyaku, mengamati Elnathan yang terus menggali.
"Pasti! Lihat, sudah cukup dalam!" jawabnya dengan percaya diri. Dia mengangkat sekop dan menunjukkan hasil galiannya. "Sekarang, kita bisa masukkan pohonnya!"
"Yay! Ayo, kita masukkan!" seruku dengan semangat. Kami dengan hati-hati menaruh pohon maple kecil itu ke dalam lubang yang telah kami gali.
"Kita harus menguburnya lagi dengan tanah," kata Elnathan, mulai menutup akar-akar pohon dengan tanah yang kami gali. "Biar dia cepat tumbuh!"
"Semoga pohon ini bisa tumbuh besar dan kuat seperti kita!" kataku sambil membayangkan pohon itu tinggi dan lebat.
"Iya! Kita bisa kembali ke sini setiap tahun untuk merayakannya," jawab Elnathan dengan senyuman lebar.
Setelah selesai menanam, kami duduk di bawah pohon yang sudah kami tanam, beristirahat sejenak. "Vero," Elnathan mulai bicara, "kalau suatu saat kita nggak bisa ketemu, kita tetap bisa kembali ke sini, kan?"
"Pasti! Kita akan selalu ingat tempat ini. Pohon ini adalah kenangan kita!" Aku mengangguk dengan semangat.
"Ya, dan kita akan jadi teman selamanya!" Elnathan menepuk bahuku. Kami berdua tertawa, merasakan kebahagiaan di antara kami.
"Jadi, kita berjanji ya, tiap tahun kita akan kembali ke sini?" tanyaku.
"Iya! Janji!" Elnathan mengulurkan jari kelingkingnya. Aku segera melingkarkan jariku di sekelilingnya.
Kami bertukar senyuman, merasakan kehangatan dari janji yang kami buat. Kami beranjak pergi, namun sebelum melangkah lebih jauh, aku menoleh kembali ke pohon maple yang baru saja kami tanam. "Kau harus tumbuh dengan baik ya!" bisikku.
Ketika kami berjalan pulang, Elnathan berkata, "Hari ini seru banget! Kapan-kapan kita harus melakukan ini lagi!"
"Iya! Kita harus bikin banyak kenangan di sini," jawabku, merasa gembira.
Malam tiba, dan saat aku bersiap untuk tidur, aku teringat momen menyenangkan itu. Rasanya seperti mimpi. Di dalam mimpiku, aku kembali ke taman, berdiri di bawah pohon maple yang tumbuh besar. Elnathan ada di sampingku, dan kami tertawa bersama.
Keesokan harinya, aku terbangun dengan semangat baru. Aku cepat-cepat bersiap dan berlari ke taman untuk melihat pohon kami. Saat tiba di sana, aku melihat Elnathan sudah menunggu.
"Vero! Lihat, pohon kita sudah mulai tumbuh!" katanya dengan semangat.
"Wow! Keren sekali! Ayo kita lihat lebih dekat!" seruku. Kami berdua mendekat, mengagumi daun-daun kecil yang mulai muncul.
"Vero, kita harus merawatnya setiap hari!" saran Elnathan. "Biar dia cepat besar!"
"Benar! Kita bisa menyiramnya bersama-sama!" jawabku antusias.
Hari itu kami habiskan dengan bercanda dan merawat pohon maple kami. Setiap kali aku melihatnya tumbuh, hatiku penuh harapan. Mungkin, suatu hari nanti, pohon ini akan menjadi simbol dari persahabatan kami yang tak tergoyahkan.
Kami berjanji untuk selalu bersama, seperti pohon maple yang akan terus tumbuh di taman ini. Dengan begitu, aku tahu bahwa persahabatan kami akan selalu ada, tidak peduli seberapa jauh kami pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Maple Saves Everything
Teen Fiction〔BLURB〕 "Pohon itu adalah makhluk hidup yang dapat mendengar, merasakan, dan melihat kita. Ia memiliki perasaan, merasakan sakit, dan menyimpan kenangan kita. Mungkin terdengar mustahil, tetapi jangan mengartikannya secara harfiah. Ibarat sahabat, k...