Hari-hariku berlalu perlahan, bagaikan awan kelabu yang menggantung di langit tanpa ujung. Awalnya, komunikasi antara aku dan Elnathan tetap terjalin meskipun jarak memisahkan kita. Setiap hari, ponselku bergetar, menampilkan pesan-pesan sederhana yang membawaku ke kenangan manis.
"Aku merindukan kafe kita. Di sini kopinya nggak seenak buatan Paman Rio."
Pesan-pesan itu seperti sinar matahari yang menerobos awan mendung, memberi sedikit kehangatan di dalam hatiku. Aku selalu membalas dengan antusias, berusaha memastikan Elnathan tahu betapa aku juga merindukannya.
"Semoga harimu menyenangkan, El. Kalau ada waktu, kabarin aku lebih sering ya," tulisku suatu malam, sambil menatap langit-langit kamarku yang seolah menggantungkan harapan-harapanku.
Namun, dua minggu berlalu, dan pesan dari Elnathan semakin jarang. Hari-hariku terasa sunyi. Ponselku yang dulunya ramai kini seperti sebuah buku yang tak pernah dibaca, dibiarkan terbuka di halaman yang sama. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa mungkin Elnathan sedang sibuk. Maka, aku tetap mengirim pesan.
"El, apa kabar? Aku masih sering ke pohon maple kita."
Tetapi pesan itu tak mendapat balasan. Hati ini mulai terasa berat.
Seminggu kemudian, aku mencoba menelepon, berharap suaraku bisa menjangkau Elnathan di mana pun dia berada. Panggilanku tak tersambung, dan hanya ada suara operator, "Nomor yang Anda hubungi tidak aktif."
Gelisah merayap masuk, seperti bayangan gelap yang mengganggu pikiranku. Malam itu, di atas tempat tidur, aku memandangi layar ponsel yang gelap, setiap detik terasa menyiksa. Pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benakku.
"Kenapa nomornya nggak aktif? Apa dia baik-baik saja?" gumamku dengan suara pelan, hampir seperti mengadu pada langit yang tak menjawab.
Keesokan harinya, aku duduk sendirian di bangku taman di bawah pohon maple yang kami tanam bersama. Daun-daun pohon itu bergoyang lembut tertiup angin, menambah kesan kesepian yang menggerogoti hatiku. Tangan ini menggenggam erat ponsel di pangkuan, berharap tiba-tiba ada kabar dari Elnathan.
"El, kenapa kamu nggak balas? Apa kamu lupa sama aku?" bisikku, mataku mulai berkaca-kaca, seolah air mata menunggu untuk jatuh.
Di dalam hati, aku tahu bahwa sesuatu telah berubah. Namun, aku menolak untuk mempercayainya. Hari demi hari, aku terus menunggu, berharap ada kabar, sekecil apa pun itu, dari Elnathan. Namun yang ada hanya kesunyian yang menghantui setiap hariku, menciptakan ruang kosong yang tak terisi.
Dengan berat hati, aku berjalan pulang dari taman, masih menggenggam ponsel. Setiap langkah terasa semakin berat, harapanku perlahan memudar, tetapi rasa rinduku tak pernah berkurang, seperti luka yang tak kunjung sembuh.
Elnathan benar-benar menghilang. Sudah satu bulan berlalu, dan aku mulai merasakan kehilangan yang lebih dalam, seolah jiwaku terpisah dari bagian yang paling penting. Setiap hari terasa seperti perjalanan tanpa tujuan, tetapi aku tetap menunggu, berharap ada keajaiban yang tiba-tiba membawa Elnathan kembali. Aku masih mengirim pesan meskipun aku tahu itu hanya akan tenggelam di lautan kesunyian.
"El, aku masih menunggu di sini. Aku berharap kamu baik-baik saja."
Namun, pesan itu hanya seperti bisikan yang tenggelam di udara, hilang tanpa jejak. Tidak ada balasan, tidak ada tanda-tanda kehidupan dari Elnathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Maple Saves Everything
Teen Fiction〔BLURB〕 "Pohon itu adalah makhluk hidup yang dapat mendengar, merasakan, dan melihat kita. Ia memiliki perasaan, merasakan sakit, dan menyimpan kenangan kita. Mungkin terdengar mustahil, tetapi jangan mengartikannya secara harfiah. Ibarat sahabat, k...