〔Chapter 12〕Belajar di rumah Bibi Grace

16 8 0
                                    

Pagi itu, di minggu yang seharusnya tenang, aku terbangun lebih awal dari biasanya. Jam di ponselku menunjukkan pukul empat dini hari. Aneh, pikirku. Di hari minggu seperti ini, biasanya aku masih terlelap nyenyak hingga mama datang membangunkanku dengan suara lembutnya, tetapi hari ini berbeda. Entah kenapa, mataku terbuka begitu saja, seolah ada sesuatu yang memanggilku dari dalam kesunyian pagi.

Aku berguling di tempat tidur, mencoba meraih kembali rasa kantuk yang enggan datang. Kutaruh earphone di telinga, berharap alunan lagu K-pop favoritku bisa membuatku terlelap lagi. Satu lagu berlalu, dua, lima. Playlist yang kudengarkan habis begitu saja, tapi aku tetap terjaga. Tidak ada perubahan, hanya keheningan yang menguasai.

Dengan sedikit frustasi, aku melepaskan earphone dan menatap langit-langit kamar. Pikiranku berkeliaran, mengingat hari kemarin. Mungkin ini karena aku terlalu lelah, terlalu lama menatap buku pelajaran tanpa henti. Mungkin otakku masih berputar-putar, memproses semua yang kubaca.

Aku mencoba taktik lain. Kuambil novel yang yang terletak di meja samping tempat tidurku dan membuka halaman yang terakhir kubaca. Lima belas menit berlalu, lima bab pun terlewati, tapi mataku masih segar, tidak ada tanda-tanda kantuk. Aku menyerah. Novel itu kututup dan kubiarkan tergeletak di meja samping tempat tidurku, sementara pikiranku tetap berkelana dalam diamnya pagi.

Aku menuruni tangga, rasa lelah masih menggantung di tubuhku, tapi aku terus berjalan menuju dapur. Segelas air langsung kuambil dari kulkas, lalu kuteguk perlahan, berharap dinginnya bisa sedikit meredakan pikiranku yang kusut. Di sudut dapur, Mama sudah bangun, seperti biasa menyiapkan sarapan. Tangan terampilnya mengupas bawang, memotong cabai dengan rapi.

"Sudah bangun, Vero?" Mama melirikku sekilas, senyum tipis tersungging di wajahnya.

"Iya, Ma," sahutku, meletakkan gelas di meja. "Tapi rasanya aku tidak biasanya bangun sepagi ini. Aku masih ingin bersembunyi di balik selimutku yang hangat, tapi entah kenapa hari ini aku bangun terlalu cepat."

Aku menengadah, menopang dagu di atas meja sambil menatap Mama yang terus bekerja di dapur.

Mama menyalakan keran, membilas sayur di bawah air mengalir. "Mungkin kamu terlalu banyak pikiran, Nak. Seminggu ini Mama lihat kamu sibuk terus. Pulang sekolah langsung belajar, sering ke rumah Tiara. Mama jarang lihat kamu benar-benar istirahat."

Kata-kata Mama membuatku terdiam. Aku mendesah pelan, meletakkan jidatku di atas meja dingin. "Rasanya lebih kelelahan pikiran daripada tubuh, Ma. Ada kalanya pikiran terasa penuh, membuatku sulit tidur. Otakku rasanya tak bisa tenang, selalu terjaga."

Mama menoleh sebentar, memperhatikan wajahku yang lesu. "Istirahatlah, Vero. Jangan memaksakan diri. Kunci kesuksesan yang utama itu kesehatan. Kalau kamu terus begini, nanti saat ujian malah sakit."

Aku hanya mengangguk kecil, menahan lelah yang semakin terasa. "Mungkin benar, Ma. Belakangan ini aku terlalu memforsir diriku. Belajar terus, kadang memikirkan El, kadang juga... ah, melawan preman jalanan."

Mama berhenti mengaduk tumisnya, matanya langsung menatapku tajam. "Apa? Kamu melawan preman?!"

Deg. Jantungku serasa berhenti sesaat. Mama tidak tahu kalau aku sebenarnya bisa bela diri, kalau dulu aku dan Elnathan pernah berlatih karate bersama. Hanya Bang Rian yang tahu. Kami merahasiakannya dengan baik.

"Eh... bukan preman, Ma," jawabku cepat, berusaha menormalkan nada suaraku. "Aku dan Tiara cuma diganggu anak-anak nakal beberapa hari lalu. Kami berdua jadi tidak tahan, ya sudah, kami balas."

Kuusahakan senyum simpul di wajahku, berharap Mama tidak menyadari kegugupanku.

Untungnya Mama menghela napas panjang dan kembali fokus ke masakannya. "Mama kira kamu benar-benar melawan preman. Tubuhmu yang kecil begitu, sampai nyamuk pun bisa bikin kamu menangis," Mama tertawa kecil, seolah meredakan ketegangannya.

When Maple Saves EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang