Malam ini, aku sendirian di kamar. Sepi. Hanya suara detak jam dinding yang menemani, menghitung setiap detik yang berlalu seperti beban di hatiku. Aku berbaring tengkurap di atas kasur, laptop terbuka di hadapanku, tapi mataku tak tertuju pada layar. Aku melirik ke arah jam dinding, jarumnya terus berputar, seolah mengejek kecemasan yang menggantung di udara.
Hanya beberapa menit lagi menuju jam delapan malam. Jam delapan yang sudah kutandai sejak pagi. Jam delapan yang menjadi penentu apakah mimpi ini hanya ilusi atau kenyataan yang akhirnya kugapai.
Pikiranku penuh. Apa yang akan terjadi jika aku ditolak? Semua kerja keras, malam-malam tanpa tidur, dan harapan yang ku gantungkan pada satu email ini, semuanya bisa hilang dalam hitungan detik. Apa aku siap? Apa aku mampu menerima jawaban yang mungkin tidak sesuai harapan?
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku, tapi rasanya sia-sia. Jantungku terus berpacu, lebih cepat dari biasanya, seakan tahu bahwa keputusan penting sedang menunggu di ujung jarum jam.
'Berapa lama lagi?' pikirku, tak sabar tapi juga takut menghadapi kenyataan. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan menatap layar laptop, berharap entah bagaimana waktu bisa berlari lebih cepat. Namun, setiap detik terasa seperti satu jam penuh penantian.
"Tenang, Veronica, kamu sudah melakukan yang terbaik. Apa pun hasilnya, kamu harus terima," bisikku pada diri sendiri, meski aku tak yakin bisa mengikuti nasihat itu.
8:00 PM.
Jam dinding akhirnya berbunyi pelan, tapi rasanya keras sekali di telingaku. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku menatap layar laptop lagi. Mouse-ku bergerak ke arah ikon email. Satu notifikasi muncul. Itu dia-email yang telah kutunggu selama ini.
'Ini dia,' pikirku, setengah bersiap untuk hasil terburuk. Aku menarik napas dalam-dalam, menahan napas, lalu mengklik pesan itu. Layarnya sejenak membeku, lalu perlahan-lahan terbuka. Huruf-huruf itu muncul satu per satu, menyusun kalimat yang akan mengubah hidupku.
Aku membacanya perlahan, takut salah baca. Dan di sana, tepat di depan mataku, kata yang paling ingin kulihat terpampang jelas:
"Congratulations, Veronica!"
Seketika, tubuhku terasa lemas. Aku tak bisa menahan senyum yang perlahan tumbuh di wajahku, seperti matahari yang akhirnya keluar setelah badai. Dadaku terasa ringan, beban yang menekan selama berminggu-minggu tiba-tiba hilang begitu saja. Aku berhasil! Aku diterima!
"YA TUHAN, AKU DITERIMA!" aku berteriak sekuat tenaga, membiarkan semua kegelisahan, kekhawatiran, dan keraguan yang selama ini menahanku meledak dalam sorakan bahagia.
Aku melompat dari tempat tidur, berlari keluar kamar tanpa berpikir, dan mencari keluargaku. Mama yang sedang di dapur tampak terkejut saat aku menghampirinya dengan napas terengah-engah dan mata berkaca-kaca.
"Ma! Aku diterima! Aku diterima di Global Innovation University!" Suaraku penuh kegembiraan, hampir tak percaya aku mengucapkannya.
Mama menatapku, kemudian senyumnya mengembang perlahan. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung memelukku erat-erat. Aku bisa merasakan kebanggaan dan cinta dari pelukannya, lebih dari yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Vero... Mama tahu kamu pasti bisa," bisiknya lembut di telingaku. "Kau sudah bekerja keras. Ini adalah hasil dari semua itu."
Papa muncul dari ruang tamu, mendengar kegaduhan. Dia menghampiri dengan langkah tenang, tapi aku bisa melihat kilatan bangga di matanya yang biasanya dingin. Dia mendekat, menepuk bahuku ringan, dan berkata dengan suara rendah tapi tegas, "Kamu pantas mendapatkannya. Selamat, Nak."
Air mata mengalir di pipiku, tapi kali ini bukan karena takut atau cemas. Ini adalah air mata kebahagiaan-perasaan lega yang begitu kuat hingga tak bisa kutahan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Maple Saves Everything
Teen Fiction〔BLURB〕 "Pohon itu adalah makhluk hidup yang dapat mendengar, merasakan, dan melihat kita. Ia memiliki perasaan, merasakan sakit, dan menyimpan kenangan kita. Mungkin terdengar mustahil, tetapi jangan mengartikannya secara harfiah. Ibarat sahabat, k...