Minggu ini dimulai dengan persiapan besar-besaran, dan aku terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya muncul, masih tersembunyi di balik cakrawala. Udara pagi yang segar masuk lewat jendela kamarku yang terbuka, membawa aroma embun yang menenangkan.
Aku mengenakan seragam sekolahku-kemeja putih yang rapi dan rok abu-abu, seragam khas Harmony High School. Aku berdiri di depan cermin, menata rambut hitam lurusku dengan sederhana, seperti yang biasa kulakukan setiap hari. Dari luar aku mungkin terlihat biasa saja, tapi di dalam hati, ada sesuatu yang tak bisa kujelaskan.
Di meja belajar, buku-buku dan catatanku sudah tertata rapi, siap kubawa ke sekolah. Minggu ini sangat krusial-ujian kelulusan semakin dekat, dan itu akan menentukan masa depanku. Namun, tak bisa kupungkiri, di balik fokusku pada ujian, ada perasaan berat yang terus menghantui pikiranku sejak Elnathan menghilang setahun lalu. Kunjungan ke rumah Bibi Grace kemarin hanya memperburuk perasaan itu, membangkitkan rindu yang selama ini kucoba kubur.
Setelah selesai bersiap, aku turun ke dapur. Di sana, keluargaku sudah berkumpul untuk sarapan, menciptakan suasana hangat yang sedikit menenangkan hatiku.
"Bagaimana persiapanmu, Vero? Ujian sudah semakin dekat," tanya Papa dengan perhatian.
Aku tersenyum tipis. "Baik, Pa. Minggu ini aku akan belajar lebih banyak. Siang ini juga aku rencana belajar bersama Tiara."
Mama menyodorkan segelas teh hangat dan roti panggang. "Jangan lupa makan dan istirahat cukup. Kesehatan juga penting," katanya lembut.
Aku mengangguk, meskipun pikiranku masih mengembara ke arah Elnathan. Namun, setidaknya pagi ini suasana hangat bersama keluarga sedikit meredakan kegelisahanku.
Saat hendak keluar rumah, Abrian, kakakku, berdiri di teras sambil menatap langit yang mulai gelap. Awan kelabu menggantung rendah, tanda hujan akan turun kapan saja.
"Vero, sepertinya akan hujan. Biar Abang antar saja, daripada kamu kehujanan," katanya sambil mengambil helm dari rak.
Aku terdiam sejenak. "Tapi, Bang, bukannya Bang Rian ada tugas kelompok pagi ini?" tanyaku ragu.
Abrian hanya tersenyum. "Masih ada waktu. Lagipula, Abang lebih tenang kalau kamu diantar. Nanti kehujanan malah sakit."
Akhirnya aku mengangguk. "Baiklah, terima kasih, Bang."
Dia memberikan helm cadangan padaku. Aku merapikan rambutku sebelum memakainya, memastikan tidak terjepit di bawah helm. Rasanya sedikit longgar, tapi tetap nyaman.
"Sudah siap?" tanya Abrian sambil menstarter motornya. Suara mesin memecah kesunyian pagi.
Aku mengangguk dan naik ke belakang motor, memegang pinggang Abrian erat-erat. Ketika motor mulai melaju, aku merasakan hembusan angin dingin yang membawa aroma hujan. Jalanan mulai basah oleh gerimis yang turun pelan-pelan.
Selama perjalanan, kami berdua diam, membiarkan suara gerimis dan roda motor yang melintasi jalan menjadi pengisi kesunyian. Tiba-tiba, Abrian berbicara. "Aku tahu kamu pasti cemas soal ujian," suaranya jelas terdengar meski terhalang suara angin. "Tapi jangan terlalu khawatir. Kamu sudah mempersiapkan diri dengan baik."
Aku mempererat peganganku. "Bukan cuma soal ujian, Bang. Aku masih sering memikirkan Elnathan."
Abrian terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Sudah setahun, ya," gumamnya lembut. "Aku tahu ini berat, tapi kamu juga harus fokus pada dirimu sendiri sekarang."
Aku mengangguk kecil, meskipun hatiku masih terasa berat. "Aku berusaha, Bang. Tapi setelah kemarin ke rumah Bibi Grace, rasanya semua kenangan itu kembali."
KAMU SEDANG MEMBACA
When Maple Saves Everything
Teen Fiction〔BLURB〕 "Pohon itu adalah makhluk hidup yang dapat mendengar, merasakan, dan melihat kita. Ia memiliki perasaan, merasakan sakit, dan menyimpan kenangan kita. Mungkin terdengar mustahil, tetapi jangan mengartikannya secara harfiah. Ibarat sahabat, k...