Hari itu, Jumat pagi yang cerah, semangatku dan Tiara melangkah menuju sekolah. Setiap langkah di atas trotoar terasa penuh harapan, seolah sinar matahari yang lembut memeluk kami dan mendorong setiap mimpi untuk terbang tinggi. Halaman sekolah yang dipenuhi warna-warni bunga yang bermekaran menciptakan suasana ceria, menyambut kami dengan aroma segar yang membuat hati bergetar.
Namun, hari-hari itu terasa monoton, seperti semua berjalan dalam pola yang sama. Kami masuk ke kelas, mendengarkan pelajaran tanpa banyak variasi. Ketika bel istirahat berbunyi, kami bergegas menuju kantin, duduk di meja yang sama, memesan makanan yang itu-itu saja. Percakapan di antara kami juga tidak banyak berubah, lebih seperti kebiasaan rutin daripada percakapan yang hangat. Seakan waktu berjalan tanpa makna, mengalir dengan tenang tanpa memberi kejutan atau perbedaan berarti.
Setelah sesi belajar yang intens, di mana kami terlibat dalam diskusi mendalam, bel tanda pulang berbunyi, menggema seperti nada harapan di telinga kami. Tiara, dengan sorot mata penuh semangat, mengusulkan rencana untuk belajar bersama siang itu. "Hari ini kita lanjut belajar lagi di rumahmu kan? Kita perlu mempersiapkan diri dengan baik untuk ujian," katanya, senyum cerah menghiasi wajahnya.
Aku mengangguk penuh antusias, hatiku bergetar karena kebersamaan itu. "Tentu! Kita bisa membagi materi dan saling membantu. Selain itu, belajar bersama juga selalu lebih seru," jawabku, membayangkan kesenangan saat belajar bersama.
Dengan langkah ringan dan hati bergetar penuh harapan, kami melanjutkan perjalanan pulang, yakin bahwa kerja keras dan kebersamaan kami akan membuahkan hasil yang memuaskan. Saat kami berjalan berdampingan, tawa dan canda seolah menghapus semua kepenatan, menyiapkan kami untuk tantangan yang akan datang. Namun, di tengah kebahagiaan yang menyelimuti, suara teriakan seorang gadis tiba-tiba memecah keheningan.
"Bantu! Tolong!" Suara itu menggema, menandakan adanya bahaya yang mengintai. Ketika kami mendekat, suasana di ujung jalan yang sepi menunjukkan pemandangan yang menggugah rasa kemanusiaan kami. Seorang gadis berusia empat belas tahun dikelilingi oleh lima orang preman yang terlihat mengancam. Wajahnya yang pucat dan air mata yang mengalir di pipinya menambah kesan dramatis pada situasi tersebut.
Tiara menatapku dengan penuh keprihatinan. "Kita nggak bisa membiarkan ini terjadi. Kita harus membantunya!" desaknya, suaranya bergetar namun mantap.
Aku mengangguk tegas, rasa keberanian menyala di dalam diriku. "Ayo, Tiara. Kita nggak bisa hanya berdiri dan melihat saja." Dengan langkah mantap, kami berdua maju, mencoba menampilkan keberanian meski jantung kami berdegup kencang.
"Hey! Lepaskan dia!" seruku dengan suara tegas, berusaha menantang para preman.
Para preman berhenti dan menoleh, tawa sinis menggema di antara mereka. "Dua gadis kecil ingin ikut campur? Ini bukan urusan kalian!" salah satu dari mereka mengejek, merendahkan keberanian kami.
Tiara, meskipun merasakan ketakutan menggelayuti, tetap berdiri kokoh di sampingku. "Kami tidak akan membiarkan kalian menyakiti gadis itu. Segera pergi sebelum kami memanggil polisi!" tantangnya, suaranya bergetar tetapi penuh ketegasan.
Satu preman mendekat, meremehkan keberanian kami. "Kalau begitu, kita akan menunjukkan kepada kalian betapa salahnya menganggap kami remeh."
Kami saling berpandangan, dan dalam sekejap, kami tahu apa yang harus dilakukan. Kami tidak takut. Sejak SMP, kami telah berlatih karate dan memiliki sabuk hitam. Dengan sigap, kami bersiap untuk bertindak.
"Kalau begitu, kami akan menunjukkan kepada kalian siapa yang salah," kata Tiara, memposisikan diri dalam sikap bertahan.
Aku melangkah maju dengan percaya diri, melancarkan tendangan maut andalanku yang berputar dengan cepat. Tendanganku mengarah tepat ke salah satu preman, membuatnya terjatuh ke tanah dalam keadaan terkejut. Tiara tak mau ketinggalan; dia melayangkan tinjunya ke arah preman lainnya, dan dengan cepat, dia mampu membuat pria itu terhuyung.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Maple Saves Everything
Teen Fiction〔BLURB〕 "Pohon itu adalah makhluk hidup yang dapat mendengar, merasakan, dan melihat kita. Ia memiliki perasaan, merasakan sakit, dan menyimpan kenangan kita. Mungkin terdengar mustahil, tetapi jangan mengartikannya secara harfiah. Ibarat sahabat, k...