Jam 13.45, Harmony High School
Bel pulang berbunyi nyaring, dentangannya menggema di sepanjang lorong-lorong kelas. Para siswa kelas dua belas mulai merapikan barang-barang mereka, bersiap meninggalkan sekolah dengan semangat yang tak terungkapkan. Di tengah keramaian itu, aku, Veronica, tampak terburu-buru menyandang tas, seolah dunia di luar sana menunggu dengan janji yang menggoda.
Dengan langkah cepat, aku melangkah keluar kelas, meskipun wajahku berusaha tampak tenang. Di dalam hati, ada sesuatu yang kupendam—sebuah beban berat yang tak bisa kuungkapkan, membuatku sulit menikmati momen pulang sekolah ini. Seharusnya, pulang ke rumah menjadi saat yang ditunggu-tunggu, tapi saat ini, hanya ada kehampaan.
“Vero…!” Suara familiar memanggilku dari belakang, menghentikan langkahku yang terburu-buru.
Aku menoleh dan melihat Tiara berlari mendekat, wajahnya penuh kecemasan. “Eh… Tiara? Ada apa?” tanyaku, berusaha memaksakan senyum yang tidak sepenuhnya sampai ke mataku.
“Kamu ini! Tadi sudah kubilang tunggu aku. Kamu sendiri yang bilang kita pulang bareng,” protes Tiara, nada kesal bercampur perhatian terpancar di matanya. Dia tidak ingin melihatku pergi tanpa kepastian, dan aku bisa merasakan betapa dia peduli.
Aku menggigit bibir, bingung mencari alasan yang tepat. “Eh, anu… maaf… tadi aku… emm…” Kata-kata terhenti di ujung lidah. Semua alasan yang muncul di kepalaku terasa klise, seakan tak ada satu pun yang layak untuk dijelaskan.
Tiara mendekat, tatapannya tajam dan penuh kepedulian. “Vero, kamu nggak apa-apa? Dari tadi pagi aku lihat kamu lesu. Kamu sakit? Kalau iya, aku bisa antarkan ke dokter.”
Aku tertawa kecil, tapi tawa itu terasa kering dan hampa. “Aku baik-baik saja, cuma… Mama aku baru saja menelepon. Katanya Papa lagi sakit, jadi aku harus cepat pulang. Maaf ya, tidak bisa pulang bareng kamu.”
Sekilas, aku memeluk Tiara, merasakan kehangatan persahabatan kami sejenak, lalu berlari keluar tanpa menunggu jawaban. Langkahku semakin cepat, seolah aku berusaha melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan, dari semua beban yang menggelayuti hati.
Tiara melihatku pergi dengan bingung. “Eh, Vero! Tunggu!” Namun, aku sudah menghilang di balik gerbang sekolah. “Ada apa sih sebenarnya dengan anak itu?” gumamnya pelan, perasaan cemas menggelayuti hatinya.
Sebenarnya, tidak ada telepon dari Mama, dan Papa tidak sedang sakit. Semua itu hanya alasan yang aku ciptakan untuk menjauh dari dunia, dari semua orang. Suasana hatiku kelabu, dipenuhi rasa kehilangan yang mendalam. Rasa ini begitu menyakitkan, seolah aku tersesat dalam labirin tanpa jalan keluar.
Siang itu, aku tidak pulang ke rumah. Sebaliknya, aku pergi ke taman kota, tempat yang sejak lama menyimpan kenangan yang tak pernah pudar. Taman ini adalah tempat di mana Elnathan dan aku menghabiskan waktu bersama—dari tawa hingga rahasia yang kami bagi. Aku duduk di ayunan berderit pelan, memandangi pohon maple yang berdiri kokoh di depanku. Daun-daunnya yang merah kecokelatan berguguran satu per satu, seperti kenangan yang pelan-pelan memudar namun tetap meninggalkan jejak di hatiku.
“El…” bisikku lirih, suaraku bergetar. “Kamu nggak mau kembali? Kenapa kamu berbohong padaku?” Suara itu pecah dalam isakan yang kutahan selama ini. “Kamu bilang cuma mau ketemu orang tuamu sebentar, lalu kembali dalam beberapa minggu. Tapi… tapi sudah satu tahun, El. Satu tahun lebih, dan kamu belum juga kembali.”
Air mata akhirnya jatuh dari pipiku, perlahan tetapi deras, seolah semua perasaan yang terpendam tak lagi bisa kutahan. Aku cepat-cepat mengusapnya, tetapi air mata terus mengalir, menandakan betapa hancurnya hatiku. Kenangan akan tawa Elnathan, cara dia tersenyum, dan semua rencana yang kami buat bersama kembali menghantui pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Maple Saves Everything
Novela Juvenil〔BLURB〕 "Pohon itu adalah makhluk hidup yang dapat mendengar, merasakan, dan melihat kita. Ia memiliki perasaan, merasakan sakit, dan menyimpan kenangan kita. Mungkin terdengar mustahil, tetapi jangan mengartikannya secara harfiah. Ibarat sahabat, k...