〔Chapter 13〕Antara bahagia dan sedih

14 8 0
                                    

Seminggu berlalu, ujian akhir kami akhirnya terselesaikan. Meskipun tantangan tak bisa dihindari, entah besar atau kecil, semuanya telah terlewati. Aku, seperti biasa, kesulitan di Matematika, Fisika, dan Kimia. Berhitung adalah mimpi buruk bagiku. Setiap kali soal muncul, rasanya aku ingin lari sejauh mungkin. Namun, meski dengan segala ketidaksukaan, aku tetap berusaha. Hasilnya mungkin tidak sempurna, tapi setidaknya aku mampu menyelesaikan semuanya. Sekolah juga cukup bijak memberikan kebijakan memperbolehkan penggunaan kalkulator manual. Itu sedikit meringankan beban.

Tiara juga tak jauh berbeda, namun dia lebih unggul dalam hitung-hitungan. Tapi, pelajaran Bahasa Indonesia, Biologi, dan Sejarah jadi tantangan terbesarnya. Dia kesulitan menghafal, dan berkali-kali mengeluh padaku tentang itu. Namun di situlah kami saling melengkapi-aku yang pandai menghafal, dan Tiara yang cepat dalam menghitung. Belajar kelompok bersama benar-benar jadi solusi. Meski tak sempurna, Tiara selalu bisa menjawab soal-soal dengan tepat, walaupun jawabannya sering kali hanya sependek yang diperlukan.

Senin pagi, hari pertama ujian. Aku dan Tiara menyerahkan lembar jawaban kami bersamaan. Wajahku berseri-seri, terutama setelah menyelesaikan Bahasa Indonesia dan Biologi dengan cukup baik. Aku menoleh ke Tiara yang tersenyum puas. Meski dia tak begitu yakin dengan beberapa jawabannya, dia tetap bangga karena setidaknya dia berhasil mengisi semua soal tanpa ada yang kosong.

"Sudah selesai, Tiara?" tanyaku sambil melangkah maju untuk menyerahkan jawabanku kepada pengawas, dengan Tiara mengikuti di belakangku.

"Sudah, Vero. Aku berhasil mengisi semuanya, tanpa ada yang terlewat," jawab Tiara dengan senyum lega. Setelah keluar dari ruang ujian, kami berdua berjalan beriringan menuju kantin, merasa pantas memberi diri kami sedikit apresiasi setelah perjuangan di dalam kelas.

Hari kedua datang, dan giliran Matematika dan Fisika. Kali ini, Tiara yang pertama kali menyerahkan jawabannya. Dia sempat melirik ke arahku yang ragu, dan dengan tatapan penuh keyakinan, dia mengisyaratkan agar aku segera mengumpulkan jawabanku juga. Tatapannya seolah berkata, Kamu pasti bisa!

Aku menarik napas dalam-dalam dan mengikuti Tiara. Meski tak sepenuhnya yakin, setidaknya aku telah mengisi sesuai dengan rumus-rumus yang kupelajari. Usai menyerahkan lembar jawaban, kami lagi-lagi melangkah ke kantin, mencari energi untuk menghadapi hari-hari berikutnya.

Hari-hari selanjutnya tak kalah menarik. Bahasa Inggris dan Seni. Aku dan Tiara sama-sama menyukai Bahasa Inggris. Soal-soalnya lebih mirip pertanyaan anak SD, hanya saja disajikan dalam bahasa yang berbeda. Meski tampak rumit, sebenarnya tidak sesulit itu. Kami bisa mengatasinya dengan baik.

Lalu Seni-ah, apa yang aku tak bisa dalam seni? Melukis, menggambar, menyanyi, menari, atau bermain drama? Itu semua adalah keahlianku. Begitu juga Tiara. Ujian seni kali ini hanya meminta kami menjelaskan makna karya, unsur dasarnya, siapa penciptanya, dan sedikit sejarah di baliknya. Semua itu hanya seperti hal kecil yang tersimpan di luar kepala kami. Kami keluar dari ruang ujian dengan senyum lebar, seolah beban berat sudah terangkat dari pundak kami.

Setiap langkah di minggu ujian itu terasa penuh perjuangan, tetapi bersama Tiara, aku merasa tak ada tantangan yang tak bisa kami hadapi. Kami saling melengkapi-dan itulah yang membuat semua terasa lebih mudah.

***

Empat hari setelah hari pertama ujian, saat aku pulang sekolah, langkahku otomatis mengarah ke rumah Bibi Grace. Ada rasa rindu yang tak bisa kupungkiri, apalagi toko rotinya yang sempat tutup kini kembali buka. Dari kejauhan, aroma roti yang menguar dari dapur kecilnya begitu menggoda, memenuhi udara dengan wangi hangat yang mengingatkanku pada kenangan masa lalu.

Sesampainya di depan toko, aku tertegun. Pelanggan-pelanggan setia Bibi Grace sudah mulai berdatangan. Mereka tampak begitu senang melihat toko roti favorit mereka kembali beroperasi. Kota ini memang dipenuhi toko roti modern, lebih besar dan mungkin lebih canggih, tapi roti buatan Bibi Grace selalu punya tempat khusus di hati penduduk. Tidak ada mesin yang bisa menggantikan sentuhan tangan dan kehangatan oven sederhana miliknya. Roti Bibi Grace adalah tentang kenangan, rasa yang bertahan, tidak hanya di lidah tapi juga di hati.

When Maple Saves EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang