Pagi itu, hujan turun deras, menabuh atap-atap dan dedaunan seperti simfoni melankolis yang mengiringi langkahku. Dengan payung hitam di tangan, aku melangkah perlahan, mengenakan seragam putih dan rok abu-abu yang seakan menyatu dengan suasana kelabu di sekitarku. Setiap langkahku memecah genangan air di sepanjang jalan setapak, menciptakan riak-riak kecil yang seolah mencerminkan keresahan di hatiku. Sepatuku mulai basah, dinginnya merayap hingga ke tulang, tetapi pandanganku tetap terfokus ke depan, seakan tidak ada yang bisa menghentikanku.
Sesampainya di gedung sekolah, aku menutup payungku dan berjalan menuju loker. Tetesan air masih menetes dari rambutku yang kini mulai lembap. Dengan gerakan lambat, aku membuka loker, mengeluarkan sepatu cadangan yang sudah aku siapkan sejak lama. Ini adalah kebiasaan yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Menatap sepatu yang basah kuyup, aku menghela napas. "Aduh, basah juga..." gumamku pelan, suaraku hampir tenggelam dalam deru hujan di luar.
Tiba-tiba, langkah cepat terdengar mendekat. Tiara muncul dengan senyum ceria, mengenakan jaket hujan merah muda yang kontras dengan hari mendung ini. Ujung rambutnya basah, meneteskan air dengan ritme yang teratur. "Eh, Vero! Sepatunya basah ya? Tadi kehujanan?" sapanya ringan, seolah hujan bukanlah penghalang bagi keceriaannya.
Aku tersenyum tipis, meski lelah terasa di ujung bibirku, dan mulai mengganti sepatuku. "Iya, hujannya lumayan deras di jalan tadi. Untungnya aku bawa sepatu cadangan." Nada suaraku datar, tetapi ada kehangatan yang samar dalam kebiasaanku untuk selalu siap.
Tiara tertawa kecil, suaranya hangat dan menenangkan. "Kamu selalu siap sih. Kalau aku, pasti akan lupa bawa sepatu tambahan. Aku terlalu sering lupa sama hal-hal seperti gitu," ucapnya, tawa yang menguar di antara dinginnya pagi.
"Sering kejadian, jadi sekarang selalu sedia." Aku menutup lokernya, dan pandangan kami bertemu sejenak. Ada rasa keakraban yang tak terucap di sana.
"Eh, ngomong-ngomong, nanti ada yang mau aku bahas setelah pulang sekolah, Tiara." Suaraku pelan namun serius. Ada sesuatu yang menyusup di balik kalimatku, semacam rahasia yang ingin segera kubagi.
"Oh?" Tiara menatapku dengan rasa ingin tahu yang nyata, alisnya terangkat sedikit. "Ada apa, emang?"
Aku tersenyum penuh misteri. "Rahasia. Nanti aku ceritain," ucapku dengan nada sedikit menggoda, diikuti dengan kedipan mata yang membuat Tiara tersenyum lebih lebar.
"Baiklah, nanti kita ngobrol lagi, ya." Tiara mengangguk pelan, rasa penasaran terus mengikuti langkah-langkah kecil kami menuju kelas masing-masing.
Setelah itu, kami berjalan ke arah kelas masing-masing, meninggalkan loker dengan langkah-langkah kecil yang bergema di koridor yang masih lengang.
Di kelas, pelajaran Biologi dimulai dengan suara lembut Bu Olivia yang menyapa kami dengan senyuman ramah. Meskipun aku berusaha untuk fokus, pikiranku sedikit melayang. Bu Olivia berbicara tentang tumbuhan, menjelaskan betapa pentingnya mereka bagi kehidupan, bagaimana mereka menyimpan kekuatan alam yang tak terlihat namun esensial. Suaranya mengalun menenangkan, dan aku mendapati diriku terserap dalam ingatan lama.
"Selamat pagi, anak-anak," sapanya sambil membuka buku catatannya. "Hari ini, kita akan mempelajari tentang tumbuhan dan peran pentingnya dalam kehidupan."
Seperti biasa, Bu Olivia memasuki kelas dan tanpa basa-basi langsung melanjutkan materi pelajaran. Kami jarang diberi PR, biasanya hanya diberikan tugas yang dikerjakan selama jam pelajaran berlangsung. Bu Olivia selalu mengisi daftar hadir di akhir jam pelajaran, untuk menghindari siswa yang berpura-pura izin ke toilet, padahal sebenarnya bolos kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Maple Saves Everything
Teen Fiction〔BLURB〕 "Pohon itu adalah makhluk hidup yang dapat mendengar, merasakan, dan melihat kita. Ia memiliki perasaan, merasakan sakit, dan menyimpan kenangan kita. Mungkin terdengar mustahil, tetapi jangan mengartikannya secara harfiah. Ibarat sahabat, k...