Tiga hari kemudian, suasana kamarku begitu hening. Aku berdiri di tengah ruangan, mataku menyapu setiap sudut kamar yang sudah kuhuni selama bertahun-tahun. Langkah-langkahku pelan, tapi pikiranku penuh. "Ini akan menjadi terakhir kalinya aku di sini," gumamku, mencoba membiasakan diri dengan kenyataan itu.
Di meja rias, aku mulai membuka laci satu per satu. Rasanya seperti menyusun ulang hidupku, memastikan tidak ada yang tertinggal, baik fisik maupun kenangan. Tanganku meraba skincare yang sudah setia menemaniku setiap pagi dan malam. "Kalau ada yang tertinggal, bisa gawat," pikirku dengan senyum tipis di bibir, berusaha mengalihkan kegelisahan dengan bercanda pada diriku sendiri. Skincare dan makeup sudah seperti pelindungku sehari-hari, seolah tanpa mereka, aku akan kehilangan sebagian diriku.
Laci terakhir kosong, tanda semuanya sudah masuk dalam tas. Namun, kekosongan laci itu entah mengapa menimbulkan perasaan yang berbeda. "Sudah waktunya benar-benar pergi." Dengan berat hati, aku beralih ke lemari.
Aku membuka pintunya, melihat sisa-sisa pakaian yang belum kutata. Jemariku menyusuri kain-kain yang tergantung, beberapa di antaranya membawa kenangan. Seragam abu-abu yang kusayangi, gaun yang pernah kukenakan di acara ulang tahun Tiara. Rasanya seperti menyentuh lembaran waktu. Aku berhenti sejenak, memandangi pakaian itu, dan tiba-tiba dadaku terasa sesak.
"Apa aku benar-benar siap untuk pergi?"
Aku menggigit bibir, menahan gelombang emosi yang mulai muncul. Selalu ada bagian dari diri kita yang sulit melepaskan tempat yang penuh dengan kenangan. Tapi aku tahu, tak ada yang abadi. Setelah semua ini, aku harus memulai babak baru-di apartemen kota sebelah, di dunia yang sama sekali baru.
Aku mengambil napas panjang dan melipat pakaian terakhir dengan hati-hati. Setiap lipatan seolah menjadi simbol perjalanan yang segera akan kumulai. Aku mencoba fokus, tapi bayangan masa lalu terus menghantui pikiranku. Elnathan... namanya kembali muncul di benakku. Apakah dia tahu bahwa aku sudah sejauh ini? Apakah dia akan senang melihat aku bertahan?
Aku menutup pintu lemari dengan perlahan, tetapi sebelum benar-benar tertutup, pandanganku terhenti pada sesuatu di pojok bawah lemari. Di sana, sepotong kain hitam mengintip, memanggil perhatian yang tak kuinginkan. Napasku tertahan, dadaku tiba-tiba terasa berat. Kaos hitam itu... dengan sablon inisial E di bagian dadanya.
Mataku terpaku. Jantungku berdegup semakin cepat, dan tanpa sadar, seluruh tubuhku diliputi rasa sesak yang menghimpit. "El..." bisikku pelan, seolah-olah dengan menyebut namanya, rasa sesak ini akan memudar. Tapi nyatanya, namanya hanya membuat dada ini semakin sakit.
Tanganku gemetar ketika meraih kaos itu, lembut namun tegas, seakan di dalamnya masih tersimpan jejak hangatnya.
Aku terus menatap kaos itu di tanganku, perasaan sesak menyelimuti hati. Kaos ini, yang seharusnya sudah kukembalikan, kini menjadi pengingat bisu bahwa ada hal-hal dalam hidup yang tak sempat kutuntaskan. Kenangan-kenangan kecil seperti ini membuatku terus terikat pada Elnathan, pada bayangan yang tak lagi nyata.
Dengan bibir bergetar, aku mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk mataku. "Kenapa aku tidak mengembalikannya lebih cepat?" batinku penuh penyesalan. Seolah dengan mengembalikan kaos ini, aku bisa menutup cerita yang masih tergantung di dalam hatiku.
Aku menarik napas panjang, dalam sekali. Tanganku melipat kaos itu perlahan, rapi, seperti melipat kembali kenangan yang pernah kubagi dengannya. Aku tahu, meskipun hanya sepotong kain, kaos ini membawa lebih dari sekadar kenangan-ia membawa harapan bahwa suatu hari, aku akan bertemu El lagi, entah kapan atau di mana.
"El... kalau kita bertemu lagi, aku pasti akan mengembalikannya," janjiku dalam hati, tapi untuk saat ini... aku tahu aku tak bisa membawa kaos itu bersamaku. Bukan hanya karena terlalu penuh kenangan, tetapi karena ia akan menjadi beban yang tak bisa kulupakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Maple Saves Everything
Teen Fiction〔BLURB〕 "Pohon itu adalah makhluk hidup yang dapat mendengar, merasakan, dan melihat kita. Ia memiliki perasaan, merasakan sakit, dan menyimpan kenangan kita. Mungkin terdengar mustahil, tetapi jangan mengartikannya secara harfiah. Ibarat sahabat, k...