Radit menepati janjinya malam ini. Tepat jam 8 kurang 15 menit, mobilnya sudah terparkir di basement apartment. Sebelum pulang, Radit mampir terlebih dahulu ke tempat cheesecake yang ia beli tadi siang. Ia membeli beberapa molten cheesecake untuk Dita.
Saat Radit sampai, Dita masih sibuk mempercantik masakannya dengan berbagai macam garnish. Gadis itu masih menggunakan apron berwarna pink dengan motif polkadot putih menutupi dress rumahan yang ia kenakan. Rambutnya yang biasanya dibiarkan tergerai kali ini diikat cepol olehnya. Maklum, keadaan di dapur cukup gerah.
"Welcome home Dit!" sapanya dari balik pintu kulkas.
Radit hanya mengangguk sambil meletakan barang yang ia bawa di meja makan sederhana mereka.
"Bawa apa Dit?" tanya Dita penasaran.
"Cheesecake."
"Buat?"
"Ya buat lo lah. Masa buat tetangga?"
"Kan gue gak nitip?"
"Kalo gak mau lo kasih aja ke tetangga sebelah." ujarnya sambil berlalu menuju kamarnya.
Bagi Dita, intonasi suara Radit sangat menyebalkan. Padahal dia bertanya baik-baik. Pertanyaannya juga tidak sulit. Kenapa Radit jadi sensi?
Gadis tersebut mencoba menarik napas panjang agar dapat menahan emosi yang sebenarnya sangat ingin ia keluarkan kepada Radit. Ingat kata Nina, orang seperti Radit itu tidak bisa dikerasin balik.
Sabar Dit..sabar..
Dita lalu mengatur meja makan untuknya dan Radit. 2 porsi fettuccine aglio olio dan 2 gelas sirup dingin. Ya sebenarnya Dita ingin sekali sih mencoba minuman fancy ala drama korea seperti anggur merah atau wine. Namun dia tidak bisa buat Radit mabuk lagi malam ini kan?
Tanpa dipanggil, Radit sudah lebih dulu duduk dibangkunya.
"Thanks for the food." ujarnya sambil menyuap satu sendok penuh fettuccine ke mulutnya. Radit mengangkat alisnya berkali-kali. Takjub dengan rasa masakan Dita yang sudah sekelas restaurant mahal.
"Kenapa gak buka usaha aja Ta?" tanyanya ditengah kegiatan makan malam mereka. Dita menoleh kearah Radit, menatapnya dengan heran.
"Maksud?"
"Masakan lo enak. Sayang kalau gue doang yang ngerasain." lanjut Radit.
"Mau sih Dit. Tapi.."
"Tapi?"
"Gue mau kerja aja dulu. Nabung buat uang gue sendiri. Rencana gue sih, kalo udah nikah gue mau minta suami gue buat bolehin gue gak kerja. Gue mau fokus usaha. Masak sendiri."
Radit mengangguk-angguk mengerti. Ia sudah sering mendengar banyak teman wanita nya yang bilang seperti itu. Alasan mereka masih kerja karena mereka masih mau menikmati waktu cari uang untuk dirinya sendiri. Karena kebanyakan kalau sudah menikah, mereka memilih untuk fokus mengurus rumah tangga di rumah.
"Ya semoga aja nanti calon suami gue bakal ngertiin keputusan gue deh." Dita kembali menyambung kalimatnya. Kalau Radit menyuap menggunakan sendok, beda dengan Dita yang memilih menusuk-nusuk fettuccine tersebut menggunakan garpu. Wajar kalau saat ini piring Radit sudah hampir bersih sedangkan punya Dita belum ada setengahnya kosong. Dita is indeed a slow eater.
"Sama gue nanti lo bebas do whatever you want Ta." balas Radit santai.
Raditnya santai, tapi Ditanya tersedak makanannya sendiri. Arti kalimat Radit terdengar ambigu baginya.
"Maksud lo? Lo jadi suami gue gitu?" ujarnya terbatuk-batuk.
"Ya kan pada akhirnya juga kita bakal dinikahin. Gue gagal bawa Thalia jadi calon istri gue. Udah kalah gue dari bokap gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Days of Runaway
Romance"It's time to run, well, I hope you understand what I've done. Run away for you, I'm gonna count the days 'til you make it through." - Time to Run by Lord Huron.