XIII. His pain

61 15 0
                                    

Setelah bertukar pesan dengan Erick, Dita tidak langsung tidur. Tiba-tiba saja sang kakak, Dito, meneleponnya.

"Loh Mas? Ada apa?"

"Loh dek? kok belom tidur?"

"Ngga Mas. Baru aja sampe tadi abis jalan sama Erick."

"Erick? Lo disamper Erick?"

"Iya Mas. Kebetulan dia lagi ke Bandung."

"Oooh. Ohiya dek, Radit...ada?"

"Radit? Tumben banget nanyain Radit?"

Tentu saja. Hari ini Dito dan Radit sudah berjanji untuk bertemu di Jakarta. Sudah hampir 3 jam Dito menunggu di lokasi, namun Radit tidak kunjung terlihat. Dito sudah sedikit emosi karena ia pikir dirinya hanya dikerjai Radit. Namun saat dia mencoba menghubungi Radit dari sore hingga barusan, teleponnya selalu dialihkan. Dito jadi sedikit khawatir. Karena itulah ia akhirnya menelepon adiknya.

"Ya gapapa. Emang gak boleh sekali-kali nanyain dia?"

"Ada kok. Dia mabok tuh. Kayaknya lagi ada masalah deh. Dia gak pernah minum setau gue sih Mas."

Thanks God Dita orang yang tidak curigaan. Penjelasan Dita cukup menjawab alasan kenapa Radit tidak hari dalam pertemuan mereka. Dito yakin pasti sesuatu terjadi antara Radit dan Thalia. Dito tau kalau Radit menghampiri Thalia terlebih dahulu sebelum bertemu dirinya karena Radit sempat memberi tahunya.

"Yaudah dek. Lagi stress kali dia. Diemin aja dulu." ujar sang kakak. Dia tidak ingin adiknya terlibat dalam masalah Radit dan Thalia. Biarkan mereka berdua yang menyelesaikannya.

"Iyaa Mas. Yaudah gue tidur dulu ya Mas."

"Iyaa Dit. Goodnight ya. Salam buat Radit."

Kalimat terakhir Dito membuat Dita terheran. Sejak kapan kakaknya mengenal Radit sampai titip salam segala? Sejauh yang Dita ingat, Dito belum pernah bertemu atau bahkan bertukar pesan dengan Radit.

Dita menggelengkan kepalanya, menjauhkan rasa penasarannya. Karena saat ini bukan saatnya ia bertanya-tanya. Ini adalah saatnya ia tidur dan beristirahat.

Krek.

Sialnya, baru saja ia ingin menutup matanya untuk tidur, terdengar suara pintu kamarnya terbuka.

Sebentar, itu kan suara pintu kamarnya? Siapa yang berani buka pintu kamarnya malam-malam? Disini kan hanya ada Erick dan Radit???

Jantung Dita berdegup kencang. Gadis itu deg-degan dengan kemungkinan yang mungkin terjadi. Maling? Orang mesum? Dita menarik napas panjang sebelum akhirnya memberanikan diri untuk beranjak dari kasur untuk melihat siapa yang berani membuka pintunya.

Namun belum sempat Dita bangun dari tidurnya, Dita dapat merasakan seseorang mendekapnya dari belakang. Matanya membulat terkejut. Ia sudah siap untuk memukul dan berteriak "orang mesum!!" namun ia mengurungkan itu saat melihat siapa yang mendekapnya.

Radit.

Hampir saja jantungnya copot dari tempatnya. Radit yang masih tertidur saat ini sedang memeluknya erat. Laki-laki itu sibuk bergumam tidak jelas.

Ngigau?

Atau efek alkohol Radit masih belum hilang?

Dita tidak bisa bergerak sedikitpun saking eratnya pelukan Radit. Ia bisa mencium dengan jelas aroma alkohol yang keluar dari laki-laki itu.

"Dit. Bangun Dit!!" tubuh Dita sibuk bergerak-gerak untuk melepaskan dekapan Radit. Namun laki-laki itu tidak bergeming sama sekali. Hanya sebuah gurauan tidak jelas yang ia keluarkan.

"Dit. Ini gue Dita!!" bisiknya lagi sambil masih mengeluarkan badannya dari pelukan Radit. Dita yakin 100% kalau Radit masih dibawah pengaruh alkohol. Radit yang asli tidak akan seperti ini.

Dita bingung sendiri harus gimana. Pelukan Radit sangat kuat dan sangat dekat. Dita tidak pernah sedekat ini dengan Radit sebelumnya. Bahkan Dita bisa mencium wangi tubuh Radit dari jarak sedekat ini.

Haruskah ia berteriak agar Erick terbangun dan membantunya? Ah, rasanya dia tega sekali kalau menganggu Erick ditengah tidurnya.

Dita sekali lagi mencoba melepaskan tangan Radit dari badannya.

Radit mengerang kesal, "Sini aja Thal." ujarnya masih dalam keadaan tidur.

Thal.

Oke. Jelas Radit masih mabok. Ia pasti mengira dirinya sedang memeluk Thalia.

Kemudian Dita merasakan ada sesuatu menumpuk di punggungnya. Radit menenggelamkan kepalanya di pundak Dita. Kedua tangannya masih mendekap Dita, bahkan kini semakin erat. Detik berikutnya, Dita dapat mendengar suara isakan kecil yang berasal dari Radit.

Dita terdiam dalam posisinya. Suara tangisan Radit semakin kencang, namun tidak histeris. Dita yang mendengarnya menjadi tidak tega. Raut muka Dita melunak. Ia ikut bersimpatik dengan Radit. Entah masalah apa yang terjadi sampai membuat manusia sedingin dan sekeras Radit bisa menangis sekencang ini. Radit pasti selama ini tidak punya tempat bersandar untuk menangis.

Malam ini, laki-laki itu mengeluarkan semuanya bersama Dita. Walaupun belum tentu besok Radit akan mengingatnya. Dita membiarkan dirinya seperti ini sesaat. Membiarkan Radit menjadikannya sebuah sandaran.

At least, just for tonight.

Selang 10 menit setelahnya, suara tangisan Radit tidak terdengar lagi.

"Dit?" panggil Dita berkali-kali. Namun tidak ada jawaban. Menandakan bahwa laki-laki itu kini sudah benar-benar tertidur pulas. Sekarang Dita yang bingung gimana caranya bawa Radit balik ke kamarnya?

Dita beranjak dari tempatnya. Ia menatap lama kearah Radit yang sedang tidur dengan nyaman. Gadis itu menarik napas panjang. Ia meraih selimutnya dan melekatkan selimut tersebut pada tubuh Radit. Lalu ia berjalan ke luar kamarnya. Dilihatnya di sofa ada Erick yang juga sedang tertidur pulas. Dita kembali masuk ke kamarnya untuk mengambil selimut lainnya untuk Erick. Setelah selesai menyelimuti Erick, Dita masuk ke kamar Radit.

"Pokoknya besok pagi harus bangun pagi supaya gakada yang liat gue tidur dikamar Radit!" ujarnya pada dirinya sendiri.

Selamat tidur Radit. Semoga besok dunia kamu jadi lebih baik dari hari ini.

***

30 Days of RunawayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang