Prolog

46 2 0
                                    

Negara Napas Naga.

Sebuah negara kecil yang cukup terkenal di benua Timur. Meski kecil namun sebagian tanahnya subur, hasil lautnya melimpah, jalur perdagangannya juga ramai. Ibu kotanya berada di tengah, dikelilingi empat desa, Barat, Timur, Selatan dan Utara. Negara kecil itu diperintah seorang raja, raja muda yang paling muda diantara raja-raja lain di benua. Banyak yang mengatakannya negara kecil kini menjadi incaran negara lain, hanya untuk merebut kekayaan alamnya. Ditambah lagi ada desas desus yang mengatakan jika adanya perebutan tahta di kerajaan.

Musim dingin 13 tahun yang lalu.

Terjadi kebakaran hebat di istana bagian barat. Bau gosong kayu terbakar bercampur bau darah dari para penghuni yang terluka, jeritan para dayang mencari jalan keluar. Mereka berhamburan di lorong istana Barat, seketika memori tentang denah istana menjadi kabur bersama api. Tempat yang mereka pijak setiap hari terasa seperti labirin tak berujung.

"Yang Mulia!" Teriak dayang tua yang berusaha menolong tuannya. Si dayang tua memberikan tubuhnya ketika tahu ada potongan kayu yang akan menimpa sang ratu.

"Yang Mulia selamatkan tuan putri dahulu," dayang tua itu menahan rasa sakit dan panas di punggungnya yang tertimpa balok kayu panas.

Meski langkah sang ratu begitu cepat namun hatinya berat ketika harus meninggalkan para dayangnya yang terluka demi dirinya. Sambil berlari mencari tempat aman, si ibu menatap wajah putrinya. Bayi yang baru lahir beberapa hari itu tampak tenang, tidurnya tak terganggu meski suara teriakan orang dewasa begitu mengusik telinga. Si bayi begitu lelap.

"Yang Mulia," seorang pria tinggi berseragam tentara kerajaan tiba-tiba muncul menghalangi jalan sang ratu menuju istana timur tempat raja. "Anda tak bisa lewat jalur ini, jalur ini sudah dipenuhi para pemberontak."

Wajah sang ratu tak menunjukkan ekspresi terkejut. Menatap jendralnya lekat-lekat. Kepalanya memikirkan apa yang harus dilakukan setelah ini.

"Apa kau masih memegang sumpahmu?" suaranya masih tegas, namun jemarinya meremas selimut bayinya dengan kuat. Rasa takutnya merambat ke jemarinya.

"Tentu Yang Mulia, hidup saya hanya untuk anda."

"Kini aku bukan lagi tuanmu namun bayi cantik ini yang harus kau lindungi!"

Pria yang menyandang jabatan jendral perang itu tak bisa berkata-kata, dahinya mengerut. Biasaya dia sangat tanggap namun untuk kali ini pikirannya terasa menciut. Ada banyak kalimat yang ingin diucapkan namun tak satu pun kata terucap.

Sementara ratu dari kerajaan Napas Naga meluluhkan wajah tegasnya, menatap bayinya yang tengah terlelap, kedua mata hitam kelamnya menatap wajah mungil buah hatinya. Satu kecupan di dahi membuat si bayi meggeliat kecil, tanda dia nyaman dengan sentuhan ibunya.

"Kau harus mempertaruhkan segalanya demi dia, sama seperti kau mengucap sumpah pada kerajaan ini."

"Yang Mulia-"

"Bawa dia keluar dari istana! Harus! Aku mohon padamu untuk terakhir kalinya."

Jantung jendral perang berdegup kencang mendengar suara sang ratu menjadi lirih. Firasatnya buruk namun dia tak bisa menolak ketika bayi yang dibalut selimut sutra itu diserahkan padanya.

Sang ratu mengeluarkan pedang yang sedari tadi sudah dibawanya.

"Aku lahir sebagai ksatria lalu matipun harus sebagai ksatria. Natsu bawa putriku keluar dengan selamat, ini permintaan terakhir dari temanmu."

Malam itu langit sedikit mendung, hawa dingin perlahan memudar karena api mulai menjalar ke atas memakan apa saja yang ada di sekitar. Natsu mendekap bayi kecil yang kini mulai merengek, mungkin si bayi merasa asing dengan rasa hangat yang mendekap tubuh kecilnya. Mata hitam Natsu menatap bayi berpipi gempal, semua perkataan sang ratu berputar di otaknya. Dia jenderal kerajaan tanah ini namun dia malah ditugaskan lari dari perang. Konyol.

Natsu berlari sambil mendekap bayi penerus kerajaan, ada seseorang yang harus ia temui sebelum sang ratu menghadapi para pemberontak.

"Paman Ru, dia adalah putri raja. Bawalah dia ke tempat yang aman. Aku harus segera menyusul Yang Mulia."

Pria tua yang dipanggil Ru mendelik tajam karena kaget dengan kehadiran Natsu. Pria tua itu menolak, badannya yang sudah rentan tak yakin menjamin keselamatan tuan putri negaranya. Natsu terus mendesak pamannya, mendesak dengan nada frustasi hingga dia berlutut memohon.

"Dia akan menjaga paman selama meninggalkan ibu kota."

Seorang pria tiba-tiba muncul. Paman Ru paham sosok yang mengenakan pakaian serba hitam. Pasukan Gagak. Pelindung rahasia keluarga kerajaan.

"Bawa tuan putri jauh dari istana!"

Ru terdiam melihat bayi yang kini mulai merengek. Tak tahu harus dibawa kemana. Malam ini menjadi malam yang dingin. Angin musim dingin menusuk tulang dan sialnya pemberontakan terjadi malam ini. Ru menghela napas berat sambil menimang bayi mungil yang mulai menunjukkan suara tangisannya.

"Bukankah kita harus bergegas pergi. Bayi ini menjadi target mereka."

Tak banyak barang yang dibawa oleh Ru, dia pergi menggunakan kereta sederhana. Menelusuri jalanan sepi. Kepala Ru menyembul dari jendela kereta melihat istana yang mulai dilahap api. Langit gelap malam itu seakan dihiasi semburan merah berkobar. Kepingan salju turun perlahan. Ru sekali lagi mendekap si bayi, berusaha memberi kenyamanan.

"Kita akan pergi kemana?"

"Entahlah. Asalkan jauh dari ibu kota." Mata tajam salah satu anggota pasukan gagak hanya menatap lurus ke depan. Membelah hutan gelap yang entah ujungnya dimana.

The Lost LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang