05

309 84 4
                                    

A/N

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A/N. Vote dulu baru baca

Mereka bertiga beranjak dari keramaian pantai, meninggalkan hiruk-pikuk prosesi larungan yang masih berlangsung.

Zayyan menyimpan kembali kameranya ke dalam tas, sementara Leo berjalan di depan mereka dengan langkah tenang, memimpin jalan menuju tempat tujuan.

Suara tawa dan teriakan anak-anak yang bermain air semuanya hilang. Kini, hanya suara sepatu mereka yang menjejak pasir, ditemani terik matahari yang terasa menyengat di punggung.

Leo mengusap keningnya, menyeka keringat yang mulai mengalir deras.

Semakin mereka menjauh, semakin hening suasananya. Meskipun udara pantai yang lembut terasa lebih sejuk di sini, dengan pepohonan rindang di sepanjang jalan. Namun terik mentari masih terus membayangi.

“Panas banget, ya,” keluh Zayyan sambil melonggarkan kerah bajunya, wajahnya sedikit memerah terkena sinar matahari.

Gusti, yang awalnya terlihat antusias dengan segala hal, kini mulai terlihat sedikit kelelahan.

"Masih jauh nggak, Mas?" tanya Gusti sambil mengusap keningnya yang mulai berkeringat.

Leo menoleh sambil tersenyum. "Nggak jauh. Tinggal beberapa menit lagi kita sampai. Rumah kenalanku ada di ujung jalan ini."

Zayyan melihat sekelilingnya, memperhatikan perubahan suasana dari pantai yang riuh ke jalanan yang tenang.

Ini memberinya ruang untuk merenung tentang prosesi larungan yang baru saja ia saksikan—tradisi yang begitu kuat dan penuh makna.

Pikiran Zayyan mulai melayang ke pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam: apa sebenarnya rahasia di balik laut selatan ini?

Apakah mitos-mitos yang ia dengar ada kaitannya dengan fenomena alam yang belum terjelaskan?

Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah rumah tua yang terletak di tengah-tengah kebun yang asri.

Rumah itu sederhana tapi terawat dengan baik, dengan dinding kayu yang mulai berusia tapi tetap kokoh berdiri.

Sebuah teras kecil di depannya dilengkapi dengan kursi bambu yang menghadap ke kebun, memberikan suasana damai dan tenteram.

“Inilah rumahnya,” kata Leo sambil berhenti di depan pintu. Ia mengetuk pintu kayu itu perlahan.

Setelah beberapa saat, seorang pria sekitar usia tiga puluhan membuka pintu.

Rambutnya hitam dengan sedikit uban di sekitar pelipis, wajahnya tampak tegas namun ramah, dengan garis-garis halus yang menunjukkan keteguhan.

Mata pria itu tajam dan penuh pengetahuan, mencerminkan kebijaksanaan yang ia kumpulkan dari pengalaman panjang di pantai ini.

“Leo! Sudah lama nggak ketemu,” sapa pria itu dengan senyum lebar, suaranya dalam dan bersahabat.

[BL] Under The Sea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang