chapter 二

349 60 17
                                        

HAPPY READING

02






Gyeongseong, 1978

Dugaan Marco saat itu benar. Tepat tiga hari kemudian, kapal yang mengangkut mereka itu berlabuh di salah satu dermaga Gyeongseong. Selama tiga hari mendekap di perut kapal yang kumuh dan kotor, membuat Felix hampir tidak bisa bernafas dengan semestinya.

Para daun muda yang bersamanya saat ini serempak menoleh pada pintu yang terbuka kuat, menampilkan sesosok lelaki muda dengan tubuh tinggi menatap mereka dengan tajam. Tanpa ampun, lelaki tadi bersama beberapa kawanan berseragam itu mulai menarik pemuda-pemuda lemah itu dengan kasar.

Ada beberapa yang menjerit meminta dilepaskan, namun sebagian besar hanya diam. Tahu, jika percuma.

Mata Felix menyipit, saat akhirnya ia melihat terangnya langit ketika sudah berhari-hari terjebak dalam ruangan kapal yang gelap.

Langit biru yang cerah menyapa mereka yang sudah terlihat sangat kotor. Seolah-olah berusaha mengatakan kepada mereka; selamat datang di hidup yang sesungguhnya. Membuat mereka semakin terdiam. Bukan menangis, tapi memikirkan bagaimana cara terbaik untuk segera mati.

Hal pertama yang Felix lihat saat ia menjadi salah satu pemuda yang diseret keluar dari kapal adalah jembatan panjang menuju daratan. Suara kicauan burung di atas sana tak luput menjadi perhatian Felix yang sama sekali tak terbiasa dengan semua kericuhan yang ada.

Di sepanjang dermaga, banyak sekali manusia yang bertebaran. Sebagian sibuk berjualan, dan yang lain berlalu-lalang. Ada juga yang membeli, namun tak banyak. Beberapa lagi tengah mengangkut barang muatan dari kapal-kapal hasil nelayan. Drum-drum kayu yang menguarkan bau amis tersusun di samping-samping jembatan. Tali tambang yang menjadi penghubung di antara semua drum itu.

Sama halnya dengan sepasang tangan Felix yang juga ikut terhubung dengan tangan-tangan pemuda-pemuda manis lain, melalui sebuah tali tambang tebal.

Mereka terus diteriaki untuk segera berjalan, mengikuti segala jenis perintah yang dilontarkan dengan lantang.

"Cepat! Cepat! Hei yang di belakang! Cepat sebelum aku memukulmu!"

Beberapa pukulan nyaring terdengar lepas. Membuat Felix terkejut. Namun ia tak berani menoleh, terlalu menakutkan. Diam-diam Felix begitu takut dengan suara pukulan.

"Hei sebentar," Lelaki dengan rambut hitam pekatnya berjalan cepat ke arah salah satu rekannya, lalu berbisik-bisik.

Setelah terdiam sejenak, pria yang satunya lagi langsung mengangguk, "Ikuti arahanku! Kalian akan mandi terlebih dulu sebelum dikirimkan pada majikan kalian yang baru!"

Tidak dapat berbuat apa-apa, Felix beserta barisan yang lain hanya ikut menurut. Bahkan anak kecil yang mungkin berusia sekitar sembilan tahun di depan Felix hanya sibuk menangis, setelah tadi di pukul kencang oleh salah satu petugas pemerintahan itu.

Ingin sekali Felix mengucapkan beberapa patah kata, namun sayang, hanya sekedar bersua pun Felix sudah tidak sanggup. Tenggorokannya terlalu kering dan sakit.

Barisan itu berjalan semakin menjauh dari dermaga. Di sepanjang perjalanan, mereka hanya dapat menunduk. Tidak tahu harus bagaimana setelah mendapati kenyataan jika mereka menjadi bahan tontonan warga yang melintas di sekitar.

Tidak jauh dari posisi Felix saat ini, sebuah gubuk kecil tampak berdiri sendiri di antara rerumputan dan ilalang. Felix semakin kebingungan saat beberapa petugas mulai berdiri di sekitar gubuk itu.

Mr. SunshineWhere stories live. Discover now