Shani senantiasa menemani Gita semalaman di rumah sakit, memastikan Gita tidur dengan nyaman hingga membantu nya jika ingin pergi ke kamar mandi.
Semua Shani lakukan dengan bahagia dan lapang dada, membuat Gita sedikit tidak enak karena merepotkan nya.
Teman-teman kost nya tidak bisa turut menemani Gita malam itu alhasil hanya ada dirinya dan Shani.
Faktanya sih memang Jinan yang menyuruh agar tidak menghampiri Gita ke rumah sakit, agar mereka berdua bisa mendapatkan ruang kembali.
Bahkan kini Shani masih berada disampingnya untuk menemani Gita melepas infus nya sembari menggenggam tangan satu nya yang tidak terinfus.
"Adek Gita boleh pulang tapi tetep harus istirahat total ya, jangan kecapean dulu." Titah sang dokter yang langsung diberi acungan jempol oleh Shani.
"Siap dok, pasti aku buat dia istirahat 24 jam sampai sembuh." Ucap Shani dengan antusias.
Sang dokter hanya bisa terkekeh dengan sikap Shani, yang sakit siapa yang pusing siapa. "Yaudah hati-hati ya pulang nya." Ucap sang dokter terakhir sebelum meninggal kan ruangan Gita.
Shani mengambil tangan Gita yang terbalut plester bekas infus dan mengelus nya. "Sakit ngga Gita?"
"Gausah lebay, ga kerasa apa-apa juga." Jawab Gita sedikit malas, ada yang jauh lebih sakit dari sebuah jarum suntik ini. Dirinya sudah terbiasa.
"Maaf ya kak jadi ngerepotin."
Shani segera menangkup pipi Gita, sudah lama rasanya Shani tidak memegang pipi lembut ini. Sangat menggemaskan. "Is okey Gita, jangan minta maaf ke aku, tapi minta maaf ke dirimu sendiri."
Ucapan Shani membuat dahi Gita mengkerut, bingung dengan maksudnya.
Shani tertawa pelan melihat nya. "Minta maaf sama diri kamu karena udah terlalu kerja keras sampai sakit begini, kasian badan kamu itu Gita." Shani mengacak gemas rambutnya. "Kurangin ya jam belajar nya, sewajarnya aja. Buat apa pintar kalau bikin badan kamu sendiri sengsara dan berujung ga ada gunanya karena sakit-sakitan."
Gita sudah lama tidak mendengar kan kata-kata seperti ini, membuat dirinya bingung harus merespon seperti apa.
Berbagai tekanan yang dirinya rasakan selama ini seakan terkumpul menjadi satu dan pecah menjadi sebuah buliran air mata yang tergenang.
Gita benar-benar lelah, dirinya amat muak mendengar berbagai caci maki sang Papa yang masih tidak pernah puas dengan berbagai keberhasilan nya.
Shani panik melihat air mata menetes dari ujung mata Gita. "Eh Gita kenapa? Ada yang kerasa sakit kah?"
Gita menarik kerah baju nya dengan keras mencoba mencari udara untuk menghilangkan sesak di dadanya, membuat Shani semakin panik.
"Sakit nanti leher kamu Gita, jangan gini!" Shani mencoba melepas genggaman tangan nya yang masih terus menarik kerah bajunya hingga membuat otot-otot di lehernya tercetak jelas.
Shani bingung harus berbuat apa jadi dirinya hanya bisa membawa tubuh Gita kedalam pelukan nya sambil menepuk punggung nya dengan perlahan. "Apapun yang lagi kamu alami dan kamu butuh tempat bersandar, tawaran ku buat jadi tempat cerita waktu itu bakalan senantiasa terbuka khusus buat kamu."
Shani merasakan tubuh Gita yang sedikit bergetar, tak tau apa yang sedang di alami gadis dalam rengkuhan nya ini. "Makasih ya Gita udah dateng di kost an kita, aku jadi bisa ketemu cewe secantik kamu ini mana lucu lagi."
Untuk kedua kalinya Shani melihat sisi lain seorang Gita yang terlihat kacau.
Membuat Shani sedikit bingung dan penasaran dengan berbagai hal mengenai Gita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidup itu Luka
FanfictionHidup susah mati pun tidak di ijinkan. "Ma, sebenarnya Gita hidup untuk apa?" ⚠️Content Warning ⚠️