BAB 9

1.2K 137 18
                                    

Gracia yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menjelajahi isi kost ini. Dirinya harus mengecek seberapa pantas dan nyaman tempat ini untuk menampung adiknya.

Gita harus mendapatkan tempat yang nyaman setelah merasakan beratnya kehidupan di rumah, yang tidak layak untuk di sebut rumah.

Jinan yang baru saja keluar dari kamarnya yang berada di lantai dua terkejut dengan kehadiran Gracia yang tepat berdiri di depan kamarnya, "Aduh kak ngagetin aja sih!" Jinan mengusap dada nya merasakan detak jantung nya yang sepertinya akan lepas dari tempatnya.

Gracia memberi nya tatapan aneh. "Ngapain kaget? Aku ga ngapa-ngapain juga."

"Ya kak Gracia ngapain berdiri diem di depan gini astaga!"

Gracia mengangkat bahunya. "Suka-suka aku."

Jinan mendengus sebal, ternyata Gracia benar-benar kakak nya Gita.

Jinan menyadari sorot mata Gracia yang sedang mengedarkan ke seluruh penjuru ruangan. "Mau aku ajak kost tour kak?" Tanyanya dan diberi anggukan oleh Gracia.

Sembari melihat-lihat seisi lantai dua, mereka di sibukkan oleh obrolan-obrolan ringan, membuat mereka mulai bisa berbaur satu sama lain.

Perhentian terakhir mereka kini ada di balkon sebagai tempat untuk menjemur pakaian mereka, tetapi sering juga sebagai tempat duduk-duduk untuk sekedar berbincang sembari menatap langit malam, dengan sedikit memandang jemuran yang terkadang menggantung di bagian samping.

Gracia dan Jinan duduk memandangi langit malam yang banyak terlihat gemerlap cahaya bintang kecil namun tetap indah untuk dipandang , obrolan mereka pun masih berlanjut.

Jinan lama-lama menyadari perbedaan sifat kedua saudari ini, yang pasti Gita tidak se cerewet sang kakak.

Jinan juga dibuat terpelongo dengan status keluarga mereka, keluarga Atmadja.

Jinan amat kenal dengan Mahendra Putra Atmadja, Seorang Menteri Hukum yang terkenal tegas, pintar dan amat menjunjung tinggi keluarga nya.

Itu yang Jinan ketahui dari media massal.

Lalu di sebelah nya ini duduk seorang pewaris perusahaan sukses yang berjalan pada bidang distribusi barang-barang konsumsi yang dulu dimiliki kakek nya, Hendri atmadja.

Sebagian peralatan sehari-hari Jinan nyaris berasal dari perusahaan milik Gracia semua, dirinya benar-benar tercengang menyadari nya.

"Pasti sifat tegas nya Gita nurun dari papa kalian." Ucap Jinan menerawang semua perilaku kaku yang dimiliki Gita.

Gracia tersenyum kecut, dirinya amat membenci fakta itu. Gita adalah seorang adik manis yang amat lemah lembut dulu, tetapi sang Papa nya lah yang membuatnya berubah dan mulai membangun sifat baru Gita kini.

Bibir Jinan mengatup rapat menimang apakah dirinya harus bertanya atau tidak. Banyak sekali pertanyaan tentang Gita di otaknya, salah satunya adalah luka di muka nya.

"Kak, Jinan boleh nanya ngga? Tapi maaf kalau mungkin terlalu ikut campur," bibirnya kembali mengatup erat, tiba-tiba ia grogi lagi. Gracia masih senantiasa menatap nya, menunggu kalimat selanjutnya tanpa berniat menginterupsi nya. "Gita baik-baik aja kan?" Dada Gracia tiba-tiba menjadi perih mendengar nya.

Tidak, adiknya benar-benar tidak baik-baik saja.

Obrolan mereka terjeda, Gracia terdiam menatap langit malam di depannya. Bagaimana ia harus menjawab ini. Dirinya tak punya keberanian untuk membuka fakta aib, seberapa kacau keluarganya yang terlihat baik-baik saja di media yang tersebar itu. Tetapi dirinya juga memerlukan seseorang untuk mengeluarkan keluh kesahnya mengenai kondisi adik nya.

Hidup itu LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang