Gita terusik dari tidur nya saat merasakan perih dari mukanya. Matanya terbuka mendapati Gracia yang sedang duduk disampingnya, mukanya terlihat datar.
Tangannya sibuk dengan sebuah kasa yang sudah diberi obat, mengobati luka Gita yang ada dahi nya, darah nya sudah menggumpal dan kering karena tidak segera di obati.
"Ssh" Gita meringis saat tak sengaja menggerakkan kepalanya.
"Jangan banyak gerak kalau ga mau kuku tajam ku ini menusuk luka mu." Suara nya datar tetapi penuh dengan kekhawatiran.
Gita masih setengah sadar dari tidur nya yang terasa pulas, bertanya-tanya dengan tindakan yang dilakukan kakaknya.
Setelah beberapa saat nyawa nya terasa sudah berkumpul Gita menyadari bahwa badannya seperti mati rasa, bahkan untuk mengangkat jari nya saja terasa sulit.
Melirik ke arah luar jendela nya yang ternyata kini sudah pagi hari kembali.
Gita kembali memejamkan matanya, mengutuk tuhan yang tidak pernah mendengarkan doa sebelum tidurnya. "Kenapa Gita masih ada di dunia ini." Batinnya merasakan sesak yang menjalar di dadanya.
"Duduk dan buka baju mu." Titah Gracia masih dengan suara datar nya.
Gita membuka mata nya. "Untuk apa?"
Terdengar decihan keluar dari mulut Gracia. "Menurut mu saja?" Tangannya sibuk menyingkirkan beberapa kasa yang terdapat bekas darah. "Kau mau membiarkam badan mu terus menerima rasa sakit dan terdiam kaku di kasur sepanjang hari begitu saja?!"
"Biarkan saja begitu, bahkan jika perlu saya ingin mati kaku di kasur ini." Ucapan Gita membuat rahang Gracia mengeras.
"Duduk!" Suaranya rendah tetapi penuh dengan penekanan.
Gita tak memperdulikan perintah Gracia "pergilah saja."
"Duduk Gita! Jika kau ingin mati paling tidak jangan dirumah ini dan menyusahkan seluruh anggota rumah." Gita terkejut dengan kalimat yang terucap dari mulut kakaknya, bibirnya tersenyum lalu tertawa getir.
"Maaf." Gracia merutuki ucapan nya, dirinya terlalu terbawa emosi.
Gita hanya mengangguk dan mencoba mendudukkan dirinya. Setiap gerakan yang ia lakukan menimbulkan ringisan dari mulutnya.
Benar-benar menyakitkan dan kakaknya hanya menatap nya tanpa berniat membantu.
Sungguh menyebalkan.
Untuk duduk saja terasa sulit apalagi harus mengangkat tangannya untuk melepaskan bajunya, sepertinya tulangnya akan rontok setelah ini.
Setelah berhasil membuka bajunya, Gracia dapat dengan jelas melihat seluruh luka yang tertoreh di tubuh adiknya.
Berbagai sudut badannya dipenuhi luka lebam dan beberapa luka gores yang masih terlihat basah dengan darah.
Tetapi pandangan Gracia terpaku ke arah bekas luka sayatan di lengan adiknya yang membekas banyak, dan Gracia baru menyadari di pergelangan tangan kiri Gita juga ada satu bekas luka sayatan yang cukup memanjang dan letaknya tepat di area urat nadinya.
Hati Gracia entah mengapa terasa tercabik-cabik saat melihat nya.
Gita menyadari arah pandang Gracia, segera dirinya menyembunyikan tangan kirinya yang terbuka. "Sudahi saja ini, toh lebamnya biasanya akan pudar sendiri." Gita menginterupsi Gracia yang masih diam menatap badannya.
Gracia mengalihkan pandangan ke muka Gita menatap nya tajam sejenak dan segera mengambil salep untuk mengoles ke kulit lebam nya.
Kesunyian menyelimuti kamar Gita, mereka terdiam canggung tidak tau harus membicarakan apa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hidup itu Luka
FanfictionHidup susah mati pun tidak di ijinkan. "Ma, sebenarnya Gita hidup untuk apa?" ⚠️Content Warning ⚠️