20

348 36 3
                                        

Seperti ucapan Ansel di sekolah tadi. Wiwi telah mempersiapkan semua keperluan yang harus di bawah untuk bertamu ke kamar Asrama Ansel. Bukannya ia harus bersyukur sekelompok belajar dengan Ansel?.— Tentu saja meski sering kesal dengan pria itu, wiwi mengaku dan gak munafik untuk menolak berdekatan pada cowok sejuta pesona yang digadang-gadang memiliki barisan wanita berpenampilan seksi dibelakangnya.

Cuih. Setidaknya begitu ucapan Olan saat pertama kali memperkenalkan Ansel padanya. Dan parahnya ia termaksud orang yang memuja ketampanan ksatria lord Ansel.

Puja dewa Ansel!.

Wiwi sudah gila. Ia tanpa sadar tersenyum-senyum sendiri membayangkan raut menahan dongkol Ansel saat masih di sekolah tadi. Ia lantas menggeleng cepat memukul jidatnya. tujuan utamanya sekolah di sini hanya untuk bersenang-senang bersama para anak cowok itu sekalian juga mencari tahu apa yang biasa mereka lakukan di sini. Ia sama sekali tidak berpikir bakal jatuh cinta dengan salah satu laki-laki di sekolah ini. Wiwi bahkan belum mengetahui kapan ayahnya memutuskan pindah lagi karena pekerjaan. Jadi ia hanya akan memanfaatkan waktu seluang mungkin untuk melakukan keinginan sesuka hatinya.

Wiwi menarik buku dan pulpen yang di taruh diranjangnya bersiap untuk pergi akan tetapi suara pintu kamar mandi yang terbuka kembali megurungkan niatnya.

Wiwi berbalik dan menemukan Ozil yang tanpa sehelai atasan berdiri menatapnya kesal.

Oh ya. Sampai saat ini pun cowok itu masih selalu memandangnya kesal dan was-was. Seolah-olah wiwi bakal mengrepe-grepe burungnya saja. Cuih dasar lanang! Emang wiwi setega itu sama kaum jantan.

"Astaga". Wiwi mengangkat buku ditanganya untuk menghalau pandangannya. "Kebiasaan banget lo bro keluar gak pake baju. Gue kan jadi kaget". Lanjutnya berpura-pura terkejut padahal dibalik itu ada tawa kecil yang terendap saat mendapati muka tak bersahabat Ozil.

Ozil berdecih. "Sampai saat ini gue masih tolerin ya buat gak nyeret lo dihadapan pak Rudy".

Wiwi yang mengerti kemana arah pembicaraan Ozil sontak mengubah raut wajahnya. Ia tidak lagi memberat-beratkan suaranya seperti tadi. "Janganlah. Tega emang lihat gue dibentrokin gerombolan cowok-cowok di sini".

"Tegalah. Lo berharab gue mau nolongin gitu karena lo perempuan?. Gak sudi gue!".

Wiwi mengerucutkan bibirnya.

"Dada gue langsung sakit bro". Sahutnya seraya memegang dada dramatis. "Kita kan udah sepakat buat jaga rahasia. Ingat ya hari itu lo udah bersumpah dihadapkan tuhan buat gak cerita ke siapa-siapa identitas gue".

Ozil membuka mulut tak percaya. "Para ni spesies betina zaman jura, dosa lo pake bawah-bawah nama tuhan. Kapan gue ngomong gitu si bangsat!".

Ozil kesal. Dan ia tambah kesal ketika melihat wiwi bergerak mendekati posisinya. Astaga spesies perempuan macam apa yang berada satu kamar dengannya ini. Dan mengapa justru dia yang ketakutan di sini?!.

Ia memaka baju yang tersedia di ranjangnya cepat-cepat lalu meraih bantal untuk melemparkannya ke arah Wiwi.

Wiwi membelalak. Untung dengan sigap ia masih bisa menangkap bantal itu supaya tidak mengenai wajahnya.

"Ozil ini udah ke dua kalinya lo lemparin gue bantal. Muka gue emang se jelek itu ya buat nyamar jadi cowok?".

"Ngapain lo maju sih". Gertak Ozil tak menghiraukan perkataan wiwi tadi.

"Eh gue cuma mau ngambil hp gue". Jawab wiwi mengerjap polos. Ia mendekat dan berhasil mendapatkan ponselnya yang entah kapan terletak di ranjang cowok itu.

Ozil melototkan matanya. "Ngaku lo habis ngapain di ranjang gue!".

"Tunggu dulu." wiwi menurunkan perlahan telunjuk Ozil yang mengintimidasi wajahnya. "Gue tadi cuman nyari pulpen gue kok".

Live in a Boys Dormitory Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang