Oty, seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, duduk di meja belajarnya di sudut kamar yang sempit. Di luar jendela, hujan turun dengan derasnya, menciptakan suara tenang yang menemani pikirannya. Dia menatap layar laptopnya, di mana dokumen baru yang berisi ceritanya menunggu untuk diselesaikan. Namun, pikirannya teralihkan oleh keributan di ruang tamu.
“Mama, aku butuh uang buat beli buku!” suara adiknya terdengar jelas. Ya, Belyn namanya. Oty mengerutkan dahi. Belyn baru berusia lima tahun, tetapi sudah terbiasa mengandalkan ibu mereka untuk memenuhi kebutuhannya. Di sisi lain, Oty tahu betapa beratnya keuangan keluarganya.
Di dapur, suara ibunya yang lembut terdengar, “Sayang, kita sudah kehabisan uang. Nanti kalau ada rezeki lebih, Mama belikan, ya?”
Oty merasakan sakit di hatinya. Bagai di sayat sembilu rasanya. Sebagai anak sulung, dia selalu merasa terjebak di antara tuntutan keluarga dan impian pribadinya. Keluarganya adalah prioritas utamanya, tetapi dia juga memiliki mimpi untuk menjadi penulis terkenal. Namun, dalam situasi seperti sekarang, mana mungkin dia bisa menuntut lebih banyak dari ibunya yang bekerja keras sebagai penjual makanan di pasar?
Tiba-tiba, teleponnya bergetar. Sebuah pesan dari Luis, sahabatnya. “Oty! Besok ada acara buku di café. Kita harus pergi, ya! Kamu pasti bisa dapat banyak inspirasi di sana!”
Oty terdiam sejenak, menimbang-nimbang apa yang diucapkan sahabatnya itu. Dia ingin sekali pergi dan menemukan inspirasi baru untuk menulis, tetapi ada Belyn yang butuh perhatian. Dan dia juga harus membantu ibunya mempersiapkan dagangan untuk esok harinya.
“Aku tidak tahu, Luis. Ada banyak yang harus kulakukan di rumah,” jawab Oty merasa berat hati.
“C'mon, Oty! Ini kesempatan langka, lho! Mungkin kamu bisa dapat ide untuk naskahmu yang terbengkalai lamanya itu!” Luis mendesak.
Oty teringat pada mimpinya yang telah lama tertunda. Dia ingin sekali menerbitkan buku, tapi situasinya selalu saja membelenggunya. Dia merasa seperti terjebak di antara generasi, antara kebutuhan keluarganya dan cita-citanya sendiri. Sungguh malang.
“Ya, mungkin aku bisa pergi sebentar,” final Oty akhirnya, walau perasaan cemas masih menyelimuti sukmanya.
Malam itu, Oty tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar-putar, menimbang antara impian dan tanggung jawab. Dia merasa seperti sandwich—di satu sisi ia ditekan oleh harapan keluarganya dan di sisi lain ia punya impian yang menggebu.
Dalam keheningan malam dan tenangnya suasana, dia mengambil buku catatan dan mulai menulis. Kata-kata di waktu malam mengalir tanpa henti, menceritakan kisahnya sendiri tentang dilema yang sedang dia hadapi. Dia ingin semua orang tahu, betapa sulitnya menjadi generasi sandwich, terjebak di antara dua harapan dan dua jaman bersamaan.
“Mungkin ini bisa menjadi ceritaku,” pikirnya sambil menulis. “Cerita tentang cinta, pengorbanan, dan pencarian jati diri. Ya, walaupun terlahir di generasi gen z serta harus menghadapi era generasi sandwich, mungkin sudah takdirnya.”
Dengan semangat baru dan sudut pandang yang lain, Oty menutup buku catatannya dan bersiap untuk menghadapi hari baru esok paginya. Dia tahu bahwa apapun yang terjadi, dia harus terus berjuang untuk impiannya, meskipun harus menghadapi berbagai rintangan di depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)
Teen FictionBagaimana jadinya jika seorang gadis berusia 22 tahun menghadapi likunya era Generasi Sandwich di tengah-tengah jaman yang masih menganut sistem kepercayaan tradisi dan jaman digital modernlisasi? Yok ikuti terus kisah Oty gadis yang berjuang demi m...