Menemukan Kembali Suara

46 2 0
                                    

Hari-hari setelah peluncuran buku terasa campur aduk bagi Oty. Meski dia menerima banyak dukungan, suara kritikan dari penggemar yang merasa kurang puas terus menggema di kepalanya. Ia mulai meragukan dirinya sendiri, bertanya-tanya apakah ceritanya benar-benar layak untuk dibaca.

Setelah beberapa hari terjebak dalam keraguan, Oty memutuskan untuk bertemu dengan Rina dan Dika. Mereka sepakat untuk bertemu di kafe favorit mereka. “Oty, kita harus merayakan keberhasilanmu,” kata Dika dengan senyum lebar saat Oty duduk di meja mereka. “Jangan biarkan satu komentar negatif merusak kebahagiaanmu.”

“Ya, semua yang kau lakukan sangat luar biasa, Oty,” Rina menambahkan. “Buku itu adalah cerminan dari pengalamanmu, dan banyak orang merasa terhubung dengan kisahnya.”

Oty berusaha tersenyum, tapi hatinya masih terasa berat. “Tapi itu hanya satu komentar, dan aku tidak bisa mengabaikannya. Rasanya seperti semua usaha yang kulakukan sia-sia.”

Dika menggelengkan kepalanya. “Dengar, Oty. Dalam setiap karya seni, selalu ada yang suka dan tidak suka. Itu bagian dari proses. Yang penting adalah orang-orang yang merasakan dampak dari tulisanmu.”

Oty merenungkan kata-kata Dika. Dia ingat kembali saat pertama kali menulis dan bagaimana dia merasa terinspirasi untuk menceritakan kisahnya. “Mungkin aku harus mencoba melihat sisi positif dari semua ini,” ucapnya pelan. “Setidaknya ada orang yang merasa terhubung dengan tulisanku.”

Ketika mereka berbicara, Oty merasakan semangatnya perlahan kembali. Dia mulai mencurahkan semua kekhawatirannya kepada teman-temannya. “Aku ingin menulis lebih banyak, tetapi bagaimana jika semua orang tidak menyukainya? Apa yang harus kulakukan jika mereka tidak merespons dengan baik lagi?”

“Setiap penulis pasti mengalami masa-masa seperti itu,” Rina menjawab. “Bahkan penulis terkenal pun pernah merasakan hal yang sama. Yang terpenting adalah kamu tetap setia pada suara dan cerita yang ingin kamu sampaikan.”

Mendengar itu, Oty merasa semangatnya terpompa. “Aku tahu aku punya cerita yang layak diceritakan. Mungkin aku perlu menulis lagi, tanpa rasa takut.”

Setelah pertemuan itu, Oty pulang ke rumah dengan semangat baru. Dia membuka laptopnya dan mulai menulis lagi. Malam itu, jari-jarinya menari di atas keyboard, mengalirkan semua emosinya ke dalam kata-kata. Setiap kalimat yang ia tulis membawanya kembali ke momen ketika dia pertama kali menemukan kebebasan dalam mengekspresikan diri.

Dia menulis tentang perasaannya sebagai generasi sandwich, tentang tekanan yang dirasakan dari keluarga dan harapan yang kadang tak terjangkau. Dia menggambarkan betapa sulitnya untuk memenuhi ekspektasi orang tua sambil berusaha menemukan jalannya sendiri. Oty merasa, kali ini, dia bisa menuliskan segala sesuatu tanpa harus khawatir dengan kritik.

Ketika pagi menjelang, Oty membaca ulang tulisannya. Dengan mata yang berkaca-kaca, dia menyadari bahwa dia telah menemukan kembali suaranya. “Inilah aku,” bisiknya pada dirinya sendiri, “seorang penulis yang berani menceritakan kisah hidupnya.”

Hari berikutnya, Oty mengunggah cuplikan dari tulisannya di media sosial, mengundang pembaca untuk berbagi pendapat mereka. Tak lama kemudian, komentar positif mulai mengalir. Banyak pembaca yang merasa terhubung dengan pengalamannya, berbagi cerita mereka sendiri tentang perjuangan sebagai generasi sandwich.

Suatu malam, saat Oty sedang bersantai di sofa dengan secangkir teh hangat, pesan dari seorang pembaca masuk. “Oty, aku baru saja membaca cuplikan yang kamu bagikan. Kisahmu menyentuh hatiku. Rasanya seperti kamu berbicara tentang kehidupanku. Terima kasih telah berani berbagi.”

Air mata haru menggenang di mata Oty. Dia merasa, semua rasa sakit dan ketidakpastian yang dia rasakan selama ini telah terbayar. “Aku tidak sendirian,” gumamnya, “dan ada orang di luar sana yang merasakan hal yang sama.”

Semangatnya kembali membara, dan dia semakin bertekad untuk menyelesaikan tulisannya. Malam itu, dia menulis sampai larut, menciptakan cerita yang bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang berjuang di antara dua generasi.

Saat dia menutup laptopnya, Oty merasa lebih kuat dari sebelumnya. Dia tahu, meskipun ada kritik dan rintangan, dia akan terus menulis. Dia tidak akan membiarkan suara negatif menghentikannya. “Ini baru permulaan,” katanya pada dirinya sendiri.

Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang