Bertemu dengan Realita

48 4 0
                                    

Keesokan harinya, Oty bangun dengan perasaan optimis. Meski malam sebelumnya diisi dengan tawa dan cerita, rasa lelah akibat tugas menulis masih menyelimuti. Namun, ia bertekad untuk menjalani harinya dengan semangat baru.

Di sekolah, suasana terasa lebih cerah. Oty mulai mengumpulkan cerita dari teman-teman sekelasnya untuk artikelnya tentang generasi sandwich. Dia mencari waktu untuk berbincang dengan mereka, mencoba memahami bagaimana tekanan dari keluarga dan kehidupan sehari-hari mempengaruhi mereka.

Ketika istirahat, Oty menemui Fitri, sahabatnya yang juga merasakan tekanan. “Fitri, aku lagi nulis artikel tentang kita, tentang bagaimana kita semua berjuang di tengah tekanan dari keluarga,” kata Oty, sambil menyeruput jus jeruk di kantin.

“Wah, itu pasti menarik! Kita semua punya cerita sendiri-sendiri,” jawab Fitri, matanya berbinar.

Mereka berbincang lebih dalam tentang beban yang mereka rasakan. Fitri menceritakan bagaimana ibunya selalu membandingkan dirinya dengan sepupunya yang lebih sukses. “Kadang aku merasa, apa yang aku lakukan itu nggak ada artinya. Semua usaha itu seperti sia-sia,” katanya, suaranya bergetar.

Oty merasakan empati yang dalam. “Aku juga merasa sama. Kadang aku merasa terjebak antara keinginan untuk membantu keluarga dan mengejar impianku sendiri,” balas Oty.

Percakapan itu membangkitkan semangat Oty. Ia mulai mencatat pengalaman teman-temannya dan merasa semakin dekat dengan tema yang ia angkat. Namun, di tengah kebahagiaannya, satu pesan yang mengganggu pikirannya datang dari rumah.

Saat pulang sekolah, Oty melihat ibunya duduk di kursi, wajahnya tampak murung. “Ma, ada apa?” tanya Oty, merasakan gelisah di dalam hati.

“Ibu hanya sedikit lelah, Nak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab ibunya sambil tersenyum lemah, tetapi Oty bisa melihat ada sesuatu yang disembunyikan.

Setelah makan malam, Oty memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut. “Ma, aku tahu ada yang tidak beres. Apa kamu mau cerita?” Oty mengajak, matanya penuh perhatian.

Ibunya menghela napas, tampak bingung antara ingin berbagi dan tidak. “Sebenarnya, Mama khawatir tentang pekerjaan Ayah. Mungkin kita harus mencari cara untuk mengurangi pengeluaran,” ujarnya pelan.

Mendengar hal itu, Oty merasa hatinya tercekat. “Tapi Ma, kita sudah melakukan yang terbaik. Kita bisa cari cara lain untuk membantu. Aku juga bisa ambil lebih banyak pekerjaan menulis freelance,” tawar Oty dengan bersemangat.

Ibunya memandang Oty, matanya berbinar dengan harapan. “Tapi jangan sampai kamu kelelahan, ya? Mama ingin kamu tetap fokus belajar,” katanya lembut.

Setelah pembicaraan itu, Oty merasa ada tanggung jawab yang lebih berat di pundaknya. Ia tahu bahwa situasi keluarganya tidak akan mudah, tetapi dia tidak ingin menyerah. Ia harus mencari cara untuk membagi waktu antara sekolah, pekerjaan menulis, dan dukungan untuk keluarganya.

Hari-hari berlalu, dan Oty semakin sibuk dengan proyek menulis yang terus berdatangan. Namun, semakin banyak pekerjaan yang ia terima, semakin besar pula tekanan yang ia rasakan. Suatu malam, saat ia tengah menyelesaikan artikel, tiba-tiba laptopnya mati mendadak.

“Otak, bukan sekarang!” serunya dengan frustrasi, matanya berkaca-kaca. Ia merasa seluruh usahanya sia-sia. Namun, dia mencoba tetap tenang. “Oty, kamu bisa. Ini hanya masalah teknis,” bisiknya pada diri sendiri.

Dia mencoba menghidupkan laptopnya lagi, tetapi gagal. Dalam keadaan panik, Oty memutuskan untuk pergi ke warnet terdekat. Ia tahu bahwa tenggat waktu untuk artikelnya semakin dekat. Dengan langkah terburu-buru, Oty bergegas keluar rumah.

Di warnet, Oty duduk di depan komputer dengan napas yang masih tercekat. Dia mulai mengetik kembali semua yang telah ia kerjakan, berusaha keras untuk mengingat setiap detail. Suasana di sekitar warnet ramai, membuatnya merasa sedikit tertekan. Suara dering ponsel dari pengguna lain menambah ketegangan.

Saat Oty terjebak dalam keheningan pikirannya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Itu pesan dari Lila. “Oi, Oty! Gimana kabarnya? Ada waktu buat hangout? Kita butuh refreshing, deh!”

Oty tersenyum sejenak, tetapi kemudian teringat tenggat waktu yang semakin mendekat. “Lila, aku lagi di warnet ngerjain artikel. Mungkin nanti setelah selesai,” balas Oty.

“Jangan terlalu keras pada diri sendiri, ya. Ingat, kesehatanmu juga penting! Kita bisa cari waktu lain,” jawab Lila.

Oty terdiam, meresapi kata-kata Lila. Dia tahu Lila benar, tetapi beban di pundaknya membuatnya merasa tertekan. Setelah beberapa jam berlalu, Oty berhasil menyelesaikan artikelnya dan mengirimkannya tepat waktu. Dia merasa lega, tetapi kelelahan menyerang tubuhnya.

Di perjalanan pulang, Oty merenungkan betapa kerasnya hidupnya. Dia berusaha menjalani semua perannya dengan baik, tetapi sering kali merasa terjepit di antara harapan dan kenyataan. Namun, satu hal yang dia pelajari adalah pentingnya untuk tetap berjuang dan tidak mengabaikan diri sendiri.

Setibanya di rumah, Oty melihat Dika sedang bermain dengan mainan barunya. Dia merasakan dorongan untuk menghabiskan waktu bersama adiknya. “Dika, mau main bareng kakak?” tanya Oty, mencoba tersenyum.

Dika dengan senang hati mengangguk. Mereka mulai bermain dan bercanda, dan untuk sesaat, Oty melupakan semua beban yang ada. Di dalam momen itu, dia menyadari bahwa cinta keluarga adalah sumber kekuatannya yang paling berharga.

Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang