Keesokan paginya, Oty terbangun dengan rasa cemas dan harapan yang campur aduk. Dia memeriksa jam di ponselnya. Matahari sudah menyapa, dan dia harus bersiap untuk pergi ke acara buku di café. Dia bergegas ke kamar mandi, mencuci wajahnya, dan berdandan sederhana. Namun, saat melihat cermin, refleksinya mengingatkannya pada beban yang dia pikul selama ini.“Aku harus pergi,” bisiknya pada dirinya sendiri, meskipun dalam hatinya, keraguan masih menggelayuti.
Setelah menyiapkan sarapan untuk Belyn dan ibunya, Oty melangkah keluar rumah dengan langkah mantap, berusaha meninggalkan kekhawatiran di belakang. Jalan menuju café terasa sejuk, setiap tetes embun di dedaunan memberi semangat baru. Dia memikirkan kata-kata inspirasi yang mungkin dia dapatkan dari acara buku itu.
Sesampainya di café, suasana ramai dan penuh semangat. Oty melihat Luis berdiri di dekat panggung, berbincang dengan beberapa penulis lokal. Semangatnya langsung membara saat melihat betapa bersemangatnya mereka.
“Hey, Oty! Kamu datang!” Luis melambai, wajahnya bersinar.
“Ya, aku datang. Sorry, aku agak terlambat jadinya,” jawab Oty sambil tersenyum.
Saat acara dimulai, Oty duduk di barisan depan, mendengarkan setiap pembicara yang berbagi pengalaman dan perjalanan mereka. Mereka berbicara tentang perjuangan dan kebangkitan dalam menulis. Kata-kata mereka membangkitkan semangat Oty dan menyentuh hatinya.
“Setiap penulis memiliki cerita yang unik. Jangan pernah takut untuk berbagi kisahmu...,” ujar seorang penulis dengan tegas, membuat Oty teringat pada tulisannya yang belum rampung.
Di sela-sela acara, Oty dan Luis berdiskusi tentang apa yang mereka dengar.
“Kayaknya kita harus coba menulis lebih banyak, deh! Mungkin kamu bisa ikut lomba menulis atau workshop gitu Na,” saran Luis.
“Sepertinya itu ide yang bagus. Aku butuh dorongan motivasi untuk terus menulis,” Oty setuju dan merasakan semangat baru yang mengalir di dalam dirinya.
Ketika acara berakhir, Oty dan Luis mendekati salah satu penulis yang menginspirasi mereka. Oty merasakan getaran gugup di perutnya, seperti ada sebuah kupu-kupu yang ingin terbang. Tetapi, dia tahu ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.
“Permisi, Kak. Bolehkah kita foto bersama?” Oty bertanya dengan suara bergetar. Gugup.
“Of course! Siapa nama kalian?” penulis itu tersenyum hangat.
Oty dan Luis tersenyum manis lalu menjawab, "Saya Oty dan ini Luis, Kak."
Setelah sesi berfoto-foto selesai, Oty memberanikan diri untuk bertanya, “Kak, apa saran yang bisa Kakak berikan untuk penulis pemula seperti saya?”
Penulis itu berpikir sejenak sebelum menjawab, “Jangan takut untuk berbagi cerita. Kuncinya adalah kejujuran, konsisten, dan komitmen apa yang kamu ingin wujudkan melalui tulisan tersebut. Tulis apa yang kamu rasakan, dan jangan biarkan rasa takut menghalangimu.”
Kata-kata itu menancap kuat di hati Oty. Dia merasa seolah mendapat pencerahan.
Ketika pulang, Oty berjalan dengan langkah ringan, berulang kali mengingat kata-kata penulis itu. Dia merasakan gelora semangat untuk menulis kembali.
Sesampainya di rumah, dia langsung membuka laptopnya dan mulai mengetik. Semua ide yang berputar di kepalanya semalam kini mengalir dengan deras.
Namun, ketika dia asyik menulis, suara Belyn memanggilnya dari ruang tamu. “Kakak! Ayo bantu Mama, Kak!”
Oty menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa tanggung jawabnya tidak akan pernah berhenti begitu saja. Dengan berat hati, dia menutup laptopnya kembali dan pergi membantu ibunya. Meskipun perasaan frustrasi mulai menyergap, Oty berusaha ingat betapa pentingnya dukungan dari keluarganya.
“Aku akan menyelesaikan tulisanku nanti,” janji Oty pada diri sendiri.
Setelah membantu ibunya, Oty merasa lelah tetapi puas. Dia tahu bahwa setiap usaha yang dia lakukan adalah langkah menuju impiannya, meskipun terkadang terasa berat. Dia menyadari bahwa menggapai cita-cita bukan hanya tentang mengejar mimpinya sendiri, tetapi juga tentang dukungan dari keluarganya.
Di balik semua tekanan yang dia rasakan, Oty bertekad untuk terus melangkah, merangkai setiap kata dengan harapan dan impian yang tak akan pernah pudar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)
Teen FictionBagaimana jadinya jika seorang gadis berusia 22 tahun menghadapi likunya era Generasi Sandwich di tengah-tengah jaman yang masih menganut sistem kepercayaan tradisi dan jaman digital modernlisasi? Yok ikuti terus kisah Oty gadis yang berjuang demi m...