Seminggu berlalu sejak Oty berbicara dengan ibunya tentang impiannya. Setiap hari, dia semakin tenggelam dalam dunia tulis-menulis, merangkai kata demi kata hingga cerita di bukunya mulai terbentuk. Namun, di balik semangat itu, ada keraguan yang terus menghantuinya. Apakah tulisannya cukup baik? Apakah orang-orang akan peduli dengan kisah yang dia bagikan?
Suatu sore, Oty dan Rina duduk di taman kampus, menikmati cuaca yang cerah. Rina terlihat bersemangat membahas rencana peluncuran buku mereka. “Aku sudah menyiapkan poster dan undangan! Kita harus mengundang semua teman-teman kita, orang tua, dan bahkan dosen-dosen!”
Oty tersenyum, namun masih ada keraguan di hati. “Tapi, apa mereka akan suka? Aku tidak yakin tulisanku cukup menarik.”
Rina meraih tangan Oty. “Oty, jangan ragu. Kita menulis untuk berbagi pengalaman dan perasaan. Setiap orang punya cerita yang unik, dan itu yang membuat buku kita spesial. Lagipula, kita melakukan ini bersama. Kita saling mendukung!”
Oty merasa sedikit lebih tenang. “Kau benar, Rina. Terima kasih sudah selalu mendukungku. Aku hanya perlu percaya pada diriku sendiri.”
Setelah beberapa hari bekerja keras, Oty akhirnya selesai menulis draf pertama bukunya. Dengan penuh semangat, dia mengundang Dika dan Rina untuk membaca dan memberikan masukan. Saat mereka berkumpul di rumah Oty, dia merasa gugup. “Ini dia, guys. Draf pertamaku. Tolong beri tahu aku pendapat kalian.”
Dika dan Rina duduk dengan serius. Ketika Oty mulai membacakan bagian pertama, Oty bisa melihat ekspresi wajah mereka berubah. Dika tampak terharu, sementara Rina mengangguk dengan penuh perhatian.
Setelah Oty selesai, Dika menghela napas. “Wow, Oty. Ini benar-benar menyentuh. Aku merasa bisa merasakan setiap emosi yang kau tulis. Terutama saat kau menceritakan pengalamanmu menjadi bagian dari generasi sandwich.”
Rina menambahkan, “Aku setuju! Cerita ini sangat relatable. Banyak orang di luar sana yang pasti merasakan hal yang sama. Kita harus membuat buku ini lebih banyak orang tahu!”
Oty merasa lega mendengar pujian mereka. “Terima kasih! Aku sangat berusaha menulis dengan tulus. Tapi, ada bagian yang membuatku ragu. Apakah ada yang perlu diubah?”
Mereka mulai berdiskusi tentang detail yang bisa diperbaiki. Rina memberikan masukan yang konstruktif tentang bagaimana menggambarkan perasaan Oty lebih dalam, sedangkan Dika menyarankan beberapa contoh nyata dari pengalaman mereka sendiri untuk membuat cerita lebih kuat.
Dengan semangat baru, Oty memutuskan untuk memperbaiki drafnya. Dia terus menulis dan merevisi, menghabiskan malam-malam untuk memastikan bukunya sempurna. Dia merasakan tekanan dan tanggung jawab untuk tidak hanya mengekspresikan diri, tetapi juga memberi suara kepada generasi sandwich.
Suatu malam, saat Oty sedang menulis di kamarnya, dia mendengar suara pintu diketuk. Ibunya masuk dengan ekspresi khawatir. “Oty, kamu sudah larut malam. Apa kamu tidak seharusnya istirahat?”
Oty tersenyum. “Aku baik-baik saja, Bu. Aku hanya ingin menyelesaikan beberapa bagian lagi.”
Ibunya duduk di tepi tempat tidur. “Aku tahu ini penting untukmu, tetapi ingatlah kesehatanmu juga. Ini bukan tentang cepat atau lambat, tetapi tentang kualitas. Kita tidak ingin terburu-buru dan kehilangan makna.”
Kata-kata ibunya membuat Oty merenung. “Iya, Bu. Terima kasih sudah mengingatkanku. Aku akan mencoba untuk lebih seimbang.”
Setelah ibunya pergi, Oty kembali menulis. Namun, malam itu, pikirannya dipenuhi dengan kecemasan. Dia berpikir tentang apa yang akan terjadi setelah buku ini diterbitkan. Bagaimana jika orang-orang tidak mengerti atau mengabaikannya?
Keesokan harinya, Oty dan teman-temannya bertemu untuk merencanakan peluncuran buku. Rina menunjukkan desain poster yang sudah dia buat. “Lihat! Ini dia! Kita bisa mencetaknya dan membagikannya di media sosial.”
Oty terkesima. “Keren banget! Kita harus mempromosikannya dengan baik.”
Dika menyela, “Dan jangan lupa, kita juga perlu memikirkan acara peluncuran. Mungkin kita bisa mengundang beberapa pembicara yang bisa memberikan pandangan tentang generasi sandwich.”
Oty mengangguk. “Itu ide yang hebat! Kita bisa menjadikan acara ini sebagai ruang bagi semua orang untuk berbagi cerita mereka.”
Mereka merencanakan segala sesuatu dengan penuh semangat. Namun, ketika Oty kembali ke rumah, ketakutannya kembali menghantui. Dia merindukan dukungan yang lebih dari orang tuanya. “Apa mereka akan datang? Apakah mereka akan bangga padaku?” dia berpikir.
Setelah acara peluncuran dijadwalkan, Oty memutuskan untuk mengajak ibunya datang. Dia tahu ini adalah langkah besar, tetapi dia harus berani menghadapi ketakutannya. Dalam hati, dia berharap ibunya bisa melihat betapa pentingnya momen ini baginya.
Hari peluncuran tiba. Oty berdiri di depan kerumunan, melihat wajah-wajah yang penuh antusiasme. Dika dan Rina berada di sampingnya, siap mendukung. Saat dia mulai berbicara, Oty merasa jantungnya berdegup kencang.
“Terima kasih sudah datang di sini,” Oty memulai. “Hari ini adalah momen spesial bagi kami. Kami ingin berbagi cerita tentang perjalanan kami sebagai generasi sandwich. Ini bukan hanya buku, tetapi sebuah suara untuk kita semua.”
Saat dia melanjutkan berbicara, Oty melihat ibunya duduk di sudut ruangan, wajahnya tampak khawatir tetapi penuh perhatian. Oty merasa terharu. Dia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menunjukkan siapa dirinya dan betapa pentingnya impian ini baginya.
Dia menyelesaikan pidatonya dengan penuh emosi. “Buku ini adalah tentang mengatasi tantangan dan menemukan diri kita sendiri. Saya berharap setiap orang yang membacanya bisa merasa terhubung dan tahu bahwa mereka tidak sendirian dalam perjalanan ini.”
Kepala terasa ringan saat Oty turun dari panggung. Dika dan Rina menghampirinya, tersenyum lebar. “Kamu luar biasa, Oty! Semua orang terharu mendengarkan cerita kamu!”
Namun, Oty masih merasakan ketegangan. Saat dia melihat ibunya mendekatinya, dia tidak bisa menahan perasaannya. “Bu, terima kasih sudah datang,” katanya, suaranya bergetar.
Ibunya tersenyum, tetapi ada air mata di matanya. “Aku bangga padamu, Oty. Kamu sangat berani. Ini adalah langkah besar, dan aku di sini untuk mendukungmu.”
Oty merasa seolah seluruh dunia bersinar. “Terima kasih, Bu. Aku berjanji akan terus berjuang.”
Malam itu, setelah semua berakhir, Oty duduk di teras rumahnya. Bintang-bintang bersinar di langit malam, dan dia merasa penuh harapan. Dia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, tetapi dia sudah mengambil langkah besar menuju impiannya.
Dengan semangat yang baru, Oty bertekad untuk terus menulis, berbagi cerita, dan menjadi suara bagi generasi sandwich. Dia merasa siap untuk menghadapi segala tantangan yang ada di depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)
Roman pour AdolescentsBagaimana jadinya jika seorang gadis berusia 22 tahun menghadapi likunya era Generasi Sandwich di tengah-tengah jaman yang masih menganut sistem kepercayaan tradisi dan jaman digital modernlisasi? Yok ikuti terus kisah Oty gadis yang berjuang demi m...