Jejak Cita-cita

47 3 0
                                    

Hari-hari setelah itu terasa seperti roller coaster bagi Oty. Dengan semangat yang diperbarui, dia berusaha menemukan keseimbangan antara sekolah, pekerjaan, dan waktu untuk keluarga. Setiap hari, dia mencoba untuk memanfaatkan momen-momen kecil di antara kesibukan. Meski kadang merasa lelah, Oty tahu bahwa semua ini akan membawanya pada sesuatu yang lebih baik.

Suatu sore, Oty mendapat kabar baik dari sekolahnya. Mereka mengadakan lomba penulisan esai yang hadiahnya cukup menarik, yaitu beasiswa untuk kursus penulisan kreatif di sebuah lembaga ternama. Saat mendengar hal itu, semangat Oty langsung melesat. “Ini kesempatan besar!” serunya dalam hati.

“Eh, Oty! Apa kamu dengar tentang lomba esai itu?” tanya Fitri, saat mereka duduk di kantin.

“Dengar! Aku mau ikut! Ini bisa jadi jalan buat aku mengembangkan kemampuan menulis,” jawab Oty dengan penuh antusias.

“Semangat! Tapi jangan lupa, kamu juga perlu istirahat. Jangan sampai kelelahan lagi,” sahut Fitri, mengingatkan.

Oty mengangguk, tetapi di dalam hatinya, dia merasa dorongan untuk membuktikan dirinya semakin kuat. Dia ingin menunjukkan kepada ibunya bahwa dia bisa menciptakan sesuatu yang berarti untuk keluarga mereka.

Malam itu, Oty duduk di depan laptop, merancang ide untuk esainya. Dia ingin menulis tentang perjalanan hidupnya sebagai generasi sandwich, menggambarkan tantangan dan harapan yang dia rasakan. Sambil mengetik, dia teringat pada momen-momen ketika dia harus memilih antara mengikuti keinginan sendiri atau memenuhi harapan orang-orang di sekitarnya.

Dia menulis dengan penuh perasaan, mengalirkan semua pemikirannya ke dalam kata-kata. “Menjadi generasi sandwich tidaklah mudah. Di satu sisi, ada harapan untuk mencapai impian pribadi, sementara di sisi lain, ada tanggung jawab yang harus dipikul untuk keluarga. Kita sering kali merasa terjebak di tengah-tengah, berjuang melawan ekspektasi yang terkadang terlalu berat,” tulisnya.

Oty berhenti sejenak, membiarkan emosinya mengendap. Dia membayangkan wajah ibunya, senyumnya, dan bagaimana kerasnya ibunya bekerja untuk keluarga. Dia ingin menjadikan esai ini sebagai hadiah untuk ibunya, agar ia tahu bahwa semua usaha dan pengorbanan tidak sia-sia.

Setelah beberapa jam, Oty selesai dengan esainya. Dengan rasa bangga, dia mengirimkannya ke panitia lomba. Saat menekan tombol “kirim”, dia merasakan seolah beban berat terangkat dari pundaknya. “Aku sudah melakukan yang terbaik,” gumamnya sambil tersenyum.

Keesokan harinya, di sekolah, Oty tak bisa menghilangkan rasa cemasnya. Semua teman sekelasnya juga berbicara tentang lomba, dan beberapa dari mereka terlihat sangat percaya diri. “Aku yakin aku bisa menang,” kata Andi, salah satu teman yang dikenal sangat berbakat dalam menulis.

“Eh, Oty, kamu pasti menang deh! Esai kamu pasti keren!” Fitri berusaha memberi semangat.

“Semoga saja,” jawab Oty sambil tersenyum. Namun, di dalam hati, ada sedikit keraguan.

Beberapa hari berlalu, dan Oty terus berlatih menulis dengan giat. Dia mendapatkan umpan balik dari Lila dan Fitri, yang membantu memperbaiki tulisannya. Setiap revisi membawa Oty lebih dekat dengan esai yang dia impikan.

Namun, saat menjelang pengumuman, Oty dihadapkan pada kenyataan pahit. Pekerjaan menulis freelance yang dia ambil mulai menumpuk. Dia harus menyelesaikan beberapa artikel untuk klien yang menginginkan hasil cepat. Suatu malam, saat menatap layar laptop, Oty merasa stres dan kelelahan.

“Kenapa semua ini harus bersamaan?” keluhnya, mengusap wajahnya dengan tangan.

Dia mencoba membagi waktu sebaik mungkin, tetapi semakin lama, semakin sulit untuk menjaga keseimbangan. Di tengah-tengah semua tekanan itu, Oty memutuskan untuk menelepon ibunya. “Ma, aku butuh bicara,” ujarnya dengan suara sedikit bergetar.

Ibunya menjawab dengan lembut, “Ada apa, Nak?”

“Aku lagi stres, Ma. Banyak tugas dan artikel yang harus diselesaikan. Kadang aku merasa overwhelmed,” keluh Oty.

“Coba tarik napas dalam-dalam, ya. Ingat, kamu tidak sendiri. Mama di sini untuk mendukungmu. Kamu sudah berusaha sangat keras,” jawab ibunya.

Dari suara ibunya, Oty merasakan semangat baru. “Aku hanya perlu istirahat sejenak,” katanya pada diri sendiri.

Setelah berbincang, Oty merasa lebih tenang. Dia kembali ke laptopnya dengan semangat baru, menyelesaikan tugas-tugas yang ada. Namun, meski lelah, dia merasa ada tujuan di balik semua usaha itu.

Akhirnya, hari yang dinantikan tiba—pengumuman lomba esai. Oty dan teman-temannya berkumpul di aula sekolah, suasana tegang dan penuh harapan. Oty merasakan detak jantungnya semakin cepat.

Kepala sekolah mulai membacakan nama-nama pemenang. “Dan pemenang pertama lomba penulisan esai adalah... Oty!” Suara itu bergema di seluruh ruangan.

Oty terdiam sejenak, tidak percaya. Suara riuh tepuk tangan menggelora, tetapi dia merasa seperti terbang. Dia berdiri dan berjalan menuju panggung, merasakan campuran kebahagiaan dan tangisan.

“Ini untuk Mama,” bisiknya dalam hati, mengingat semua pengorbanan yang telah dilakukan ibunya.

Ketika menerima penghargaan, Oty melihat wajah ibunya di kerumunan. Ibunya tersenyum bangga, dan air mata haru mengalir di pipinya. Dalam momen itu, Oty merasa semua usaha dan perjuangan terbayar. Dia tidak hanya menang untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya.

Saat pulang, Oty berbagi berita bahagia itu. “Ma, aku menang! Aku dapat beasiswa untuk kursus penulisan!” serunya dengan penuh semangat.

“Jadi, itu yang Mama harapkan. Kamu pasti bisa, Nak. Mama selalu bangga padamu,” jawab ibunya, pelukan hangat mengisi ruang di antara mereka.

Malam itu, saat duduk di kamarnya, Oty merasakan kombinasi rasa bangga dan bahagia. Dia telah menghadapi banyak tantangan, tetapi juga menemukan kekuatan di dalam diri sendiri. Dalam perjalanan hidupnya sebagai generasi sandwich, dia menyadari bahwa mimpi dan harapan selalu bisa dicapai dengan usaha dan dukungan orang-orang terkasih.

Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang