Setelah pengumuman kemenangan, Oty merasa seperti berada di atas awan. Beasiswa untuk kursus penulisan kreatif itu bukan hanya sekadar hadiah, tetapi merupakan pintu yang membawanya menuju impian yang selama ini ia idamkan. Dia merasa ada harapan baru yang terbuka lebar, meskipun tantangan tetap menghadangnya.
Di sekolah, semua teman-temannya mengucapkan selamat dan mengajak Oty merayakan kemenangan itu. Fitri, Andi, dan beberapa teman lain mengundangnya untuk makan di restoran favorit mereka setelah sekolah. “Kita harus merayakan! Ini momen bersejarah!” seru Fitri dengan semangat yang menular.
“Aku setuju! Kita bisa berbagi cerita dan pastinya foto-foto untuk Instagram!” sahut Andi, mengacungkan telepon pintarnya.
Oty tertawa. “Oke, tapi jangan sampai kebablasan ya! Kita harus tetap ingat ujian minggu depan.”
Namun, kegembiraan malam itu benar-benar menyegarkan. Mereka makan pizza, berbagi cerita, dan tertawa bersama. Oty merasa terhubung dengan teman-temannya lebih dari sebelumnya, dan dia merasakan rasa syukur yang mendalam atas dukungan mereka.
Sehari setelahnya, Oty mulai kursus penulisan kreatif secara online. Pertemuan pertama dimulai dengan pengenalan berbagai teknik menulis dan berbagi pengalaman antar peserta. Oty merasa sangat bersemangat dan cepat beradaptasi dengan suasana baru. Saat instruktur meminta peserta untuk memperkenalkan diri, Oty merasa gugup. Namun, saat gilirannya tiba, ia berkata dengan percaya diri, “Aku Oty, dan aku baru saja memenangkan lomba esai. Aku ingin belajar lebih banyak tentang menulis agar bisa berbagi cerita yang berarti.”
Seketika, para peserta lain memberikan aplaus. Oty merasa bangga bisa membagikan pencapaian itu. Dia melihat ada teman sekelas yang lebih tua, Rani, yang memiliki banyak pengalaman dalam menulis novel. Rani memberikan saran dan motivasi yang Oty anggap sangat berharga. “Kamu sudah berada di jalur yang tepat, Oty. Teruslah menulis, jangan ragu untuk menunjukkan siapa dirimu,” kata Rani.
Malam-malam setelah kursus tersebut, Oty menghabiskan waktunya menulis dengan penuh semangat. Dia berusaha menumpahkan semua pikirannya ke dalam cerita-cerita yang dia buat. Dalam hati, dia merasa seperti sedang menjelajahi dunia baru. Setiap kali menulis, dia membayangkan apa yang akan terjadi jika kata-kata itu sampai ke pembaca yang bisa merasakan setiap emosi yang dia tuliskan.
Namun, meski dalam kegembiraan, tantangan sebagai generasi sandwich kembali menghampiri. Suatu malam, Oty pulang dari kursus dan melihat ibunya terlihat lelah. “Ma, kamu kenapa? Kenapa terlihat capek?” tanya Oty, khawatir.
“Ah, tidak apa-apa, Nak. Mama hanya banyak pekerjaan di rumah,” jawab ibunya sambil tersenyum, tetapi Oty bisa melihat tanda-tanda kelelahan di wajah ibunya.
“Ma, aku ingin membantu lebih banyak. Kalau ada yang bisa dikerjakan, beri tahu aku ya!” Oty berusaha menawarkan bantuannya.
Ibunya mengangguk, tetapi Oty tahu betul bahwa ibunya tidak ingin merepotkannya. Sering kali, mereka berdua berusaha keras untuk saling menjaga satu sama lain, tanpa ingin menunjukkan kelemahan.
Hari-hari berlalu, dan Oty mulai merasakan beban di pundaknya semakin berat. Tugas sekolah, pekerjaan freelance, serta tanggung jawab di rumah membuatnya merasa kelelahan. Dia merasa seakan-akan terjebak dalam lingkaran tak berujung, di mana dia tidak bisa berhenti untuk bernafas sejenak.
Suatu malam, Oty duduk di kamarnya, memandangi tumpukan buku dan kertas yang berserakan. Dalam ketidakpastian, dia mengingat kembali semua motivasi yang mendorongnya untuk menulis dan mengejar impian. Dengan sepenuh hati, dia mengingat semua orang yang selalu mendukungnya, termasuk ibunya. Oty menulis di buku hariannya, “Kehidupan bukanlah tentang seberapa banyak kita bekerja, tetapi tentang bagaimana kita bisa menemukan kebahagiaan di tengah semua itu.”
Dia berhenti sejenak, merasakan ketenangan mengalir dalam dirinya. Oty tahu bahwa dia harus berbicara dengan ibunya. “Ma, kita perlu bicara,” ujarnya lembut, setelah ibunya selesai memasak.
Ibunya menatapnya, “Ada apa, Nak? Kamu terlihat serius.”
“Sejak aku menang lomba esai, aku merasa lebih banyak tekanan. Tapi aku juga merasa senang. Tapi... aku ingin kita bisa lebih sering menghabiskan waktu bersama,” Oty menyatakan.
Ibu Oty tersenyum, “Kita pasti bisa. Mama juga merindukan momen-momen itu. Mari kita coba menyisihkan waktu di akhir pekan untuk beraktivitas bersama.”
Oty merasa bahagia mendengar itu. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan atau nonton film?” tawarnya.
“Setuju! Kita bisa membuat popcorn dan menonton film keluarga di rumah. Itu pasti menyenangkan!” balas ibunya, wajahnya bersinar penuh antusiasme.
Malam itu, Oty merasa lebih ringan. Dengan dukungan dari ibunya, dia merasa siap menghadapi semua tantangan. Sejak saat itu, mereka mulai menjadwalkan waktu untuk bersama. Oty merasa lebih terhubung dengan ibunya dan merasakan cinta yang lebih kuat di antara mereka.
Tantangan sebagai generasi sandwich memang tidak akan hilang begitu saja, tetapi Oty belajar untuk menemukan cara agar bisa menghadapinya. Dia mulai melihat setiap kesulitan sebagai bagian dari perjalanan yang membentuk dirinya. Dengan semangat dan dukungan, dia merasa bisa melewati semua itu.
Malam-malam selanjutnya dihabiskan dengan menulis, belajar, dan berbagi cerita dengan ibunya. Dalam perjalanan ini, Oty tidak hanya menemukan suara dan tujuannya, tetapi juga menguatkan ikatan dengan keluarganya. Dia menyadari bahwa perjalanan ini tidak hanya tentang dirinya, tetapi tentang bagaimana mereka bisa saling mendukung dan tumbuh bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)
Fiksi RemajaBagaimana jadinya jika seorang gadis berusia 22 tahun menghadapi likunya era Generasi Sandwich di tengah-tengah jaman yang masih menganut sistem kepercayaan tradisi dan jaman digital modernlisasi? Yok ikuti terus kisah Oty gadis yang berjuang demi m...