Setelah malam yang penuh dengan perenungan, Oty bangun dengan semangat baru. Ia tahu bahwa dia harus berusaha lebih keras untuk menemukan keseimbangan antara impian dan tanggung jawabnya di rumah. Ia memutuskan untuk memulai pagi dengan menulis. Menulis bukan hanya tentang menuangkan kata-kata, tetapi juga tentang mengekspresikan segala perasaan yang ada dalam dirinya.
Di sekolah, Oty memulai hari dengan mengajak Lila berbincang. “Lila, aku butuh saran. Aku ingin mencari pekerjaan sambilan, tapi aku juga tidak ingin mengganggu waktu belajar,” ujarnya sambil menyeruput kopi di kafe sekolah.
Lila terlihat berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kamu coba menulis freelance? Kamu bisa menawarkan jasa menulis artikel atau cerita pendek. Ini fleksibel dan bisa kamu lakukan di rumah,” saran Lila.
Oty merasa bersemangat dengan ide itu. “Itu ide bagus! Aku akan coba tawarkan di media sosial. Siapa tahu ada yang berminat,” Oty menjawab, rasa percaya dirinya mulai tumbuh kembali.
Setelah sekolah, Oty mulai menyiapkan portofolio dari tulisan-tulisannya. Ia menyusun beberapa cerpen dan artikel yang pernah ia buat untuk klub sastra. Dengan rasa antusias, ia memposting tawaran jasa menulis di media sosialnya, menandai teman-teman dan mengajak mereka untuk menyebarkan informasi tersebut.
Hari-hari berlalu, dan Oty mulai menerima beberapa tawaran kecil untuk menulis. Ia merasa bangga bisa membantu keluarganya, sekaligus mengejar mimpinya. Meskipun jadwalnya semakin padat, Oty merasa energinya terisi dengan kegiatan menulis yang ia cintai.
Namun, di balik kebahagiaannya, Oty tetap merasakan ketegangan di rumah. Ibu Oty semakin sering terlihat cemas dan lelah, sementara ayahnya terpaksa lembur lebih sering untuk menambah penghasilan. Oty tahu bahwa situasi ini tidak akan bertahan lama jika tidak ada perubahan.
Suatu malam, ketika Oty sedang menyelesaikan sebuah artikel, Dika masuk ke kamarnya. “Kak, ada apa? Kamu terlihat lelah,” tanya Dika dengan khawatir.
Oty tersenyum, mencoba menyembunyikan kelelahan. “Tidak ada, Dika. Kakak hanya banyak kerjaan,” jawabnya.
“Boleh bantu? Dika bisa ambil baju kotor atau bantu masak,” tawar Dika, ingin membantu.
Oty merasa terharu. “Makasih, Dika. Kakak akan coba minta bantuanmu nanti. Sekarang, kakak perlu menyelesaikan ini dulu,” Oty berkata sambil menunjuk layar laptop.
Dika mengangguk dan pergi. Oty menatap pintu yang tertutup, merasakan beban di hatinya. Dia ingin sekali memberikan yang terbaik untuk Dika dan keluarganya, tetapi tekanan dari tanggung jawabnya membuatnya semakin tertekan.
Seiring berjalannya waktu, Oty mendapatkan lebih banyak proyek menulis. Dia mengatur waktu dengan baik, tetap fokus pada sekolah sambil menyelesaikan setiap tugas menulisnya. Namun, ada satu proyek yang membuatnya merasa semakin terbebani: sebuah artikel untuk majalah pelajar tentang perjuangan generasi sandwich.
Oty menyadari bahwa topik itu sangat dekat dengan hidupnya. Dia mulai mengumpulkan wawancara dan cerita dari teman-temannya yang juga merasakan tekanan serupa. Dalam prosesnya, Oty merasa terhubung dengan mereka, dan itu memberinya kekuatan untuk terus maju.
Pada saat yang sama, Oty merasakan dorongan untuk berbicara dengan ibunya tentang situasi yang mereka hadapi. Suatu malam, ketika mereka sedang memasak bersama di dapur, Oty memutuskan untuk memulai percakapan. “Ma, tentang pekerjaan dan keuangan kita… bagaimana kalau kita coba diskusikan cara untuk mengurangi pengeluaran?” Oty bertanya dengan hati-hati.
Ibunya menatap Oty dengan ekspresi campur aduk. “Oty, kita sudah mencoba yang terbaik. Mama hanya ingin kamu fokus pada pendidikanmu,” katanya dengan nada penuh cinta.
Oty menghela napas, merasa perlu untuk jujur. “Tapi Ma, aku bisa bantu. Aku dapat pekerjaan menulis freelance. Mungkin itu bisa membantu sedikit,” ujarnya.
Ibunya terdiam sejenak. “Kalau itu yang membuatmu bahagia, Mama mendukungmu. Tapi jangan sampai kamu merasa tertekan, ya,” ibunya menjawab dengan lembut.
Oty tersenyum, merasakan lega. Percakapan itu membuatnya merasa lebih dekat dengan ibunya. Dia tahu bahwa meskipun ada tantangan, mereka akan melewati semuanya bersama.
Keesokan harinya, Oty menerima pesan dari salah satu kliennya. Mereka ingin menyelesaikan artikel lebih cepat dari yang dijadwalkan. Meskipun terkejut, Oty tidak ingin mengecewakan mereka. Dia duduk di meja belajarnya, berusaha fokus meskipun pikirannya terpecah antara tugas menulis dan keinginan untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya.
Di tengah kesibukan itu, Oty merasa gelisah. Dia ingin memastikan bahwa dia tidak mengabaikan Dika dan ibunya. Dia memutuskan untuk mengajak Dika berkumpul dan berbagi cerita sebelum melanjutkan pekerjaannya.
“Mau gak kita bikin malam cerita? Kakak bisa ceritakan kisah-kisah lucu dari buku, dan Dika bisa ikut,” Oty menawarkan dengan senyuman.
Dika yang biasanya ceria langsung mengangguk dengan semangat. “Boleh, Kak! Kita bisa bikin cemilan juga!”
Malam itu, suasana di rumah menjadi ceria. Oty dan Dika duduk di ruang tamu, ditemani camilan dan bantal empuk. Oty mulai membacakan cerita dari bukunya, sementara Dika mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tertawa dan menambahkan komentar lucu.
Dalam momen sederhana itu, Oty merasa bahwa meskipun hidupnya penuh tantangan, ada keindahan dalam kebersamaan. Dia menyadari bahwa semua perjuangan dan tekanan yang mereka hadapi bukan hanya tentang uang atau pekerjaan, tetapi tentang cinta dan dukungan satu sama lain.
Oty berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berusaha dan tidak menyerah pada impiannya. Dia tahu bahwa setiap langkah kecil menuju harapan akan membawanya lebih dekat pada tujuan yang dia impikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)
Ficção AdolescenteBagaimana jadinya jika seorang gadis berusia 22 tahun menghadapi likunya era Generasi Sandwich di tengah-tengah jaman yang masih menganut sistem kepercayaan tradisi dan jaman digital modernlisasi? Yok ikuti terus kisah Oty gadis yang berjuang demi m...