Bayang-Bayang Masa Lalu

46 3 0
                                    

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Oty dan Rina semakin aktif dalam komunitas penulis. Mereka mulai mendapatkan perhatian dari penerbit kecil yang tertarik untuk menerbitkan karya mereka. Namun, di balik kebahagiaan itu, Oty merasa ada sesuatu yang membebani pikirannya. Dia mulai merasakan bayang-bayang masa lalu yang kembali menghantui.

Suatu malam, saat Oty duduk di meja belajarnya, dia teringat akan kenangan indah dan menyakitkan bersama keluarganya. Ayahnya yang selalu berharap dia menjadi dokter, dan ibunya yang selalu mendukung impian itu meski diam-diam berharap Oty memilih jalan yang lebih aman.

“Kenapa sih aku harus terjebak di antara harapan mereka dan impianku?” keluh Oty, menggaruk-garuk kepalanya frustrasi.

Rina yang kebetulan mampir ke rumah Oty mendengar keluhan sahabatnya. “Oty, kamu lagi mikirin apa? Kenapa wajahmu kayak habis berdebat sama kucing?”

Oty tertawa kecil, tapi tidak bisa menyembunyikan beban di hatinya. “Aku cuma lagi mikirin harapan orang tua. Rasanya berat, Rina. Kadang aku ngerasa bersalah karena enggak bisa jadi apa yang mereka inginkan.”

Rina mendekat dan duduk di samping Oty. “Kita semua pasti pernah ngerasain itu, Oty. Tapi ingat, hidupmu adalah milikmu. Kamu berhak untuk memilih apa yang membuatmu bahagia.”

Mendengar kata-kata Rina, Oty merasa sedikit lega. Namun, saat dia menutup matanya, gambar wajah ayahnya yang kecewa muncul di benaknya. Dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya, tetapi dia juga tidak ingin mengabaikan mimpi-mimpinya sendiri.

Ketika malam semakin larut, Oty mengeluarkan buku harian yang selama ini dia simpan. Dia mulai menulis tentang semua perasaannya. Mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini terpendam.

“Buku ini adalah tempat aku jujur pada diri sendiri,” bisiknya pada diri sendiri. Dia mulai menulis tentang momen-momen ketika dia merasa terjepit di antara harapan dan keinginannya.

Esok harinya, Oty dan Rina pergi ke kafe untuk berdiskusi tentang proyek tulisan mereka. Saat mereka duduk, Oty memutuskan untuk membuka diri pada Rina tentang apa yang mengganggunya.

“Rina, aku merasa beban ini semakin berat. Rasanya aku terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Aku tidak ingin menyakiti orang tuaku, tapi aku juga ingin mengejar impianku,” kata Oty sambil menggigit bibirnya.

Rina menatap Oty dengan penuh empati. “Oty, orang tua kita pasti hanya ingin yang terbaik untuk kita. Tapi hidup kita bukan hanya tentang memenuhi harapan mereka. Kita juga punya hak untuk meraih kebahagiaan kita sendiri.”

Oty mengangguk, tetapi keraguan masih menggelayuti pikirannya. “Tapi bagaimana kalau mereka tidak setuju dengan pilihanku? Bagaimana kalau mereka merasa aku mengabaikan mereka?”

“Setiap langkah yang kita ambil pasti ada risikonya. Tetapi jika kamu terus membiarkan ketakutan itu mengendalikan hidupmu, kamu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan yang seharusnya kamu miliki,” Rina menjelaskan.

Oty terdiam, merenungkan kata-kata sahabatnya. Rina benar. Jika dia terus hidup dalam ketakutan akan penilaian orang lain, dia tidak akan pernah bisa menemukan kebahagiaannya sendiri. Dia harus mulai mengambil langkah berani.

Di tengah perbincangan mereka, ponsel Oty bergetar. Dia melihat ada pesan dari ibunya. “Oty, ada yang ingin kami bicarakan. Bisa pulang hari ini?”

Kekhawatiran langsung menghampiri Oty. “Rina, aku harus pulang. Sepertinya ada yang enggak beres,” katanya sambil beranjak berdiri.

Di perjalanan pulang, Oty merasa jantungnya berdegup kencang. Dia berusaha menebak apa yang akan dibicarakan orang tuanya. Apakah mereka tahu tentang keputusannya untuk mengejar passion-nya dalam menulis? Apakah mereka akan marah?

Sesampainya di rumah, Oty melihat wajah-wajah tegang di ruang tamu. Ayahnya duduk di sofa dengan tatapan serius, sementara ibunya berdiri di sampingnya dengan ekspresi khawatir. Oty merasakan ketegangan yang menggelayuti ruangan itu.

“Oty, terima kasih sudah pulang. Kami ingin membicarakan sesuatu yang penting,” kata ayahnya, suaranya berat.

Oty duduk dengan hati berdebar. “Apa itu, Yah?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.

Ayahnya menarik napas dalam-dalam. “Kami tahu kamu sedang berjuang untuk menemukan jalanmu sendiri. Kami ingin mendukungmu, tapi kami juga khawatir tentang masa depanmu.”

Oty merasa dadanya bergetar. “Tapi, Ayah, aku… aku ingin menulis. Ini impianku. Aku ingin membagikan cerita-cerita ini kepada dunia.”

Ibunya meraih tangan Oty, menggenggamnya erat. “Kami tahu, Oty. Kami hanya ingin kamu bahagia. Tapi apakah kamu yakin ini yang kamu inginkan?”

Oty terdiam sejenak. Semua keraguannya muncul kembali. Namun, setelah mengingat kata-kata Rina, dia merasa semakin kuat.

“Aku yakin, Bu. Menulis adalah bagian dari diriku. Aku ingin melakukan ini, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk semua orang yang mungkin merasakan hal yang sama.”

Setelah Oty mengungkapkan isi hatinya, dia melihat tatapan ayah dan ibunya mulai melunak. Mungkin, hanya mungkin, mereka mulai memahami betapa pentingnya kebahagiaan untuknya.

“Kalau begitu, kami akan mendukungmu. Selama itu membuatmu bahagia,” kata ayahnya, suara lembut dan penuh kasih.

Oty merasa seolah beban berat di pundaknya hilang seketika. Dia tersenyum lebar. “Terima kasih, Ayah. Terima kasih, Bu. Aku tidak akan mengecewakan kalian.”

Malam itu, Oty merasa hatinya lebih ringan. Dia tahu perjalanan masih panjang, tetapi setidaknya kini dia punya dukungan dari orang tuanya.

Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang