Menghadapi Cermin

57 2 0
                                    

Hari-hari berlalu, dan proyek buku mereka semakin dekat dengan penyelesaian. Oty, Rina, dan Dika menghabiskan banyak waktu bersama, berbagi cerita, dan menggali pengalaman yang bisa mereka tuangkan ke dalam tulisan. Namun, di balik kebahagiaan itu, Oty masih merasakan sebuah ketegangan yang menggelayuti hatinya.

Suatu malam, saat mereka berkumpul di kafe, Oty mengajak teman-temannya untuk berbagi tentang harapan dan ketakutan mereka. “Kita semua di sini untuk mengejar impian, tapi ada saat-saat kita merasa terjebak, kan? Ada yang ingin dibagikan?” tanyanya.

Dika mengangguk. “Aku merasa tertekan, kadang aku berpikir apakah orang tuaku akan menerima keputusan untuk menjadi seniman. Aku tidak ingin mengecewakan mereka, tetapi aku juga ingin bahagia.”

Rina mendengarkan, lalu menimpali. “Aku juga merasakannya, Dika. Orang tuaku berharap aku mengambil jalan karier yang lebih ‘aman’. Aku merasa seperti berjalan di atas tali.”

Oty merasakan beban yang sama. “Kadang, aku merasa seperti memakai topeng. Menunjukkan kepada orang lain bahwa aku baik-baik saja, tetapi di dalam, aku berjuang. Ada saat di mana aku melihat cermin dan tidak mengenali diri sendiri,” ujarnya, suara Oty bergetar.

Rina menatap Oty, mengerti betapa mendalamnya perasaan itu. “Kita semua harus menghadapi cermin itu, Oty. Melihat ke dalam diri kita dan menerima siapa kita sebenarnya. Itu langkah pertama untuk menemukan kebahagiaan.”

Malam itu, diskusi mereka berubah menjadi refleksi mendalam. Oty merasa lebih dekat dengan teman-temannya. Mereka saling berbagi cerita masa kecil, mimpi yang belum tercapai, dan ketakutan yang menghalangi mereka. Oty merasa beban yang selama ini mengganjal di hatinya mulai sedikit terangkat.

Ketika mereka selesai, Dika berkata, “Aku ingin kita menulis tentang ini. Bagaimana kita semua merasakan tekanan dan harapan, dan bagaimana kita bisa menemukan jalan keluar.”

Oty tersenyum. “Itu ide yang bagus! Kita bisa menyertakan bagian ini di buku kita. Ini akan memberi orang lain harapan, bahwa mereka tidak sendirian.”

Ketika pertemuan itu berakhir, Oty pulang dengan perasaan lega. Namun, ketegangan dari orang tuanya tetap menghantuinya. Dia tahu mereka tidak akan begitu saja menerima pilihannya untuk menjadi penulis. Dia bertekad untuk membuktikan bahwa dia bisa melakukannya.

Beberapa hari kemudian, Oty mengajak ibunya untuk berbicara. Dalam suasana yang tenang, dia berkata, “Bu, aku ingin berbicara tentang impianku. Aku benar-benar ingin menulis dan berbagi cerita tentang generasi sandwich.”

Ibunya menghela napas, menatap Oty dengan serius. “Oty, aku mengerti bahwa kamu memiliki mimpi, tapi aku juga ingin yang terbaik untukmu. Menulis bukanlah karier yang stabil.”

“Bu, aku tahu itu. Tapi ini bagian dari diriku. Aku ingin mengejar apa yang aku cintai. Aku ingin menulis buku ini bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk orang lain yang merasakan hal yang sama,” Oty menjelaskan dengan tegas.

“Jadi, kamu akan mengabaikan sekolah?” ibunya bertanya, suaranya bergetar.

Oty merasakan hatinya terbakar. “Tidak, Bu. Aku tidak akan mengabaikan sekolah. Aku akan tetap belajar dan berusaha, tetapi aku juga ingin memprioritaskan impianku.”

Ibunya terdiam, tampak berpikir. Oty merasakan ketegangan di antara mereka. Dia tahu bahwa ini adalah momen penting untuk menunjukkan keberaniannya.

“Biarkan aku buktikan bahwa aku bisa melakukannya. Jika aku gagal, aku akan bertanggung jawab. Tapi jika aku berhasil, mungkin kamu bisa bangga padaku,” Oty menambahkan, berusaha meyakinkan ibunya.

Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, ibunya mengangguk. “Baiklah, Oty. Aku akan memberi kesempatan ini. Tapi ingat, pendidikanmu tetap yang utama.”

Oty merasa seolah beban berat terangkat dari pundaknya. “Terima kasih, Bu! Aku janji tidak akan mengecewakan.”

Dengan semangat baru, Oty melanjutkan proyek penulisannya. Dia merasa lebih terinspirasi dan bertekad untuk membuat buku ini sebaik mungkin. Setiap hari, dia menulis dengan penuh dedikasi, menceritakan kisah orang-orang di sekitarnya.

Suatu sore, saat Oty duduk di kamarnya, dia menerima pesan dari Rina. “Oty, bagaimana jika kita mengadakan acara peluncuran kecil setelah buku kita selesai? Kita bisa undang teman-teman dan keluarga!”

Oty tersenyum lebar. “Itu ide yang keren! Kita bisa membagikan buku dan mengajak mereka untuk berbagi cerita juga.”

Dengan semangat itu, Oty semakin bertekad untuk menyelesaikan bukunya. Dia tahu bahwa perjuangan belum berakhir, tetapi langkah pertama yang dia ambil untuk mengatasi ketakutannya memberikan kekuatan baru.

Namun, saat dia merenung di malam hari, Oty merasa cemas. “Apakah orang tuaku akan mengerti? Apakah mereka akan menerima diriku yang baru?” Dia menyadari bahwa dia harus terus menghadapi cermin dan melihat siapa dirinya yang sebenarnya.

Malam itu, sebelum tidur, Oty menulis di buku harian. “Aku berusaha melangkah ke depan, meski aku merasa takut. Tapi aku ingin percaya pada diriku sendiri. Ini langkah pertama untuk menemukan diriku yang sebenarnya.”

Ketika Oty terlelap, dia tahu bahwa dia berada di jalur yang benar. Dia siap menghadapi tantangan dan melangkah ke dunia yang belum dikenal.

Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang