Setelah peluncuran buku yang sukses, Oty merasakan euforia yang meluap. Dia mendapatkan banyak dukungan dari teman-teman dan bahkan beberapa pengunjung yang tidak dia kenal. Namun, di balik kebahagiaan itu, muncul sebuah tantangan baru yang membuatnya berpikir lebih dalam.
Beberapa hari setelah acara, Oty menerima pesan dari seorang penerbit yang tertarik untuk menerbitkan bukunya secara lebih luas. Pesan itu membuatnya terbang ke awang-awang, tetapi di sisi lain, ada rasa cemas yang mencekam. Apa artinya jika bukunya diterbitkan? Apakah dia siap menghadapi kritik?
Di suatu sore, Oty mengajak Rina dan Dika untuk berkumpul di kafe favorit mereka. Ketika mereka duduk dengan minuman di tangan, Oty mulai bercerita tentang tawaran penerbit itu. “Aku dapat pesan dari penerbit. Mereka mau menerbitkan bukuku! Tapi... aku merasa ragu.”
Rina mengernyit, tampak bingung. “Kenapa? Itu adalah kesempatan yang luar biasa, Oty! Kamu harus melakukannya!”
Dika menambahkan, “Iya, Oty! Ini bukan kesempatan yang datang setiap hari. Kau harus percaya pada dirimu sendiri.”
Oty menghela napas. “Tapi, bayangkan jika orang-orang tidak suka bukuku. Apa yang akan mereka katakan? Apakah aku cukup baik?”
Rina dan Dika saling berpandangan. Rina menyentuh tangan Oty. “Dengar, semua penulis pasti mengalami keraguan. Tapi, kamu sudah menunjukkan keberanian dengan menulis dan berbagi cerita. Orang-orang membutuhkan suara seperti milikmu.”
Dika menimpali, “Betul! Dan kita akan ada di sini untuk mendukungmu. Setiap kritik adalah kesempatan untuk belajar. Ingat, tidak ada penulis yang sempurna.”
Oty tersenyum, merasa sedikit tenang. Namun, saat mereka kembali ke rutinitas, keraguan itu tetap menghantuinya. Dia mulai merasa tertekan dengan ekspektasi yang tinggi. Apakah dia siap untuk menghadapi dunia di luar kampus?
Suatu malam, saat Oty terjaga karena sulit tidur, dia memutuskan untuk menulis di jurnalnya. “Aku merasa terjebak dalam perasaanku. Di satu sisi, aku bersemangat untuk berbagi ceritaku, tetapi di sisi lain, aku takut akan penilaian orang lain. Mengapa harus ada rasa takut ini?”
Dia menuliskan setiap perasaan yang melanda, berusaha melepaskan beban emosional yang ada. Dia ingat kembali saat dia berbicara dengan ibunya, saat ibunya memberinya dukungan yang tak ternilai. “Mungkin aku hanya perlu berani, seperti yang diajarkan oleh ibuku.”
Keesokan harinya, Oty memutuskan untuk bertemu dengan penerbit tersebut. Ketika dia duduk di ruang tunggu yang dihiasi dengan poster-poster buku, jantungnya berdebar kencang. Ketika namanya dipanggil, Oty berdiri dan melangkah ke dalam ruangan. Di sana, seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan senyuman hangat.
“Selamat datang, Oty! Senang sekali bisa bertemu denganmu. Kami sangat terkesan dengan bukumu,” kata wanita itu, sambil mengajaknya duduk.
“O-oh, terima kasih. Saya senang bisa di sini,” jawab Oty dengan suara yang sedikit bergetar.
Setelah berbincang tentang isi bukunya, wanita itu mulai berbicara tentang rencana penerbitan. “Kami ingin mengedarkan bukumu ke lebih banyak pembaca. Kami percaya bahwa kisahmu sangat penting dan bisa memberikan inspirasi bagi banyak orang.”
Oty merasa sedikit lega, tetapi keraguan masih menyelimuti pikirannya. “Tapi, bagaimana jika orang-orang tidak suka? Atau jika ada yang mengkritik?”
Wanita itu tersenyum bijak. “Kritik adalah bagian dari perjalanan seorang penulis. Setiap orang memiliki pendapatnya masing-masing, dan itu tidak mencerminkan kemampuanmu. Yang terpenting adalah kamu telah berani berbagi cerita dan memberi suara kepada generasi sandwich.”
Kata-kata itu menggugah semangat Oty. Dia menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang dia, tetapi juga tentang orang-orang yang akan terhubung dengan kisahnya. “Baiklah, saya siap untuk melanjutkan. Terima kasih atas dukungannya.”
Setelah pertemuan itu, Oty merasa seolah beban di pundaknya mulai terangkat. Dia pulang dengan semangat baru dan segera menghubungi Rina dan Dika untuk memberi tahu mereka tentang hasil pertemuan tersebut. “Guys, aku melakukannya! Aku setuju untuk menerbitkan bukuku!”
Rina melompat kegirangan. “Yeay! Aku sudah bilang kamu bisa melakukannya! Kita harus merayakannya!”
Dika juga tersenyum lebar. “Aku bangga padamu, Oty. Sekarang perjalananmu baru saja dimulai!”
Mereka merencanakan perayaan kecil di kafe, tempat favorit mereka. Sambil berbincang-bincang, Oty merasa lebih percaya diri. Dia berbagi lebih banyak tentang proses menulis dan semua keraguan yang dia alami.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, sebuah pesan masuk ke ponselnya dari seorang teman lama. “Hei, Oty! Aku baru saja melihat bukumu di media sosial. Apa benar itu cerita tentang keluargamu? Kau berani banget, lho!”
Oty terdiam sejenak, perasaannya campur aduk. Dia tahu cerita yang dia tulis adalah tentang keluarganya, tentang pengalaman mereka sebagai generasi sandwich. Namun, muncul ketakutan baru—apa pendapat keluarganya tentang bukunya?
Saat malam tiba, Oty merenung di teras rumah. Dia melihat bintang-bintang yang bersinar, namun ada rasa cemas yang menggelayuti hatinya. “Bagaimana jika mereka merasa tidak nyaman dengan apa yang aku tulis? Bagaimana jika ini merusak hubungan kami?”
Keesokan harinya, Oty memutuskan untuk berbicara dengan ibunya lagi. Dia ingin memastikan ibunya tahu tentang isi bukunya. Di dapur, saat ibunya sedang memasak, Oty mengumpulkan keberaniannya. “Bu, aku ingin membicarakan tentang bukuku.”
Ibunya menoleh, tampak khawatir. “Apa ada yang salah, Oty?”
Oty menggelengkan kepala. “Tidak, hanya saja aku ingin kau tahu bahwa cerita ini juga tentang kita, tentang pengalaman kita sebagai keluarga. Aku harap kau bisa memahaminya.”
Ibunya terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Aku menghargai kejujuranmu, Oty. Selama ini, kita selalu berjuang bersama, dan aku yakin orang lain juga akan merasakan hal yang sama.”
Oty merasa lega, tetapi masih ada sedikit keraguan yang tersisa. “Tapi, bagaimana jika ada yang merasa tersakiti dengan apa yang kutulis?”
Ibunya merangkul Oty. “Setiap orang punya pandangan dan perasaan yang berbeda. Yang terpenting adalah niatmu untuk berbagi dan memberi suara. Aku bangga padamu, nak. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu.”
Mendengar kata-kata ibunya, Oty merasa terinspirasi. Dia menyadari bahwa meskipun ada risiko, dia harus tetap berpegang pada impiannya. Dengan penuh semangat, dia kembali ke mejanya dan mulai menulis lagi, bertekad untuk menyelesaikan bukunya dengan hati yang terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)
Novela JuvenilBagaimana jadinya jika seorang gadis berusia 22 tahun menghadapi likunya era Generasi Sandwich di tengah-tengah jaman yang masih menganut sistem kepercayaan tradisi dan jaman digital modernlisasi? Yok ikuti terus kisah Oty gadis yang berjuang demi m...