Jejak Impian

53 4 0
                                    

Setelah perbincangan yang emosional dengan ibunya, Oty merasa seolah sebuah beban telah terangkat dari pundaknya. Dia mulai merencanakan langkah-langkah selanjutnya untuk mengejar mimpinya menulis, sekaligus menjalani pendidikan dengan baik. Setiap hari, Oty berusaha menyeimbangkan waktu antara belajar dan menulis.

Di sekolah, Oty semakin aktif dalam komunitas sastra. Dia bergabung dengan klub penulis dan ikut serta dalam berbagai diskusi tentang buku dan penulisan kreatif. Bersama teman-temannya, dia belajar banyak tentang teknik menulis, membangun karakter, dan menciptakan plot yang menarik. Keberanian Oty untuk berbagi tulisannya dengan orang lain membuatnya semakin percaya diri.

Suatu hari, saat latihan menulis di klub, Lila mendekatinya. “Oty, aku punya ide! Bagaimana kalau kita bikin antologi cerpen dari anggota klub?” Lila berkata bersemangat.

“Ooo, itu keren banget! Tapi kita butuh tema yang menarik,” Oty menjawab, langsung terbawa semangat.

“Kita bisa bikin tema tentang perjalanan dan mimpi,” usul Lila. “Setiap orang bisa menulis cerita pribadi atau fiksi berdasarkan tema itu.”

Oty menyetujui ide tersebut. Dia merasakan energi positif mengalir di antara mereka. Selama beberapa minggu ke depan, mereka bekerja keras untuk mengumpulkan tulisan dari anggota klub. Setiap cerita yang dikirimkan adalah cerminan pengalaman dan impian penulisnya, dan Oty sangat menikmati prosesnya.

Saat malam pengumuman hasil antologi semakin dekat, Oty merasa cemas sekaligus bersemangat. Dia sudah menghabiskan banyak waktu mengedit ceritanya, memastikan semuanya sempurna sebelum dipublikasikan. Di tengah kesibukannya, Oty tetap menyempatkan waktu untuk belajar. Dia tahu pendidikan tetap menjadi prioritas.

Pada malam peluncuran antologi, suasana di ruang komunitas sekolah terasa ceria. Banyak orang tua dan teman-teman datang untuk mendukung para penulis muda. Oty dan Lila berdiri di depan, siap menyambut tamu.

Ketika acara dimulai, Oty merasakan getaran di dalam hatinya. Dia sangat gugup saat MC memanggilnya untuk berbicara. Dengan tekad, Oty melangkah ke podium, berusaha menenangkan jantungnya.

“Selamat malam semuanya! Terima kasih sudah datang untuk merayakan momen istimewa ini bersama kami,” Oty mulai berbicara, suaranya bergetar sedikit.

“Di antologi ini, kami mengumpulkan cerita-cerita tentang perjalanan dan mimpi dari teman-teman kami. Setiap tulisan adalah representasi dari harapan dan perjuangan kami,” Oty melanjutkan, mencuri pandang ke arah ibunya dan Dika yang duduk di barisan depan.

Saat dia memperkenalkan setiap penulis, Oty merasakan kebanggaan yang mendalam. Dia tahu bahwa masing-masing dari mereka memiliki cerita unik dan berharga untuk dibagikan. Ketika Lila mempersembahkan Oty sebagai salah satu penulis teratas, sorakan dan tepuk tangan menggema di ruangan.

“Semoga antologi ini bisa menginspirasi banyak orang untuk mengejar impian mereka,” Oty menutup pidatonya dengan senyum lebar.

Setelah acara selesai, Oty merasa sangat bahagia. Dia melihat orang-orang mengagumi antologi tersebut dan berbagi cerita mereka. Rasa haru membanjiri dirinya saat melihat Dika berlari menghampirinya.

“Kak, aku bangga sama kamu! Ini luar biasa!” Dika berkata sambil melompat-lompat.

“Terima kasih, Dika! Kamu juga harus terus berkarya, ya!” Oty menjawab, mengelus kepala adiknya.

Ketika suasana mereda, Oty dan Lila berbincang tentang suksesnya peluncuran antologi. “Kita harus terus melakukan ini, Oty. Ini baru permulaan!” Lila berkata dengan semangat.

“Tentu! Kita bisa bikin ini menjadi tradisi setiap tahun,” Oty menyetujui sambil membayangkan rencana besar di depan.

Namun, di tengah kebahagiaannya, Oty mulai merasakan ketegangan di rumah. Sejak peluncuran antologi, ibunya tampak lebih cemas. Oty merasa ada yang tidak beres, tetapi dia tidak berani menanyakannya.

Suatu malam, setelah kembali dari kegiatan klub menulis, Oty melihat ibunya duduk di ruang tamu dengan wajah murung. Tanpa pikir panjang, dia mendekati ibunya. “Ma, ada yang bisa Oty bantu?” tanyanya lembut.

Ibunya menghela napas panjang. “Oty, ada beberapa masalah di pekerjaan Mama. Kami mungkin perlu mengurangi pengeluaran bulan ini,” ibunya menjelaskan dengan nada khawatir.

Oty merasa hatinya tercekat. Dia tahu bahwa keluarganya sedang berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan dengan berita bahwa mereka harus mengurangi pengeluaran, dia merasa bersalah karena mengejar mimpinya.

“Ma, kalau ada yang bisa Oty bantu, bilang saja, ya. Oty bisa coba mencari pekerjaan sambilan,” Oty berkata, berusaha menenangkan ibunya.

Ibunya menggelengkan kepala. “Tidak, Nak. Kami tidak ingin kamu mengorbankan pendidikanmu. Yang penting kamu tetap fokus pada sekolah dan mimpimu,” ibunya menjawab.

Oty merasa semakin tertekan. Di satu sisi, dia ingin mengejar impiannya, tetapi di sisi lain, dia merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Dia tidak ingin mengecewakan ibunya, tetapi dia juga tidak bisa menahan hasratnya untuk menulis.

Malam itu, Oty duduk di kamarnya, merenungkan semuanya. Dia merasa terjebak di antara dua dunia: impian yang ingin dikejar dan tanggung jawab yang harus dihadapi. Dalam kebingungan dan keputusasaannya, dia membuka laptop dan mulai menulis lagi. Dia mencurahkan semua perasaannya ke dalam tulisan, berusaha menemukan jalan keluar dari kekacauan ini.

Dengan setiap kata yang ditulisnya, Oty berharap bisa menemukan solusi untuk dilemanya. Dia tahu bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus, tetapi dia bertekad untuk menghadapi semua tantangan ini dengan kepala tegak.

Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang