Dengan langkah mantap, aku masuk ke ruang audisi. Lima juri duduk di depan dengan tatapan serius, siap menilai ide-ide yang akan kutawarkan.
Di sinilah aku, seorang akuntan yang berambisi memperkenalkan CLATAGOR, restoran khas Bandung yang menyajikan menu organik dan ramah lingkungan dengan batagor sebagai produk utama. Masih tahap ide, namun akan kupastikan rencana tersebut akan menjadi kenyataan.
"Periksa koneksi laptop dulu," bisikku pada diri sendiri. Aku membuka laptop dengan hati-hati, hanya untuk menemukan fakta bahwa layar tidak menampilkan apa pun.
Keringat dingin mulai mengucur pelan dari beberapa bagian tubuhku. Perutku bergetar, seakan-akan ada ratusan kupu-kupu di dalamnya yang sedang memaksa untuk keluar.
Aku berusaha sekuat tenaga menekan tombol power pada laptop dan tidak melepaskannya untuk beberapa saat, berharap benda berbentuk persegi panjang yang ada di hadapanku itu segera memperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Sayangnya, semua tindakanku tidak membuahkan hasil. Layarnya masih dalam keadaan hitam.
"Please, jangan sekarang," ucapku lirih dengan suara yang hampir tak terdengar.
Pikiranku perlahan melayang dan membawaku ke kejadian pagi tadi. Ketika aku sedang dalam perjalanan menuju pintu masuk gedung tempat audisi, aku ditabrak oleh seorang pria yang sepertinya dalam keadaan terburu-buru, sama sepertiku.
Niat awalku adalah memaki manusia itu hingga dia tidak sanggup mengucapkan kata-kata balasan. Namun, karena kondisiku yang hampir terlambat—melalui tatapan mata masing-masing— kami menyadari bahwa ada hal lain yang lebih penting untuk segera dilakukan: menuju ruang audisi.
Seingatku, laptopku sempat terhempas keras setelah tabrakan itu. Tidak salah lagi, pria itu adalah penyebab tidak berfungsinya laptopku saat ini.
Tanpa laptop yang berfungsi, aku tidak bisa melakukan presentasi. Tanpa presentasi, statusku akan langsung dinyatakan gagal. Tentu saja aku tidak bisa membiarkan kesempatan ini terlewat begitu saja. Dengan gemetar, aku mengangkat tangan untuk meminta izin ke luar ruangan kepada para juri.
"Silahkan," ucap salah satu juri.
Aku keluar dari ruangan audisi dengan langkah cepat. Kedua bola mataku bergerak, melihat keadaan sekeliling, mencari seseorang yang bisa membantuku. Dan ... 𝑣𝑜𝑖𝑙𝑎! Aku melihatnya: pria yang menabrakku tadi pagi. Dia masih duduk di ruang tunggu.
Tanpa berpikir panjang, aku mendekat dan menarik salah satu lengan pria bermata sipit itu. Dia menoleh dengan terkejut.
"Ikut gua sekarang. Lo harus tanggung jawab!"
"Ta ... tapi kita baru pertama kali bertemu. Saya harus tanggung jawab untuk hal apa?"
"Gua Clarissa. Lo nabrak gua tadi pagi!" ucapku cepat.
Pria itu menunjukkan ekspresi penyesalan di wajahnya. "Saya Renjiro. Maaf sekali. Saya benar-benar terburu-buru tadi pagi."
"Udah, gua nggak butuh maaf lo sekarang. Gua butuh lo buat pinjemin gua laptop dan jadi asisten gua karena gua nggak paham tentang laptop orang lain ...," lanjutku cepat. Aku menjelaskan situasiku padanya dengan singkat.
Renjiro menatapku dengan bingung. "Kamu ingin meminjam laptopku untuk audisi?"
Aku mengangguk cepat. "𝑃𝑙𝑒𝑎𝑠𝑒, gua udah nggak punya pilihan lain. Gua harus mulai audisi secepat mungkin."
Setelah beberapa detik ragu, pria bersuara berat itu mengangguk. "Baiklah, ayo kita kembali ke ruangan audisi."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BEST IN CLASS (SEGERA TERBIT)
RomanceRenjiro Saputra, pemuda blasteran Jepang dan Indonesia yang sangat menyukai game dan bercita-cita memiliki sekolah game sendiri, namun selalu menghadapi tekanan dari ayahnya yang menginginkan Renjiro untuk menjadi seorang dokter. Di sisi lain, ada C...