Chapter 12- Clarissa- Tekad

16 9 6
                                    

Aku duduk di tepi kolam renang hotel, sesekali mencelupkan kaki ke dalam air yang sejuk. Bulan menggantung rendah, memantulkan cahaya lembut ke permukaan, menciptakan kilauan indah. Namun, keindahan itu tak mampu menembus kegelisahan di dalam diriku.

Pergerakan peserta terbatas selama kompetisi, tidak banyak tempat yang bisa kami jelajahi. Oleh karena itu, saat diberikan waktu untuk rehat, terkadang aku mengunjungi kolam renang hotel setelah makan malam. Selama ini, sekadar duduk di tempat ini sudah berhasil membuatku nyaman. Tapi kali ini, suasana tenang ini tak mampu mengusir beban yang membebani pikiranku.

Pikiranku terus berputar, memikirkan tantangan yang menanti dan Renjiro yang saat ini sedang berada di rumah sakit. Biasanya, setelah makan malam, kami sering mengobrol ringan. Tanpanya, malam ini terasa sedikit sepi.

Karena keadaan ayahnya, Renjiro mendapatkan izin khusus untuk syuting di rumah sakit. Walau kondisinya sulit, tim produksi Best in Class tentu tidak memberi keleluasaan tanpa balasan. Penonton menyukai drama keluarga, jadi dia tetap harus melanjutkan syuting.

Menatap air, bayanganku bergetar. Pesan singkat yang kuterima melalui ponsel beberapa saat lalu kembali terngiang: “Ingat untuk membayar cicilan hutang orang tuamu bulan ini.”

Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan beban di dadaku semakin berat. Sejak bisnis keluargaku bangkrut, kami terjebak dalam utang yang mengintai setiap bulan.

“Clarissa?” Suara Ryan memanggilku. Aku menoleh dan melihatnya berdiri di tepi kolam, wajahnya diterangi cahaya remang-remang. “Lo ngapain di sini?”

Aku berusaha tersenyum, meski tidak sepenuh hati. “Merenung. Mau ngapain lagi?”

Ryan duduk di sampingku, kaki menggantung di atas air. “Tadi di ruang meeting, gua lihat lo jago banget menganalisa laporan keuangan. Gua kagum sama cara lo menangkap kejanggalan itu. Gimana lo bisa secepat itu?”

“Gua akuntan, Ryan. Udah biasa menganalisa laporan. Gua cuma ngelakuin hal yang udah sering gua lakuin,” jawabku, berusaha percaya diri meski kecemasan masih menghantui.

Ryan mengangguk, matanya bersinar. “Lo keren. Kemampuan lo bakal bawa tim kita jauh.” Ada nada kekaguman yang tak bisa aku abaikan. Rasanya lebih dari sekadar rasa hormat.

“Ngomong-ngomong, kenapa lo ikut Best in Class?” tanyaku, ingin tahu lebih dalam.

Dia menatapku serius. “Gua pengen bikin perbedaan. Keluarga gua peduli sama lingkungan. Bokap gua kerja di NGO pelestarian alam, sedangkan nyokap gua dosen yang ngajar Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dari kecil, gua diajarin pentingnya menjaga Bumi.”

“Jadi itu yang jadi motivasi ide bisnis lo?” tanyaku, tertarik.

“Yah, gua pengen bikin marketplace untuk produk daur ulang,” jelasnya. “Gua mau menghubungkan desainer dan pengrajin yang bikin furnitur dan aksesori dari bahan daur ulang. Selain dapat untung, gua juga pengen bangun kesadaran tentang pentingnya pengelolaan lingkungan berkelanjutan.”

Mendengar itu, aku terkesan. “Menarik. Ide kita sama-sama fokus ke lingkungan.”

Ryan melanjutkan, “Gua percaya, fashion dan desain interior bisa mengubah cara orang berpikir tentang konsumsi. Kita harus mengedukasi konsumen. Bahan daur ulang bisa jadi pilihan stylish dan ramah lingkungan.”

Ketika dia berbicara, ada sesuatu di matanya yang membuatku merasa istimewa. Dia tampak ragu sejenak, seolah ingin mengatakan lebih.

“Clarissa, gua ....” Dia terdiam, menatapku dalam-dalam. Ada keraguan di wajahnya. “Gua ... cuma mau bilang, lo bener-bener inspiratif. Kadang gua berharap bisa lebih dekat sama lo.”

Hatiku berdebar. Sebelum aku bisa merespon, dia melanjutkan, “Tapi, kita di sini untuk kompetisi. Gua nggak mau ganggu.”

Senyumnya menghangatkanku, tetapi ada kesedihan yang mengikutinya. “Gua harap lo tahu, gua mau berkompetisi secara sehat.”

Saat dia berdiri untuk pergi, aku memanggilnya. “Ryan, makasih. Gua juga bakal berjuang lebih keras biar nggak kalah.”

Dia mengangguk, senyumnya sedikit dipaksakan, meninggalkanku dengan pikiran yang lebih jelas. Saat malam semakin tenang, tekadku menguat. Aku harus melawan rintangan demi keluargaku.

Memandang langit berhiaskan bintang, aku berbisik kepada diri sendiri, “Fokus, Cla.”

Bersambung

BEST IN CLASS (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang