Chapter 7- Renjiro- Percakapan di Bawah Malam Berbintang

26 13 27
                                    

Proses penjualan selesai kala senja menyapa. Seluruh peserta berkumpul di tepi pantai, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bercengkrama dengan sesama peserta; ada yang memilih untuk menyendiri; ada pula yang mencoba untuk dekat dengan tim produksi.

Untuk saya sendiri, sebagai perwakilan tim, saat ini saya sedang menyetorkan hasil penjualan kerupuk kemplang milik kelompok saya ke tim produksi acara. Sambil memeriksa catatan, salah satu anggota tim produksi menatap saya dengan penuh selidik. 

“Jadi, Renjiro, seberapa dekat kamu dengan Clarissa?” tanyanya, mencoba mengorek cerita di balik layar. 

Saya menyadari niatnya untuk menambah drama pada tayangan. Dengan santai, saya menjawab, “Ah, Mbak Hani. Kami hanya teman baik, Mbak. Tidak lebih. Lagipula fokus kami di sini adalah kompetisi.” 

Saya berharap jawaban itu sudah cukup untuk meredam keinginan tim produksi untuk menciptakan drama di antara kami. Mungkin benar saya menyukai Clarissa, tapi saya tidak ingin hal tersebut membuat hari-hari kami yang tersisa di kompetisi menjadi canggung karena settingan tim produksi.

Selesai menyetorkan uang, seluruh peserta dipulangkan kembali ke hotel. Tidak ada syuting malam ini, peserta dibebaskan untuk berkegiatan sesuai keinginan masing-masing.

***

Sesampainya di hotel, saya langsung menuju lift tanpa banyak berpikir. Setelah berhari-hari di tempat ini, saya sudah merasa familiar dengan suasananya. Setibanya di kamar, saya meletakkan tas di meja dan segera menuju kamar mandi.

Setelah mandi, saya mengeringkan tubuh dengan handuk dan berdiri di depan cermin. Dengan penuh perhatian, saya memilih kemeja gelap dan celana chino yang nyaman, lalu merapikan rambut. Merasa sudah cukup nyaman dengan tampilan sekarang, saya bergerak menuju ke arah tempat saya menyimpan ponsel.

Saat layar digerakan, terlihat banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Papa. Namun, saya tidak peduli; saya sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan sendiri. Dengan semangat baru, saya melangkah menuju pintu, menutup pintu kamar dengan hati-hati, kemudian bergerak menuju lift yang akan membawa saya ke restoran hotel.

***

Restoran hotel dipenuhi cahaya redup yang lembut, menciptakan suasana hangat yang menenangkan. Aroma makanan laut yang tersaji di meja menyeruak ke udara, membangkitkan hasrat para pengunjung. 

Tawa dan obrolan mengalir di antara para peserta Best in Class, namun perhatian saya tak bisa lepas dari sosok Clarissa. Pesonanya seperti magnet, menarik saya untuk menjelajahi lebih dalam.

Setelah menyelesaikan makan malam, saya memberanikan diri untuk mengajak Clarissa berbincang di balkon hotel. Tanpa ragu, ia mengangguk.

Kami berdiri berdampingan, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Jarak di antara kami terasa begitu tipis.

“Lihat bintang-bintang itu,” saya mencoba mencairkan suasana. “Kadang saya merasa, jika kita berusaha, kita juga bisa meraihnya.”

“Lo ngomong apa, sih, Ren?” Clarissa tertawa kecil, suaranya seperti melodi di tengah hening malam. “Kenapa jadi bahas bintang?”

Saya tertegun, merasakan canggung yang menyelimuti. Aneh, biasanya saya lebih percaya diri saat berhadapan dengannya. Malam ini, berbagai hal seolah-olah menuntut lebih.

“Aah ... jujur, saya juga bingung dengan apa yang saya ucapkan tadi,” ucap saya, setiap kata terasa bergetar.

Clarissa tersenyum, mata cokelatnya berkilau di bawah sinar bulan. “Lo nggak naksir gua, kan, Ren? Kita ini saingan, loh. Dana bisnisnya cuman dikasih ke satu orang. Ingat, kita lagi dalam kompetisi.”

"Mungkin... iya," saya menjawab, suara saya hampir hilang ditelan angin.

"Eh?" Clarissa tertegun, tatapan kami saling mengunci.

"Mungkin benar kita saingan, tapi saya tidak merasa perlu bersitegang," balas saya, berusaha menutupi makna yang lebih dalam dari kata-kata saya.

“Yap. Gua juga berharap kita bisa bersaing secara sehat,” Clarissa menjawab, namun di mata kami ada sesuatu yang lebih dari sekadar kompetisi.

Malam itu, langit menjadi saksi bisu dari perasaan saya yang semakin menguat. Rasanya, bintang-bintang di atas seakan-akan tertawa terbahak-bahak melihat betapa konyolnya saya malam ini.

***

Gemintang sudah berganti tugas dengan mentari. Proses syuting eliminasi perdana dimulai. Para peserta berdiri di depan juri-juri yang duduk dengan ekspresi serius. Terdapat tiga juri tetap, dan satu juri tamu. Saya bisa merasakan ketegangan di udara, terutama saat kami semua memperkenalkan diri.

Ketika juri tamu diperkenalkan, saya melihat wajah Clarissa berubah, tampak terkejut dan cemas. Dia menghindari tatapan, jelas merasa tidak nyaman. 

Saya merasakan keanehan itu semakin menguat saat Clarissa berbisik, “Please, jangan dia ….”

Entah apa yang terjadi, yang jelas, saya memahami bahwa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.

Bersambung

BEST IN CLASS (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang