Chapter 3- Renjiro- Pertemuan Kembali

34 18 33
                                    


Dengan perasaan was-was, saya menunggu di ruang audisi. Jujur saja, saya sedikit ragu apakah presentasi bisnis yang saya buat bisa memenuhi harapan para juri atau tidak setelah melihat kegagalan yang dialami oleh seorang wanita yang saya bantu sebelumnya.

Nama wanita itu Clarissa. Berdasarkan perkiraan saya, tingginya sepertinya 175 cm. Kulitnya kuning langsat dengan tubuh langsing dan perawakan khas Indonesia.

Pertemuan kami diawali dengan tabrakan yang tanpa sengaja pagi tadi. Tabrakan yang membuat laptop wanita itu rusak sehingga membuatnya membutuhkan bantuan saya.

Jika saya boleh jujur, sepertinya saya memahami alasan kenapa para juri tidak meloloskan wanita itu. Ide bisnis yang dia usung cukup menarik, hanya saja, dia tidak memberikan rincian yang cukup tentang bagaimana dia akan menarik pelanggan atau bersaing dengan restoran lain di pasar yang kompetitif.

Ketika juri bertanya tentang strategi pemasaran dan target demografis, Clarissa hanya menjawab secara umum tanpa memberikan data atau rencana konkret. Keterampilan komunikasi dan pemahaman tentang aspek-aspek penting dalam bisnis adalah kunci, dan itulah yang membuatnya tidak lolos.

Mungkin dewan juri memperhatikan poin tersebut sehingga membuatnya gagal lolos ke babak selanjutnya. Karena seorang pebisnis sejati, harus memiliki kecakapan dalam hal komunikasi dan pemahaman terkait hal yang perlu disampaikan kepada investor.

Ah, maaf. Bukankah saya sudah berbicara panjang lebar tanpa memperkenalkan diri sebelumnya? Nama saya Renjiro Saputra. Mungkin cara penyampaian saya sedikit formal di mata kalian, tetapi memang seperti inilah cara saya berbicara sehari-hari.

Saya menghabiskan sebagian besar kehidupan saya di Tokyo—saya tinggal bersama Kakek dan Nenek di sana—karena kedua orang tua saya menginginkan saya bersekolah di Jepang. Barulah untuk perguruan tinggi, saya diminta untuk kuliah di Indonesia. Oleh karena itu kosakata bahasa Indonesia saya sangat terbatas dan membuat saya terbiasa menggunakan bahasa formal.

Papa memiliki harapan tinggi agar saya bisa mengikuti jejaknya menjadi seorang dokter. Akan tetapi, saya merasa pekerjaan tersebut sangat tidak cocok untuk saya tekuni. Saya lebih mencintai bermain game dan ingin memiliki bisnis terkait game milik saya sendiri.

Waktu berlalu, akhirnya panitia memanggil saya untuk masuk ke ruang audisi. Baiklah. Inilah saatnya saya memperjuangkan impian saya.

***

Saya melangkah masuk ke ruang audisi. Dengan semangat, saya mempersiapkan segala sesuatunya, berusaha untuk tidak memikirkan kegagalan Clarissa. Setelah persiapan selesai, salah satu juri meminta saya memulai presentasi.

"Silakan, Renjiro. Manfaatkan waktu yang diberikan sebaik mungkin," ucap salah satu juri sembari tersenyum.

Saya mulai menjelaskan ide bisnis saya: Renjiro Gaming Academy. Sebuah sekolah yang dibuat untuk mendidik anak-anak yang bercita-cita menjadi seorang profesional di bidang game. Berbeda dari sekolah biasa pada umumnya, sekolah yang akan saya buat mengusung konsep sociopreneurship.

"Sociopreneurship adalah gabungan dari isu sosial dan kewirausahaan. Saat pulang ke Indonesia, saya melihat banyak anak-anak putus sekolah karena masalah biaya. Melalui akademi ini, saya ingin sebagian keuntungan yang saya dapat, nantinya disumbangkan untuk membantu biaya pendidikan anak-anak kurang mampu."

Juri terlihat antusias saat saya menjelaskan. Saya memperlihatkan slide presentasi yang menampilkan rencana kurikulum dan fasilitas yang akan tersedia. "Kami tidak hanya mengajarkan teknik bermain game, tetapi juga membekali mereka dengan soft skill yang diperlukan untuk berkarir di industri ini. Selain itu, ada juga mata pelajaran seperti Matematika, Bahasa Asing, dan ilmu-ilmu lainnya yang diajarkan di sekolah umum."

Setelah saya menyelesaikan presentasi, salah satu juri, seorang pria berambut abu-abu, mengangkat tangan. "Renjiro, ide ini sangat menarik. Namun, bagaimana kamu akan memastikan bahwa siswa yang lulus dari akademi kamu dapat bersaing di industri yang sangat kompetitif ini?"

Saya mengangguk, siap menjawab. "Kami akan bekerja sama dengan perusahaan game lokal dan internasional untuk memberikan pelatihan langsung serta magang. Dengan begitu, siswa kami tidak hanya mendapatkan teori, tetapi juga pengalaman nyata."

Juri wanita dengan kacamata melanjutkan, "Dan bagaimana dengan pemasaran? Bagaimana kamu berencana menjangkau siswa potensial?"

"Saya akan menggunakan kombinasi media sosial dan kemitraan dengan sekolah-sekolah lokal. Kami juga akan menyelenggarakan turnamen game untuk menarik perhatian dan membangun komunitas."

Setelah diskusi yang mengasyikkan, juri pria berambut abu-abu menatap saya. "Kami sangat terkesan dengan presentasi kamu. Namun, ada beberapa aspek yang perlu kamu pertimbangkan lebih lanjut sebelum kami membuat keputusan."

Para juri meminta waktu untuk berdiskusi sebentar. Beberapa saat kenudian, salah satu juri mulai menyampaikan hasil keputusan mereka.

"Selamat, Renjiro. Kamu lolos ke babak berikutnya. Tiga minggu lagi kita akan memulai proses syuting Best in Class episode perdana. Persiapkan diri dengan baik."

Mendengar keputusan itu, saya tidak bisa menahan diri untuk melompat kegirangan. Ini adalah langkah besar menuju impian saya.

***

Arlorji digital saya sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Saya memutuskan untuk pulang ke rumah setelah seharian menghabiskan waktu dengan bermain game di hotel. Sampai di depan pintu rumah, seorang asisten rumah tangga bernama Imah—sosok wanita berumur 30an—membukakan pintu.

"Papa dan Mama masih di rumah sakit?"tanyaku pada Imah.

"Iya, Mas. Masih belum pulang. Mas Renji mau saya siapkan makan malam atau mau langsung istirahat?"

"Saya sudah makan, Mbak. Saya langsung istirahat saja."

Raut wajah Mbak Imah memperlihatkan dengan jelas perasaannya saat ini: simpati yang mendalam. Saya tidak ingin ambil pusing, memang seperti inilah keluarga saya. Kedua orang tua sibuk bekerja, sementara anaknya sering kabur dari rumah setelah bertengkar dengan papanya.

***

Tiga minggu berlalu. Waktunya syuting perdana Best in Class. Pada musim kedua ini, acara akan dilaksanakan di kota Tanjung Pandan, Belitung. Seluruh peserta terpilih akan dikarantina di sana.

Perjalanan dari daerah asal ke Belitung ditempuh oleh masing-masing peserta secara terpisah. Namun, peserta yang berasal dari daerah yang sama biasanya akan berangkat ke tempat tujuan menggunakan pesawat yang sama.

Dan percayakah kalian jika saat ini, orang yang duduk tepat di sebelah saya adalah Clarissa, wanita yang saya temui saat audisi sebelumnya. Entah apa yang menyebabkan kami selalu bertemu.

"Liburan ke Belitung?" tanya saya. Mencoba membuka percakapan.

"Nggak, kita bakal bersaing di acara yang sama."

"Maksudnya?"

"Apalagi kalau bukan Best in Class."

Saya cukup terkejut mendengar perkataan wanita itu. Bagaimana bisa? Bukankah dia sudah gagal di tahap audisi sebelumnya?"

Bersambung

BEST IN CLASS (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang