Chapter 13- Renjiro- Kesepakatan

11 6 4
                                    

Saya duduk di ruang perawatan rumah sakit, dikelilingi bau antiseptik yang menyengat dan suara mesin medis yang berdengung lembut. Di ranjang, Papa terbaring dengan wajah pucat, kerutan di dahinya semakin mendalam, seolah mengisahkan banyak tahun yang telah berlalu. Cahaya neon dari lampu langit-langit memantulkan bayangan samar di wajahnya, menciptakan nuansa kelam dalam momen itu. Papa dirawat karena tekanan darah tinggi yang sudah lama dideritanya, membuatnya pingsan setelah malam yang melelahkan.


"Renjiro," suara Papa mengalir lembut, namun tegas, menembus keheningan. "Apakah kamu yakin dengan keputusanmu ikut kompetisi itu?"

Saya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan jantung yang berdebar. "Ya, Papa. Ini kesempatan saya. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa sukses di bidang ini."

Dia mengangguk perlahan, tetapi keraguan di matanya tak bisa disembunyikan. "Kamu tahu betapa kerasnya dunia luar, 'kan? Kamu harus siap menghadapi kenyataan. Masa depanmu bisa jadi taruhan jika kamu tidak serius."

Tatapan saya menempel pada matanya, menyadari seberapa besar harapan dan ketakutan berpadu dalam diri kami. "Saya tahu, Papa. Tapi saya juga ingin menunjukkan bahwa saya bisa menciptakan sesuatu yang berarti."

Dia terdiam, seakan meresapi kata-kata saya. "Jika kamu kalah, apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu siap untuk mengorbankan semuanya dan melanjutkan kuliah di bidang kedokteran yang sempat kamu tunda?"

Pertanyaan itu seperti peluru yang menghantam hati saya. Saya menunduk, menelan ludah, merasakan gelombang ketidakpastian. "Saya… saya akan berusaha sekuat mungkin. Jika saya kalah, saya akan mengikuti permintaan Papa."

Ruangan kembali hening, hanya suara detak jam yang berdetak lambat menemani. "Tapi saya ingin kesempatan untuk berjuang," saya melanjutkan, dengan semangat yang tak ingin padam. "Saya percaya saya bisa membuat perbedaan."

Wajah Papa perlahan mereda, ekspresi tegangnya sedikit melunak. "Baiklah. Papa akan memberi kamu kesempatan ini. Tapi ingat, kamu harus jadi pemenang. Tidak ada jalan kembali jika kamu kalah."

Saya mengangguk, merasakan beban berat di pundak, seolah-olah harapan dan tanggung jawab terikat erat. "Saya berjanji, Papa. Saya akan melakukan yang terbaik."

***

Setelah beberapa hari perawatan, Papa akhirnya diperbolehkan pulang. Dia memutuskan kembali ke Jakarta. Saya menyarankan kepadanya untuk beristirahat sejenak, memanfaatkan cuti kerja yang sudah diambilnya demi menyusul saya ke Belitung.

Kini, saya telah kembali ke lokasi syuting Best in Class. Saat ini, saya dan tim sedang berada di belakang panggung, menunggu giliran untuk presentasi.

Dari layar yang tergantung di belakang panggung, saya bisa melihat Clarissa dan timnya bersiap. 

Suara Laura, pembawa acara, menggelegar dengan antusiasme, "Sekarang, kita akan mendengarkan presentasi dari tim Clarissa!"

Clarissa, dengan aura percaya diri, tampak bersemangat. Dia berdiskusi dengan anggota timnya, gestur tangan yang menggambarkan semangat dan ide-ide briliannya. Meskipun kami berada di tim yang berbeda, saya merasakan kebanggaan membara dalam hati.

Saat juri mulai mengajukan pertanyaan, wajah Clarissa mendadak tegang. Namun, sepertinya dia berhasil menguasai keadaan kembali. Clarissa mengambil napas dalam-dalam dan mulai mengeluarkan data kunci, wajah juri berubah, ketertarikan mereka mulai terlihat.

Ketika juri mengajukan pertanyaan yang semakin tajam, saya merasakan kegelisahan merayap di dalam diri saya. Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya posisi Clarissa saat ini. Ketika dia bersiap untuk menjawab, tiba-tiba seorang pria dari tim produksi naik ke atas panggung, membisikan sesuatu ke telinga Laura.

"Sebentar! Proses syuting harus dihentikan sementara. Polisi sedang menuju ke mari!" tegas Laura, suaranya menggema di seluruh ruangan.

Bersambung

BEST IN CLASS (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang