Chapter 4- Clarissa- Masa Lalu

34 16 31
                                    


Bandar udara H.A.S Hanandjoeddin menyambutku dengan hangat. Begitu pesawat mendarat, perasaan campur aduk menjalari diriku. Semangat baru menyeruak, bercampur dengan sedikit rasa gugup.

Meskipun ada sedikit rasa tidak percaya diri yang menghampiri, namun aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kompetisi kali ini. Nasihat lama mengatakan bahwa kesempatan tidak akan datang dua kali. Karena itu, aku yang bisa terpilih menjadi peserta Best in Class setelah ada satu peserta yang mengundurkan diri ini, tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.

Saat melangkah keluar dari bandara, mataku melirik ke arah Renjiro. Pria itu tampak penuh ketulusan. Dari perbincangan kami selama di pesawat, aku bisa menyimpulkan bahwa dia merupakan orang baik. Hanya saja, cara bicaranya terkadang terlalu kaku. Yah ... mungkin itu ciri khasnya. Selama itu tidak merugikanku, aku tidak terlalu mempermasalahkannya.

"Mau berangkat ke penginapan bareng?" tawarku.

"Baiklah, saya pesan taksi online," katanya sambil mengeluarkan ponsel.

Sembari menunggu taksi, aku mengamati sekeliling. Cuaca cerah, sinar matahari menerpa pepohonan yang rimbun. Rasanya seperti berada di lukisan hidup, jauh dari hiruk-pikuk kota besar. Udara sekitar terasa benar-benar menyegarkan. Meskipun bukan untuk berlibur, aku merasa beruntung bisa datang ke tempat ini.

Setelah taksi tiba, Renjiro membukakan pintu untukku. "Silakan masuk," ujarnya. Ketika tangan kami bersentuhan secara tidak sengaja saat meraih pegangan pintu, sebuah kilatan rasa menjalar, mengubah keadaan yang semula biasa saja menjadi sedikit canggung.

Di dalam mobil, Renjiro berusaha memecah kebisuan. "Apa yang kamu harapkan dari kompetisi ini?" tanyanya, matanya menatapku penuh perhatian.

Aku tersenyum, mengenang semua usaha yang telah kulakukan. "Pengen buktin kalau gua layak, sih. Meskipun peserta pengganti, gua bakal nunjukkin seberapa pantas gua berada di kompetisi ini," kataku, berusaha menutupi keraguan.

Dia mengangguk. Tak lama kemudian, suara notifikasi dari ponsel kami berdua menginterupsi obrolan. "Oh, ada pemberitahuan," katanya, membuka ponsel. "Seluruh peserta yang lolos sudah diumumkan."

Jantungku berdebar kencang. Kami membaca pesan itu secara bersamaan, dan mataku melebar ketika melihat daftar nama. Salah satu nama menarik perhatianku. "Ah, jangan dia ....," gumamku.

"Ada apa?" tanya Renjiro, melirik ke arahku.

"Ada salah satu peserta yang gua kenal. Bagian dari kenangan buruk yang pengen gua lupain," jawabku datar.

Renjiro menatapku serius. "Maksudnya?"

Aku tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala. Kami melanjutkan perjalanan, namun suasana di dalam taksi terasa lebih berat dari sebelumnya.

Setelah menghabiskan kurang lebih 45 menit perjalanan, taksi berhenti di depan sebuah resort megah yang akan menjadi tempat kami menginap selama kompetisi: Sheraton Belitung Resort. Arsitekturnya modern dengan sentuhan tropis, dikelilingi pepohonan hijau yang rimbun dan menyejukkan. Taman kecil di depan resort dihiasi bunga-bunga cerah yang beraneka warna, memberikan nuansa ceria dan menyambut kami dengan keharuman alami yang menyegarkan.

Fasad bangunan menampilkan detail arsitektur yang elegan, sementara desainnya menyatu harmonis dengan alam sekitar. Suara deburan ombak dari pantai terdekat menambah suasana damai, membuatku merasa seolah-olah sudah tiba di tempat yang sempurna untuk bersantai. Jujur saja, aku kagum dengan kemampuan penyelenggara Best in Class dalam memilih lokasi.

Renjiro segera turun dan membukakan pintu untukku. "Mari kita ambil barang-barangmu," katanya, menawarkan tangan untuk membantuku keluar.

Saat kami berjalan ke bagasi, Renjiro dengan sigap membantu menurunkan koperku yang berat. "Banyak sekali barang yang kamu bawa," dia menggoda, wajahnya ceria.

"Namanya juga cewek," balasku sambil tertawa kecil.

Setelah semua barang diturunkan, kami berjalan ke tempat resepsionis berada. Perasaan tidak nyaman perlahan muncul saat aku melihat sosok di ujung lobi: seorang wanita dengan ekspresi angkuh yang sudah sangat aku kenal. Ketika mata kami bertemu, rasa sakit yang menusuk di dadaku membuatku terdiam sejenak.

Menyadari kehadiranku, wanita itu melangkah mendekat, senyumnya yang lebar membuatku benar-benar muak.

"Clarissa, udah lama nggak ketemu, yah?" sapa wanita itu dengan nada yang membuatku merinding. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti serangan, membuat jangtungku menaikkan intensitas debarannya.

Hawa panas perlahan menjalar ke sekujur tubuhku. Napasku menjadi berat, seolah-olah ada sesuatu yang mencekik leher. Pertama kalinya dalam hidup, aku ingin melarikan diri-atau bahkan melemparkan orang ini jauh-jauh dari pandanganku. Semua kenangan buruk yang kuharap bisa terlupakan kini kembali menghantui, dan harapanku hanya satu: semoga Renjiro tidak menyadari betapa terguncangnya aku saat ini.

Bersambung

BEST IN CLASS (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang