Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, saya dan Clarissa akhirnya tiba di hotel tempat kami akan menjalani karantina untuk kompetisi Best in Class. Tak pernah terpikir sebelumnya bahwa kami akan bertemu lagi. Melihatnya di sini, jujur saja, entah mengapa saya merasa senang. Meskipun di satu sisi, itu berarti kami harus bersaing.
Begitu melangkah ke lobi, seorang wanita mendekati kami. Senyumnya terlihat palsu, dan nada suaranya menusuk saat ia menyapa Clarissa.
"Clarissa, udah lama nggak ketemu, ya?"
Clarissa tampak kaku. "Kayla...," jawabnya singkat, matanya menyiratkan ketidaknyamanan yang mendalam.
Kayla mengerling, seolah menikmati momen itu. "Iya, ini gua, Kayla. Orang yang lo hancurin hidupnya beberapa tahun lalu." Suaranya menggigit, penuh nada merendahkan. "Tapi tenang, sekarang gua yakin hidup lo yang bakal hancur."
Saya melihat Clarissa menahan napas, wajahnya menegang. "Lo hancur bukan salah gua, Kay. Itu semua karena pilihan lo sendiri," jawabnya, suaranya bergetar, tetapi ada keberanian yang bersinar di matanya.
Kayla tersenyum lebar, tetapi matanya justru menunjukkan kepuasan yang menakutkan. "Terserah. Yang jelas, gua bakal pastikan hidup lo nggak akan tenang selama di kompetisi ini."
Ketegangan menggantung di udara, dan saya merasa perlu melindungi Clarissa dari serangan itu. "Sudah, kita perlu ambil kartu kamar kita," kataku, berusaha mengalihkan perhatian.
Clarissa mengangguk, tetapi saya bisa merasakan betapa berat beban emosional yang dia bawa.
Saat kami berjalan menuju resepsionis, Clarissa menghela napas panjang. "Itu Kayla," katanya pelan. Mulai menceritakan siap wanita yang kami temui sebelumnya. "Teman kuliah yang dulu dekat, tapi hubungan kami hancur karena satu masalah."
"Apa yang terjadi?" tanya saya, ingin tahu lebih dalam.
"Dia orang yang manipulatif, Ren," jawab Clarissa, nada suaranya menunjukkan betapa dalamnya rasa sakit itu. "Gua harap dia nggak ngincar lo juga setelah pertemuan tadi. Kalau cuman gua sendiri, sih, nggak terlalu peduli sama dia."
Kami tiba di resepsionis. Nama kami sudah didaftarkan oleh tim produksi, sehingga kami hanya perlu mengkonfirmasi identitas kami menggunakan tanda pengenal.
Clarissa mendapatkan kunci untuk kamarnya, sementara saya mendapatkan kunci untuk kamar terpisah.
Setelah menerima kunci, saya menemani Clarissa menuju kamarnya terlebih dahulu untuk mengantarkan barang-barangnya. Setelahnya, barulah saya menuju ke kamar yang akan saya tempati selama kompetisi.
Begitu saya masuk ke kamar, saya menyandarkan punggung ke dinding dan menutup mata sejenak. Suara ombak di luar membawa sedikit ketenangan, kebetulan kamar saya menghadap langsung ke laut.
Mendadak, saya teringat momen ketika tangan saya dan Clarissa bersentuhan sebelumnya. Entah dari mana datangnya, ada getaran yang menyeruak di dada saya saat kulit kami bertemu. Sebuah perasaan aneh menjalar, membuat jantung saya berdebar tidak karuan. Mungkinkah saya? Ah, tidak mungkin. Benar-benar tidak mungkin.
***
Malam harinya, saya melangkah menuju ruang pertemuan, siap untuk pengenalan awal terkait proses syuting. Begitu tiba, saya mendapati ruangan sudah dipenuhi peserta lain. Melirik arloji digital di pergelangan tangan, saya menghela napas lega; untungnya, saya tidak terlambat.
Setelah beberapa saat, pengarahan dimulai. "Selamat datang di Best in Class! Kami sangat senang bisa melihat semua ide-ide brilian yang akan dibawa ke sini," kata pengarah acara dengan semangat yang menular.
Setelah penjelasan singkat, dia meminta semua peserta untuk memperkenalkan diri.
Kim Ryan, pria berambut cokelat dengan mata biru cerah, berdiri pertama. Dengan suara beratnya yang mantap dan lugas, ia memperkenalkan ide bisnisnya: sebuah marketplace untuk produk daur ulang kreatif.
Selanjutnya, Kayla bangkit dan menunjukkan betapa percaya dirinya dia dengan ide bisnisnya. "Saya ingin mendirikan klinik kecantikan yang khusus menggunakan bahan-bahan organik dan ramah lingkungan," katanya. Saya melihat Clarissa di sudut ruangan, menggigit bibirnya, jelas tampak tidak nyaman dengan perhatian yang diterima Kayla.
Setelah perkenalan selesai, pengarah acara menjelaskan rencana syuting. "Proses syuting dimulai tiga hari lagi, dan kami akan mendukung pengembangan ide kalian. Tolong persiapkan diri kalian untuk challenge pertama. Kami akan memberikan kalian waktu untuk saling mengenal lebih dalam terlebih dahulu. Ingat, pemirsa sangat suka dengan bumbu-bumbu drama. Setidaknya, tolong buat acara ini menjadi lebih menarik."
Suasana mulai berubah, peserta berbincang, bersemangat membahas ide-ide mereka. Staf produksi bergerak lincah di sekitar ruangan, memastikan semua peralatan siap dan kamera diuji. Namun, saya menangkap kerisauan di wajah Clarissa. Tanpa ragu, saya mendekatinya.
"Kalau kamu butuh waktu, kita bisa keluar sebentar," tawar saya, berharap bisa memberinya ruang.
"Gua baik-baik aja, Ren. Trims," jawabnya, tetapi nada suaranya menunjukkan kebingungan.
Setelah briefing berakhir, saya merasa perlu mengambil napas sejenak. Ketika melangkah keluar, mata saya menangkap sosok Kayla yang diam-diam meninggalkan pertemuan. Rasa curiga mulai merayap dalam pikiran saya.
Insting saya mendorong untuk mengikutinya. Dengan langkah pelan dan hati-hati agar tidak mengeluarkan suara, saya mengikuti Kayla. Dia berhenti di sudut gelap, dan mulai berbicara melalui ponselnya, suaranya rendah namun tajam.
"Halo, Sayang. Kamu beneran bisa bantu aku, 'kan? Terserah cara apa yang mau dipakai. Yang jelas, aku mau Clarissa dieliminasi pertama kali," ungkapnya dengan nada manja, terasa sekali dibuat-buatnya.
Jantung saya berdegup kencang mendengar kata-kata itu, rasa marah dan khawatir menggelora dalam diri. Dengan langkah tegas, saya berbalik dan kembali ke ruangan briefing.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
BEST IN CLASS (SEGERA TERBIT)
RomanceRenjiro Saputra, pemuda blasteran Jepang dan Indonesia yang sangat menyukai game dan bercita-cita memiliki sekolah game sendiri, namun selalu menghadapi tekanan dari ayahnya yang menginginkan Renjiro untuk menjadi seorang dokter. Di sisi lain, ada C...