22 Oktober 2024
03; "Binar tuli."
Jeng N."Sejak kapan kamu mengambil keputusan tanpa meminta persetujuan Mas?"
"Romo bilang kamu akan menikah dengan Adyatama Sapta. Kamu tahu siapa dia? Sekalipun dia teman Wira, Mas nggak segila itu mengizinkan kamu menikah dengan laki-laki nggak punya harga diri seperti dia."
Hardja, anak laki-laki pertama Oetomo Soedibja tengah memberi kecaman kepada adik perempuan satu-satunya sekaligus si bungsu Soedibja. Pria itu berdiri di belakang Binar yang tengah asyik menyesap teh hijau seraya menonton salah satu series netflix di smart TV.
"Binar," panggil pria itu, yang tak mendapat sahutan dari Binar.
Hardja mendekat, memastikan bahwa perempuan itu mendengar semua ucapannya. "Denayu Binar," kali ini Hardja menyebut nama yang selalu berhasil membuat Binar menoleh kepadanya.
Namun reaksi Binar masih sama saja. Diam di tempat seraya memegang gagang cangkir berisikan teh hijau kesukaanya. Matanya menatap lurus pada tayangan series yang dia putar.
Lalu ketika tangan Hardja menyelipkan helaian rambut Binar ke belakang telinga, barulah pria itu menyadari jika Binar sedang tidak menggunakan alat bantu dengar. Dan sentuhan tiba-tiba itu berhasil mengejutkan Binar, mengalihkan atensi Binar dari tontonannya.
Ketika mendapati Hardja menjulang tinggi di belakangnya, Binar bersuara, "Mas Hardja?"
Rahang Hardja mengetat, terlihat amarah yang ingin meledak di sana. "Ikut Mas."
Hardja sadar betul Binar tidak mampu mendengar ucapannya. Tapi perempuan itu pasti memahami maksudnya. Ekspresi marahnya sudah menggambarkan semua, dan seharusnya Binar bersiap untuk menjelaskan semua agar amarahnya bisa teredam, setidaknya.
Langkah kaki Hardja begitu lebar, terasa cepat menjangkau ruangan terdekat yang bisa menjadi tempat aman untuk Hardja berbincang dengan Binar. Pria itu tak memperdulikan Binar yang tertinggal di belakang dan tengah melangkah cepat agar mampu mengimbangi langkah tegap Putra tertua, Prasojo Hardja Djanu Soedibja.
Hardja memasuki ruang theater, yang menurutnya menjadi tempat paling aman untuk keduanya berbincang, tanpa adanya pantauan para pekerja di sini. Pria itu menunggu di ambang pintu, mengamati Binar yang sedang mempercepat langkah, menyusul Hardja yang sudah mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh.
"Masuk," ucap Hardja dengan tegas, mempersilakan perempuan itu.
Begitu tubuh kecil Binar masuk ke dalam ruangan bercahaya remang dengan suhu dingin, pintu mini theater itu dibanting dengan kencang oleh Hardja. Sebelum menghampiri Binar, tangan Hardja mengambil remote untuk mengatur penerangan di ruangan ini agar lebih benderang, sekaligus menaikkan suhu ruangan agar Binar tak menggigil kedinginan. Ia paham bahwa Binar tengah dilanda rasa cemas yang berusaha di tutupi kuat-kuat, dan pertanyaan-pertanyaan yang akan terlontar dari mulut Hardja pun dipastikan akan membuat perempuan itu tak berdaya. Jadi, setidaknya harus ada sedikit kenyamanan untuk membuat Binar bisa jujur pada Hardja.
Hardja mendudukkan dirinya berjarak dua kursi dari Binar, suasana mencekam terasa semakin nyata, membuat Binar berulang kali membenahi posisi duduk dan alat bantu dengar yang baru saja ia pasang di telinga.
"Cerita," pinta Hardja tanpa basa-basi.
Binar menundukkan kepala sebelum membuka suara. "Namanya Mas Adyatama. Dia baru pulang dari pelatihan militer."
"Kamu tahu dia siapa? Tahu pangkatnya apa? Tahu pekerjaanya apa? Dia dari mana? Putra siapa? Tahu, kamu?" cerca Hardja tanpa jeda, menyudutkan Binar yang tak bersuara.
"Mas minta kamu tolak perjodohan ini. Mas bisa carikan laki-laki yang lebih pantas daripada semata wayang Sapta itu," tuntut Hardja. "Dia juga terlalu tua untuk kamu."
"Lalu bagaimana dengan Mbak Arum? Dia juga seumuran aku, Mas," jawab Binar, seolah tengah menentang permintaan Hardja dengan menyebut nama Arum— perempuan yang menyandang gelar menantu pertama Soedibja— Nyonya Soedibja dari Hardja.
Kepala Hardja menoleh cepat, bersamaan dengan pupilnya yang melebar, rahangnya kian mengetat, hingga decit gesek antar gigi terdengar dikesunyian ruangan ini. "Saya bilang tidak, artinya jangan, Denayu Binar."
***
"Nomor Binar." Prawira— Anak kedua dari Oetomo Soedibja— menyerahkan ponsel yang menampilkan deretan nomor Binar kepada Adyatama.
Adyatama menganggukkan kepala seraya menerimanya, "thanks."
"Tam, pernikahan itu bukan main-main. Kamu yakin dengan Binar? Saya perjelas lagi, Binar tuli."
"And then?" Adyatama menengok pada Prawira. "Itu kelebihannya."
Dahi Prawira berkerut mendengar itu.
"Karena dia nggak akan merepotkan," lanjut Adyatama, membuat Prawira mendengus.
"You're such a jerk."
"Nggak sebrengsek itu, calon Kakak ipar," balas Adyatama. "Nggak perlu ada yang ditakutkan. Binar akan aman, kalau suaminya Adyatama Sapta."
"I hope so," jawab Prawira. "Setetes air mata Binar, satu tembakan di kaki kamu, Adyatama. Saya peringatkan kamu."
"Hm," gumam Adyatama sebagai balasan.
"Kalau Mas Hardja mungkin akan melubangi kepalamu begitu melihat gurat sedih di mata adik kesayangannya itu," kata Prawira, membuat Adyatama melirik tajam. "Belum lagi Kamajaya, kemaluanmu bisa dipastikan habis tidak bersisa, kalau tau adik bungsunya disakiti."
Ancaman itu membuat Adyatama terkekeh, "Lakukan apapun. Soedibja dari dulu selalu begitu, bukan? Tak segan menjadi kejam ketika diusik." Adyatama mencondongkan tubuhnya ke Prawira, kemudian berbisik pelan di sana. "Prawira, kamu jangan lupa siapa saya. Adyatama Setunggala Sapta, ditembak di kedua kaki pun masih bisa berjalan, Prawira."
Prawira lantas mendesis penuh peringatan sebagai balasan Adyatama yang terkesan menantang. "Ucapkan sumpahmu untuk melindungi Binar di hadapan Mas Hardja."
"I do."
***
Denayu Binar
Ini Adyatama
Jangan lupa kita besok bertemu, membahas perjanjian pranikah yang kamu inginkan.Kaget ada yang baca, haha. Nemu cerita Nonik darimana?
Gimme vote and comments! Follow juga untuk info update 🕰️
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Bercinta
RomanceKepulangan Adyatama dari pelatihan militer menjadi bencana, ketika ia dipaksa menikah dengan putri bungsu Soedibja yang tuli. Sekalipun usianya menyentuh kepala tiga, agenda pernikahan tak pernah terlintas di kepala. Sayangnya, ia pun tak kuasa meno...