01. "Binar."

2.2K 249 16
                                    

Prolog "Mari Bercinta." memuat salah satu cuplikan masa depan dari cerita ini. Dan kisah ini dimulai dari Bab 01; "Binar,"

20 Oktober 2024

01; "Binar,"Jeng N

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

01; "Binar,"
Jeng N.

Gusar itu tak dapat disembunyikan setelah Adyatama mendengar penuturan Ayahnya yang duduk di seberang. Pria yang usianya menyentuh kepala enam itu tengah menikmati lintingan kretek yang sedang ia sesap.

"Bagaimana? Kamu tertarik dengan penawaran ini? Kenaikan pangkat yang tidak bisa Ayah berikan bisa kamu dapatkan secara cuma-cuma dengan menikahi bungsu Soedibja."

Bimbang seketika menyeruak. Tak dapat Adyatama pungkiri, penawaran itu sangatlah menarik, namun juga pelik. Kenaikan pangkat yang ia tunggu-tunggu seolah di depan mata, dengan sebuah syarat menikahi si bungsu Soedibja.

"Dia tuli. Putra tunggal Sapta akan memiliki menantu tuli? Terdengar menyedihkan," balas Adyatama dengan penuh penekanan. Pria itu bahkan belum sempat mandi setelah kepulangannya dari pelatihan militer selama delapan bulan, dan dia sudah dikejutkan dengan kabar perjodohan ini.

Agung Sapta— ayah Adyatama— terkekeh mendengar penuturan putra semata wayangnya. Pria itu kembali menyesap kreteknya dalam-dalam sebelum menjawab ucapan putranya. "Kamu punya dua pilihan, merangkak pelan-pelan dan bersusah payah untuk sampai di titik puncak, atau ingin melesat cepat dengan cara paling mudah tanpa perlu bersusah payah." Pria berkepala enam itu terbatuk pelan selagi menjeda ucapannya. "Kalau Ayah akan memilih opsi kedua. Kamu hanya perlu menikahi dia, apa susahnya? Lagipula, Binar itu perempuan pendiam, dia tidak akan pernah membuat kamu kerepotan."

"Saya masih ingin fokus dengan karir."

"Usia kamu nyaris tiga puluh empat tahun, belum menikah dan juga naik pangkat. Kamu hanya membuang-buang waktu. Berhenti memiliki pola pikir seperti Ibu kamu. Sudah seharusnya pola pikir kamu seperti keluarga Sapta," tegur Agung, membuat Adyatama menunduk dan berpikir keras akan hal itu.

Sekalipun usianya berada nyaris di pertengahan kepala tiga, agenda pernikahan belum pernah terlintas di kepalanya. Selama ini yang berkecamuk di kepala hanya seputar pekerjaan yang begitu dia sukai. Namun mendapati penawaran yang diberikan keluarga Soedibja, pergolakan batin seketika terjadi.

"Tama, tunggu apalagi? Penawaran ini tidak akan datang dua kali."

Desakan yang digencarkan terus-terusan oleh ayahnya membuat Adyatama tak sanggup berpikir jernih. "Kenapa harus Adyatama?"

"Karena mereka percaya Rodjo Adyatama Setunggala Sapta adalah orang yang tepat untuk Binar, bungsu Soedibja."

***

Binar melepas alat bantu dengar yang sepertinya sudah malfungsi. Ia tak lagi bisa mendengar suara orang-orang di sekitarnya dengan jelas. Perempuan itu membuka kotak kayu yang di dalamnya berisi beberapa alat bantu dengar yang sudah tak bisa ia gunakan lagi. Perlahan Binar ragu, apakah alat bantu dengarnya mengalami malfungsi, atau justru pendengarannya yang kian memburuk semakin bertambahnya hari.

Perempuan itu menatap cermin yang memantulkan refleksi dirinya. Dia menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga, menampilkan daun telinga yang dihiasi anting seharga ratusan juta, benda itu menggantung cantik di sana. Namun sayangnya, anting seharga ratusan juta itu  tak mampu menyembunyikan kekurangannya. Dia tetap tuli, tak bisa mendengar apapun ketika alat bantu pendengaran terlepas dari telinga.

Sebuah helaan nafas panjang keluar bibir Binar. Sekelibat bayangan tentang perbincangannya dengan Romo pagi ini terputar di kepala.

"Kamu harus segera menikah. Usiamu sudah dua puluh dua tahun."

"Tidak ada yang mau menikahi kamu, tapi Romo berhasil menemukan satu laki-laki yang dengan sukarela akan menyerahkan dirinya untuk kamu."

"Pernikahan kali ini tidak bisa kamu tolak. Berhenti menjadi perempuan yang jual mahal."

"Rodjo Adyatama Setunggala Sapta, kamu bisa tanya tentang dia ke Mas Wira nanti, dia teman dekatnya Mas mu."

Binar memejamkan mata, merasakan nyeri di ulu hati yang tiba-tiba saja mampir. Alih-alih membiarkan dirinya larut ke dalam perasaan buruknya, Binar justru menarik kursi dan mendudukkan dirinya di sana. Tangannya mengambil selembar kertas dan juga sebuah pena. Lalu seperti biasa, ia genggam pena itu untuk mencurahkan semua perasaannya yang entah kepada siapa bisa ia salurkan. Ketika ujung pena menggores selembar kertas itu, sebuah harapan kecil tertuang di sana.

***

Namanya Rodjo Adyatama Setunggala Sapta, temannya Mas Prawira. Semoga dia bisa menjadi teman hidup... yang baik.

D. Binar Ning Soedibja

Romo = Bapak (dalam bahasa Jawa)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Romo = Bapak (dalam bahasa Jawa)

Jangan lupa beri vote dan komentar ya! Kamsia!

Mari BercintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang