Adrian merutuki dirinya sendiri. Ia merasa seperti orang paling bodoh selama ini. Ruang santai yang terhubung menuju ke kamarnya terlihat berantakan. Ia sengaja membiarkan seluruh benda di sekitarnya tergeletak begitu saja. Ia kehilangan seluruh energi setelah melewati terlalu banyak hal di kediaman ini.
Buku jarinya memutih akibat ia terlalu mengepalkan tangan dengan erat. Adrian merasakan dadanya sesak. Jantungnya bertalu dan perasaannya terluka. Ia adalah seorang kakak dan anak pertama di keluarga ini. Ia adalah orang yang dengan bangganya menyebut diri sendiri sebagai "kakak terbaik".
"Apanya yang kakak terbaik," gumamnya samar.
'Lucy! Kamu harus selalu bahagia dan terus tersenyum. Kakak akan selalu ada di sisimu dan melindungimu. Kamu adalah adik perempuan kesayanganku,' kalimat yang entah kapan ia lontarkan pada Lucianne tersebut menghampiri pikirannya.
'Ann, lebih baik kau menjauh dari jangkauanku. Aku merasa sangat terhina harus berada di tempat yang sama denganmu. Bukankah harusnya kau sadar diri? Melihatmu sama saja dengan menelan duri,' Adrian ingat betul tiap rentetan kalimat ini. Bahkan ia ingat dengan jelas kalimat-kalimat lainnya yang sangat kontradiktif dengan bagaimana ia menanggapi Lucianne.
Lalu kini memorinya berlabuh pada saat dirinya berumur 11 tahun dan Anniston 6 tahun. Adrian tahu betul bagaimana pertama kalinya ia mendengar tangisan pilu anak kecil yang terkunci di gudang. Lembap, dingin, berdebu dan gelap. Gadis itu meminta untuk diselamatkan. Lalu apa yang ia dan William lakukan? Tentu meninggalkannya dengan rasa lega, karena merekalah pelakunya. Kelegaan tersebut benar-benar mereka rasakan atas dasar kebencian. Melihat rupa Anniston yang sama persis seperti wanita kotor perebut ayahnya, membuat dua anak lelaki itu merasa muak. Mereka ingin sekali menghancurkan kehidupan Anniston sebagaimana keluarga Luneire kehilangan kebahagiaannya.
'Kalau tidak bisa menyingkir, lebih baik mati saja. Tidak perlu lagi pura-pura merasa sakit hati,' Adrian merusak satu-satunya mainan Anniston. Boneka kelinci yang merupakan peninggalan wanita kotor itu.
Meskipun kebenciannya tidak pernah surut, Adrian selalu merasa bahwa ini adalah hal yang salah. Bukankah ia terlalu keterlaluan? Anniston menangis tiap malam karena tidak pernah mendapat jatah makanan semestinya. Gadis itu kian lemah dan tak berdaya. Selain itu, pelayan pribadinya mengundurkan diri karena merasa tidak nyaman dengan sifat Anniston yang kasar dan selalu memarahi mereka. Padahal Anniston hanya membela diri dari tindakan kurang ajarnya. Pelayan itu tidak sudi untuk melayani Anniston. Adrian tahu fakta tersebut dan membiarkannya terjadi karena ia sangat senang melihat gadis itu tidak punya siapa-siapa.
Malam itu Adrian mendengarkan suara kecil yang sangat menyedihkan dari kamar Anniston.
'Apakah aku tidak boleh bahagia? Mengapa aku tidak seperti Lucianne?' Suara Anniston terdengar pilu karena nyatanya gadis itu sudah seharian menangis. Tentu saja, itu karena William telah merusak gaun-gaun Anniston dan meminta ayah mereka untuk tidak perlu membelikannya yang baru karena gadis itu tidak pernah bersyukur.
Adrian merasa hatinya berdenyut. Ia merasa ini tidak benar. Tapi bukankah ia punya hak untuk membalaskan segala rasa sakit milik ibunya? Bukankah sang ibu terlalu baik? Mengapa membiarkan orang asing tinggal di rumah mereka? Mengapa ibunya berusaha tegar ketika tiap malam hanya suara tangislah yang Adrian selalu dengar?
Ya, setidaknya Anniston harus merasakannya juga. Rasa iba yang tersisa dalam dirinya hanya akan membuat seluruh rasa sakit ibunya menjadi sia-sia.
Adrian yang selalu melihat Anniston tak berdaya, menjadi geram ketika gadis lancang itu berniat melukai Lucianne. Tidak sekali atau dua kali. Setiap ada kesempatan, maka gadis bodoh itu akan berulah. Gadis bodoh ini benar-benar ingin menggantikan Lucianne. Benar-benar tidak tahu diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
"The Villainess Doesn't Wanna be Here"
काल्पनिकAyana hanyalah seorang anak kuliahan semester akhir yang sedang mengalami burnout akibat menghadapi skripsi. Dalam pelariannya mencari ketenangan, ia mulai menghabiskan waktu dengan membaca berbagai judul manhwa. Bukannya termotivasi, Ayana malah se...